BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired
Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom)
yang timbul karena rusaknya sistem
kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV; atau infeksi
virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain). Virusnya sendiri
bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang
memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan
menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena
tumor.
Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus,
namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan
virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit
dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang
mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina,
cairan
preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan
intim (vaginal, anal, ataupun oral),
transfusi darah,
jarum suntik
yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan,
bersalin, atau menyusui,
serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
AIDS merupakan bentuk terparah atas akibat infeksiHIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ
vital sistem kekebalan manusia, seperti sel T CD4 (sejenis sel T), makrofag, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4 secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4 dibutuhkan agar sistem
kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4 hingga jumlahnya
menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter (µL)darah,maka kekebalandi tingkat selakan hilang, dan
akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. InfeksiakutHIV akan
berlanjut menjadi
infeksi laten klinis, kemudian
timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasidengan
memeriksa jumlah sel T CD4 di
dalam darah serta adanya infeksi tertentu. Tanpa terapi antiretrovirus,rata - ratalamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah
sembilan
sampai sepuluh tahun, dan
rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan.
Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada
setiap orang sangat bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20
tahun. Banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh
untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh) dari
orang yang terinfeksi.
Orang tua umumnya memiliki
kekebalan yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga lebih
beresikomengalami perkembangan penyakit yang
pesat. Akses yang kurang terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi
lainnya seperti tuberkulosis, Warisan
genetik orang yang terinfeksi juga memainkan peran penting.
Sejumlah orang kebal secara alami terhadap beberapa varian HIV. HIV memiliki beberapa variasi genetik dan berbagai bentuk
yang berbeda, yang akan menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis yang
berbeda-beda pula. Terapi anti retrovirus yang sangat aktif akan dapat memperpanjang rata-rata waktu
berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu kemampuan penderita
bertahan hidup.
Penyebab HIV / AIDS sendiri
disebabkan diantaranya yaitu selama seks anda dapat
menjadi terinfeksi jika anda melakukan
hubungan seks vaginal, anal atau oral dengan pasangan yang terinfeksi yang
darah, air mani atau cairan vagina memasuki tubuh Anda. Virus ini dapat
memasuki tubuh melalui mulut atau air mata luka kecil yang kadang-kadang
berkembang di dubur atau vagina selama aktivitas seksual. Yang kedua transfusi
darah, dalam
beberapa kasus, virus dapat ditularkan melalui transfusi darah. Ketiga yaitu berbagi jarum,
virus HIV dapat ditularkan melalui jarum suntik terkontaminasi dengan darah
yang terinfeksi. Berbagi kepemilikan obat intravena menempatkan Anda pada
risiko tinggi HIV dan penyakit menular lainnya seperti hepatitis. Dan yang keempat dari ibu ke anak.
ibu yang terinfeksi dapat menginfeksi bayi selama kehamilan atau persalinan,
atau melalui menyusui. Tetapi jika perempuan menerima pengobatan untuk infeksi
virus HIV selama kehamilan, risiko untuk bayi mereka secara signifikan
berkurang.
HIV tidak hanya
menyerang sistem kekebalan tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa virus ini
juga merusask otak dan sistem saraf pusat. Otopsi yang dilakukan pada otak
pengidap AIDS yang telah meniggal mengungkapkan bahwa virus ini juga
menyebabkan hilangnya banyak sekali jaringan otak. Pada waktu yang bersamaan,
peneliti lain telah berusaha untuk mengisolasi HIV dengan cairanl dari
orang yang tidak menunjukkan gejala-gejala terjangkit AIDS. Penemuan ini
benar-benar membuat risau. Sementara para peneliti masih berpikir bahwa HIV
hanya menyerang sistem kekebalan, semua orang yang terinfeksi virus ini tetapi
tidak menunjukkan gejala terjangkit AIDS atau penyakit yang berhubungan dengan
HIV dapat dianggap bisa terbebas dari kerusakan jaringan otak. Saat ini hal yang
cukup mengerikan adalah bahwa mereka yang telah terinfeksi virus Para ilmuwan umumnya
berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika
Sub-Sahara. Kini AIDS telah menjadi wabah
penyakit.
AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta
orang di seluruh dunia. Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan
WHO memperkirakan bahwa AIDS telah
menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada
tanggal 5 Juni
1981. Dengan demikian,
penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS
diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun
2005 saja, dan lebih dari
570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak. Sepertiga dari jumlah kematian ini
terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan
menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi
tingkat kematian
dan parahnya
infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua
negara.
Hukuman
sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila
dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Kadang-kadang hukuman
sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau
sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang
yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).
Sebagaimana kita
ketahui bahwa masih sangat masyarakat belum bisa menerima keberadaan ODHA.
Stigma terhadap ODHA masih cukup banyak ditambah lagi dengan sikap yang
menghakimi, menjauhkan, mengucilkan, mendiskriminasi, bahkan sampai perlakuan
yang tidak hanya melanggar hak asasi manusia tetapi juga kriminal. Kondisi
seperti ini membuat ODHA hampir tidak bisa mendapatkan pelayanan langsung.
Hasil pemantauan pelanggaran HAM terhadap ODHA yang dilakukan oleh yayasan
spiritual menunjukkan bahwa dari ntahun ke tahun ODHA masih sulit mendapatkan
akses pelayanan langsung, bukan saja dari layanan umum akan tetapi juga dari
keluarga dan lingkungan terdekatnya. Perlakuan yang manusiawi ini sebagian
besar disebabkan karena ketidaktahuan informasi yang benar tentang HIV / AIDS
dan penularannya, apalagi cara – cara merawat dan memberi dukungan terhadap
ODHA.
2.
Kondisi Perkembangan
Pada periode triwulan kedua tahun
2010 terdapat penambahan kasus AIDS sebanyak 1.206 kasus. Sebanyak 36
kabupaten/kota dari 16 provinsi melaporkan hal tersebut yaitu NAD, Sumatera
Barat, Riau, Kepulauan Riau, Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung, DKI Jakarta,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Bali, NTB, Kalimantan Tengah, Sulawesi
Tenggara, dan Maluku.
Dengan demikian, sampai tanggal 30 Juni 2010, secara kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan sejak tahun 1978 berjumlah 21.770 dari 32 provinsi dan 300 kabupaten/kota. Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Kasus terbanyak dilaporkan dari Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Papua, Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Barat. Rate kumulatif kasus AIDS nasional sampai 30 Juni 2010 adalah 9,44 kasus per 100.000 penduduk. Rate kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan dari Provinsi Papua (14,34 kali angka nasional), Bali (5,2 kali angka nasional), DKI Jakarta (4,4 kali angka nasional), Kep. Riau (2,4 kali angka nasional), Kalimantan Barat (1,8 kali angka nasional), Maluku (1,5 kali angka nasional), Bangka Belitung (1,2 kali angka nasional), Papua Barat, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat, Riau (1,0 kali angka nasional).
Dengan demikian, sampai tanggal 30 Juni 2010, secara kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan sejak tahun 1978 berjumlah 21.770 dari 32 provinsi dan 300 kabupaten/kota. Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Kasus terbanyak dilaporkan dari Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Papua, Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Barat. Rate kumulatif kasus AIDS nasional sampai 30 Juni 2010 adalah 9,44 kasus per 100.000 penduduk. Rate kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan dari Provinsi Papua (14,34 kali angka nasional), Bali (5,2 kali angka nasional), DKI Jakarta (4,4 kali angka nasional), Kep. Riau (2,4 kali angka nasional), Kalimantan Barat (1,8 kali angka nasional), Maluku (1,5 kali angka nasional), Bangka Belitung (1,2 kali angka nasional), Papua Barat, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat, Riau (1,0 kali angka nasional).
Sedangkan proporsi kumulatif
kasus AIDS tertinggi dilaporkan terjadi pada kelompok umur 20 - 29 tahun
(48,1%), selanjutnya diikuti dengan kelompok umur 30 - 39 tahun (30,9%), dan
kelompok umur 40 - 49 (9,1%). Sementara itu cara penularan terbanyak AIDS
adalah melalui hubungan heteroseksual (49,3%), selanjutnya Injection Drug Use /
IDU (40,4%), Lelaki Seks Lelaki (3,3%), dan perinatal (2,7%). Proporsi kasus
AIDS yang dilaporkan meninggal dunia sebesar 19,0%. Infeksi oportunistik yang
terbanyak dilaporkan adalah karena TBC (10.648 kasus), diare kronis (6.392
kasus), Kandidiasis oro-faringenal (6.412 kasus), Dermatitis generalisata
(1.623 kasus), dan Limfadenopati generalisata persisten (770 kasus).
Sementara untuk kasus HIV
positif, sampai dengan 30 Juni 2010 secara kumulatif berjumlah 44.292 kasus
dengan positive rate rata-rata 10,3%. Jumlah kasus baru pada triwulan kedua
2010 sebanyak 3.916 kasus. Daerah yang
paling banyak terjadi kasus HIV positif adalah DKI Jakarta (9.804
kasus), disusul Jawa Timur (5.973 kasus), Jawa Barat (3.798 kasus),
Sumatera Utara (3.391 kasus), Papua (2.947 kasus), dan Bali (2.505 kasus).
Sampai
saat ini HIV/AIDS belum ada vaksin maupun obatnya. Obat yang ada adalah
(ARV=Anti Retroviral Virus) yang berfungsi hanya untuk menekan perkembangan
virus. Perawatan HIV di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 2005 dengan jumlah
yang masih dalam pengobatan ARV pada tahun 2005 sebanyak 2.381 (61% dari yang
pernah menerima ARV).
Kemudian sampai 30 Juni 2010 terdapat 16.982 ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) yang masih menerima ARV (60,3% dari yang pernah menerima ARV). Jumlah ODHA yang masih dalam pengobatan ARV tertinggi berasal dari DKI Jakarta (7.242), Jawa Barat (2.001), Jawa Timur (1.517), Bali (984), Papua (685), Jawa Tengah (575), Sumatera Utara (570), Kalimantan Barat (463), Kepulauan Riau (426), dan Sulawesi Selatan (343). Kematian ODHA menurun dari 46% pada tahun 2006 menjadi 18% pada tahun 2009.
Kemudian sampai 30 Juni 2010 terdapat 16.982 ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) yang masih menerima ARV (60,3% dari yang pernah menerima ARV). Jumlah ODHA yang masih dalam pengobatan ARV tertinggi berasal dari DKI Jakarta (7.242), Jawa Barat (2.001), Jawa Timur (1.517), Bali (984), Papua (685), Jawa Tengah (575), Sumatera Utara (570), Kalimantan Barat (463), Kepulauan Riau (426), dan Sulawesi Selatan (343). Kematian ODHA menurun dari 46% pada tahun 2006 menjadi 18% pada tahun 2009.
Sampai dengan 30 Juni 2010 secara kumulatif jumlah
kasus AIDS di Indonesia yang dilaporkan sebanyak 21770 kasus. Berikut merupakan
grafiknya :
Berdasarkan provinsi dengan kasus terbanyak di
Indonesia dapat ditampilkan sebagai berikut :
Berdasarkan kelompok umur, distribusi penderita
HIV-AIDS di Indonesia dapat ditampilkan pada tabel berikut :
BAB
II
TINJAUAN
KONSEPTUAL
1.
Definisi
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired
Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom)
yang timbul karena rusaknya sistem
kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV; atau infeksi
virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain). Virusnya sendiri
bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang
memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan
menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena
tumor.
Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus,
namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
AIDS merupakan bentuk terparah atas akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya
menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel T CD4 (sejenis
sel T), makrofag, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4 secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4 dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat
berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4 hingga jumlahnya
menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter (µL)darah,maka kekebalandi tingkat selakan hilang, dan
akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. InfeksiakutHIV akan
berlanjut menjadi
infeksi laten klinis, kemudian
timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasidengan
memeriksa jumlah sel T CD4 di dalam darah serta adanya infeksi tertentu. Tanpa terapi antiretrovirus,rata - ratalamanya
perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup
setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan.
Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada
setiap orang sangat bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20
tahun. Banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh
untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh) dari
orang yang terinfeksi.
HIV secara terus menerus memperlemah
sistem kekebalan tubuh dengan cara menyerang dan menghancurkan
kelompok-kelompok sel-sel darah putih tertentu yaitu sel T-helper. Normalnya
sel T-helper ini (juga disebut sel T4) memainkan suatu peranan
penting pada pencegahan infeksi. Ketika terjadi infeksi, sel-sel ini akan
berkembang dengan cepat, memberi tanda pada bagian sistem kekebalan tubuh yang
lain bahwa telah terjadi infeksi. Hasilnya, tubuh memproduksi antibodi yang
menyerang dan menghancurkan bakteri-bakteri dan virus-virus yang berbahaya.
Selain mengerahkan sistem kekebalan
tubuh untuk memerangi infeksi, sel T-helper juga memberi tanda
bagi sekelompok sel-sel darah putih lainnya yang disebut sel T-suppressor atau
T8, ketika tiba saatnya bagi sistem kekebalan tubuh untuk menghentikan
serangannya
Biasanya kita memiliki lebih banyak
sel-sel T-helper dalam darah daripada sel-sel T-suppressor, dan
ketika sistem kekebalan sedang bekerja dengan baik, perbandingannya kira-kira
dua banding satu. Jika orang menderita penyakit AIDS, perbandingan ini
kebalikannya, yaitu sel-sel T-suppressor melebihi jumlah
sel-sel T-helper. Akibatnya, penderita AIDS tidak hanya
mempunyai lebih sedikit sel-sel penolong yaitu sel T-helper untuk
mencegah infeksi, tetapi juga terdapat sel-sel penyerang yang menyerbu sel-sel
penolong yang sedang bekerja
Selain mengetahui bahwa virus HIV
membunuh sel-sel T-helper, kita juga perlu tahu bahwa tidak seperti
virus-virus yang lain, virus HIV ini mengubah struktur sel yang diserangnya.
Virus ini menyerang dengan cara menggabungkan kode genetiknya dengan bahan
genetik sel yang menularinya. Hasilnya, sel yang ditulari berubah menjadi
pabrik pengasil virus HIV yang dilepaskan ke dalam aliran darah dan dapat
menulari sel-sel T-helper yang lain. Proses ini akan terjadi
berulang - ulang.
Virus yang bekerja seperti ini
disebut retrovirus. Yang membuat virus ini lebih sulit ditangani
daripada virus lain adalah karena virus ini menjadi bagian dari struktur
genetik sel yang ditulari, dan tidak ada cara untuk melepaskan diri dari virus
ini. Ini berarti bahwa orang yang terinfeksi virus ini mungkin terinfeksi
seumur hidupnya. Selain itu dapat berarti bahwa orang yang mengidap HIV dapat
menulari sepanjang hidup
Cara virus ini merusak fungsi sistem
kekebalan tubuh belum dapat diungkapkan sepenuhnya. Teori yang terbaru namun
belum dapat dibuktikan kebenarannya menyatakan bahwa rusaknya sistem kekebalan
yang terjadi pada pengidap AIDS mungkin dikarenakan tubuh menganggap
sel-sel T-helpernya yang terinfeksi sebagai “musuh”. Jika demikian
kasusnya, lalu apa yang akan dilakukan oleh mekanisme pertahanan tubuh yaitu
mulai memproduksi antibodi untuk mencoba menyerang sel-sel T yang telah
terinfeksi. Akan tetapi antibodi juga akan diproduksi untuk menyerang sel T-helper yang
tidak terinfeksi, mungkin juga merusak atau membuat sel-sel ini tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya. Jika demikian, HIV akan menyerang sistem
kekebalan tubuh tidak hanya dengan membunuh sel-T tetapi dengan mengelabuhi
tubuh dengan membiarkan tubuh sendiri yang menyerang mekanisme pertahanannya
Berbagai penyebab
HIV AIDS dapat ditularkan
mealalui darah yang terinfeksi, air mani atau cairan vagina yang memasuki
tubuh. Seseorang tidak dapat terinfeksi melalui kontak biasa seperti memeluk,
mencium, menari atau berjabat tangan dengan seseorang yang menderita HIV atau
AIDS. HIV tidak dapat ditularkan melalui air, udara atau melalui gigitan
serangga. Secara umum penyebab HIV AIDS tertular melalui :
§ Selama seks.
Anda dapat menjadi terinfeksi jika Anda melakukan hubungan seks vaginal, anal
atau oral dengan pasangan yang terinfeksi yang darah, air mani atau cairan
vagina memasuki tubuh Anda. Virus ini dapat memasuki tubuh melalui mulut atau
air mata luka kecil yang kadang-kadang berkembang di dubur atau vagina selama
aktivitas seksual.
§ Transfusi darah.
Dalam beberapa kasus, virus dapat ditularkan melalui transfusi darah.
§ Berbagi jarum.
Virus HIV dapat ditularkan melalui jarum suntik terkontaminasi dengan darah
yang terinfeksi. Berbagi kepemilikan obat intravena menempatkan Anda pada
risiko tinggi HIV dan penyakit menular lainnya seperti hepatitis.
§ Dari ibu ke
anak. ibu yang terinfeksi dapat menginfeksi bayi selama kehamilan atau persalinan,
atau melalui menyusui. Tetapi jika perempuan menerima pengobatan untuk infeksi
virus HIV selama kehamilan, risiko untuk bayi mereka secara signifikan
berkurang.
Adapun Gejala-Gejala AIDS
diantaranya yaitu :
- Merasa
kelelahan yang berkepanjangan
- Deman
dan berkeringat pada malam hari tanpa sebab yang jelas.
- Batuk
yang tidak sembuh-sembuh disertai sesak nafas yang berkepanjangan.
- Diare/mencret
terus-menerus selama 1 bulan
- Bintik-bintik
berwarna keungu-unguan yang tidak biasa
- Berat
badan menurun secara drastis lebih dari 10% tanpa alasan yang jelas dalam
1 bulan.
- Pembesaran
kelenjar secara menyeluruh di leher dan lipatan paha.
Sedangkan dampak yang
ditimbulkan dari HIV AIDS yaitu :
1. Dampak
Demografi
Salah satu efek jangka panjang endemi HIV dan AIDS
yang telah meluas seperti yang telah terjadi di Papua adalah dampaknya pada
indikator demografi. Karena tingginya proporsi kelompok umur yang lebih muda
terkena penyakit yang membahayakan ini, dapat diperkirakan nantinya akan
menurunkan angka harapan hidup. Karena semakin banyak orang yang diperkirakan
hidup dalam jangka waktu yang lebih pendek, kontribusi yang diharapkan dari
mereka pada ekonomi nasional dan perkembangan sosial menjadi semakin kecil dan
kurang dapat diandalkan. Hal ini menjadi masalah yang penting karena hilangnya
individu yang terlatih dalam jumlah besar tidak akan mudah dapat digantikan.
Pada tingkat makro, biaya yang berhubungan dengan kehilangan seperti itu,
seumpama meningkatnya pekerja yang tidak hadir, meningkatnya biaya pelatihan,
pendapatan yang berkurang, dan sumber daya yang seharusnya dipakai untuk
aktivitas produktif terpaksa dialihkan pada perawatan kesehatan, waktu yang
terbuang untuk merawat anggota keluarga yang sakit, dan lainnya,juga akan
meningkat.
2. Dampak
Terhadap Sistem Pelayanan Kesehatan
Tingginya tingkat penyebaran HIV dan AIDS pada
kelompok manapun berarti bahwa semakin banyak orang menjadi sakit, dan
membutuhkan jasa pelayanan kesehatan. Perkembangan penyakit yang lamban dari
infeksi HIV berarti bahwa pasien sedikit demi sedikit menjadi lebih sakit dalam
jangka aktu yang panjang, membutuhkan semakin banyak perawatan kesehatan.
Biaya langsung dari perawatan kesehatan tersebut semakin lama akan menjadi
semakin besar. Diperhitungkan juga adalah waktu yang dihabiskan oleh anggota
keluarga untuk merawat pasien, dan tidak dapat melakukan aktivitas yang
produktif. Waktu dan sumber daya yang diberikan untuk merawat pasien HIV dan
AIDS sedikit demi sedikit dapat mempengaruhi program lainnya dan menghabiskan
sumber daya untuk aktivitas kesehatan lainnya.
Penelitian yang dilakukan oleh John Kaldor dkk pada
tahun 2005 memprediksi bahwa pada tahun 2010, bila upaya penanggulangan tidak
ditingkatkan maka 6% tempat tidur akan digunakan oleh penderita AIDS dan di
Papua mencapai 14% dan pada tahun 2025 angka – angka tersebut akan menjadi 11%
dan 29%. Meningkatnya jumlah penderita AIDS berarti meningkatnya kebutuhan ARV.
Rusaknya sistem kekebalan tubuh telah memperparah masalah kesehatan masyarakat
yang sebelumnya telah ada yaitu tuberkulosis. Banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa kejadian TB telah meningkat secara nyata di antara kasus HIV.
TB masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di
Indonesia dimana setiap tahunnya ditemukan lebih dari 300.000 kasus baru, maka perawatan
untuk kedua jenis penyakit ini harus dilakukan secara bersamaan.
3. Dampak
Terhadap Ekonomi Nasional
Mengingat bahwa HIV lebih banyak menjangkiti orang
muda dan mereka yang berada pada umur produktif utama (94% pada kelompok usia
19 sampai 49 tahun), epidemi HIV dan AIDS memiliki dampak yang besar pada
angkatan kerja, terutama di Papua. Epidemi HIV dan AIDS akan meningkatkan
terjadinya kemiskinan dan ketidakseimbangan ekonomi yang diakibatkan oleh
dampaknya pada individu dan ekonomi. Dari sudut pandang individu HIV dan AIDS
berarti tidak dapat masuk kerja, jumlah hari kerja yang berkurang, kesempatan
yang terbatas untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih baik dan umur
masa produktif yang lebih pendek.
Dampak individu ini harus diperhitungkan bersamaan
dengan dampak ekonomi pada anggota keluarga dan komunitas. Dampak pada dunia
bisnis termasuk hilangnya keuntungan dan produktivitas yang diakibatkan oleh
berkurangnya semangat kerja, meningkatnya ketidakhadiran karena izin sakit atau
merawat anggota keluarga, percepatan masa penggantian pekerja karena kehilangan
pekerja yang berpengalaman lebih cepat dari yang seharusnya, menurunnya
produktivitas akibat pekerja baru dan bertambahnya investasi untuk melatih mereka.
HIV dan AIDS juga berperan dalam berkurangnya moral pekerja (takut akan
diskriminasi, kehilangan rekan kerja, rasa khawatir) dan juga pada penghasilan
pekerja akibat meningkatnya permintaan untuk biaya perawatan medis dari pusat
pelayanan kesehatan para pekerja, pensiun dini, pembayaran dini dari dana
pensiun akibat kematian dini, dan meningkatnya biaya asuransi.
Pengembangan program pencegahan dan perawatan HIV di
tempat kerja yang kuat dengan keikutsertaan organisasi manajemen dan pekerja
sangatlah penting bagi Indonesia. Perkembangan ekonomi akan tertahan apabila
epidemi HIV menyebabkan kemiskinan bagi para penderitanya sehingga meningkatkan
kesenjangan yang kemudian menimbulkan lebih banyak lagi keadaan yang tidak
stabil. Meskipun kemiskinan adalah faktor yang paling jelas dalam menimbulkan
keadaan resiko tinggi dan memaksa banyak orang ke dalam perilaku yang beresiko
tinggi, kebalikannya dapat pula berlaku – pendapatan yang berlebih, terutama di
luar pengetahuan keluarga dan komunitas – dapat pula menimbulkan resiko
yang sama. Pendapatan yang besar (umumnya tersedia bagi pekerja terampil pada
pekerjaan yang profesional) membuka kesempatan bagi individu untuk melakukan
perilaku resiko tinggi yang sama: berpergian jauh dari rumah, pasangan sex yang
banyak, berhubungan dengan PS, obat terlarang, minuman keras, dan lainnya.
4. Dampak
Terhadap Tatanan Sosial
Adanya stigma dan diskriminasi akan berdampak pada
tatanan sosial masyarakat. Penderita HIV dan AIDS dapat kehilangan kasih sayang
dan kehangatan pergaulan sosial. Sebagian akan kehilangan pekerjaan dan sumber
penghasilan yang pada akhirnya menimbulkan kerawanan sosial. Sebagaian
mengalami keretakan rumah tangga sampai perceraian. Jumlah anak yatim dan piatu
akan bertambah yang akan menimbulkan masalah tersendiri. Oleh sebab itu
keterbukaan dan hilangnya stiga dan diskriminasi sangat perlu mendapat
perhatian dimasa mendatang.
5. Dampak Sosial
Ekonomi
Dampak ekonomi
yang akibat dari HIV / AIDS sendiri terjadi bukan hanya semata – mata karena
dikarenakan jumlah orang yang terinfeksi HIV yang tinggi, tetapi juga karena
orang yang terinfeksi kebanyakan berada pada usia yang produktif yaitu antara
15 – 40 tahun. Dalam rentan usia yang produktif tersebut, terdapat ODHA yang
tidak dapat melaksanakan fungsinya untuk mencari nafkah, membesarkan anak,
memberikan pendidikan terhadap anak dan lain – lain. Dampak sosial ini tidak
hanya terjadi pada saat orang yang terinfeksi HIV berupa kehilangan pekerjaan,
tetapi juga mempunyai dampak ekonomi karena memerlukan biaya perawatan dan
biaya pengobatan yang cukup besar. Demikian juga untuk masa yang akan datang
dampak ini akan terasa pada generasai penerus yakni akan terjadi kemiskinan
yang lebih berat bagi keluarga maupun bagi negara. Anak – anak dari orang tua
yang terinfeksi HIV akan menjadi yatim piatu, kehilangan pendidikan dan
sebagainya.
HIV tidak hanya menyerang sistem kekebalan
tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa virus ini juga merusask otak dan
sistem saraf pusat. Otopsi yang dilakukan pada otak pengidap AIDS yang telah
meniggal mengungkapkan bahwa virus ini juga menyebabkan hilangnya banyak sekali
jaringan otak. Pada waktu yang bersamaan, peneliti lain telah berusaha untuk
mengisolasi HIV dengan cairanl dari orang yang tidak menunjukkan
gejala-gejala terjangkit AIDS. Penemuan ini benar-benar membuat risau.
Sementara para peneliti masih berpikir bahwa HIV hanya menyerang sistem
kekebalan, semua orang yang terinfeksi virus ini tetapi tidak menunjukkan
gejala terjangkit AIDS atau penyakit yang berhubungan dengan HIV dapat dianggap
bisa terbebas dari kerusakan jaringan otak. Saat ini hal yang cukup mengerikan
adalah bahwa mereka yang telah terinfeksi virus Para ilmuwan umumnya
berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika
Sub-Sahara. Kini AIDS telah menjadi wabah
penyakit.
Dalam upaya
penanggulangan masalah HIV / AIDS, khususnya masalah – masalah yang dihadapi
oleh ODHA dituntut adanya kesediaan masyarakat memberi pelayanan sosial dan
dukungan dalam perawatan serta pendampingan. Hal ini dikarenakan permasalahan
yang dihadapi oleh ODHA berkaitan dengan status HIV positif dan bernagai
penyakit penyerta atau infeksi oportunistik
yang mungkin memperburuk derajat kesehatan mereka, membutuhkan penanganan
secara lintas sektoral yang melibatkan unsur LSM atau orsos dan masyarakat
serta Kelompok Dukungan Sebaya.
Upaya kerjasama
lintas sektoral ini juga diduking dengan adanya pergeseran paradigma dalam
penyelenggaraam pemerintah di Indonesia yang memberi peluang kepada masyarakat
untuk aktif ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan penanganan masalah sosial,
termasuk penanganan masalah HIV / AIDS. Selain itu kemampuan pemerintah sangat
terbatas, sementara jumlah pertambahan kasus HIV positif masaih masih terus
meningkat. Sehubungan dengan itu perlu di upayakan strategi baru dengan
menempatkan partisipasi masyarakat di depa.
Penanganan ODHA
berbasis masyarakat dan keluarga akan lebih diarahkan pada pelayanan sosial
yang berkaitan dengan upaya – upaya pencegahan, perawatan, dan dukungan serta
pendampingan soasial secara langsung maupun tidak langsung, terutama daerah –
daerah yang dinilai rawan atau beresiko tinggi penularan HIV / AIDS seperti
daerah wanita penjaja seks, daerah mangkal supir – supir truk, daerah rawan
penyalahgunaan NAPZA suntik, daerah miskin, beberapa aerah yang memiliki nilai
tertentu, yang cenderung menikahkan anaknya pada usia muda, serta tinngkat
penceraian yang cukup tinggi.
2.
Pendekatan
Berbagai
macam pendekatan dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan sosial yang
terjadi di Indonesia. Salah satu diantaranya adalah pendekatan untuk
permasalahan HIV-AIDS di Indonesia. Secara umum, berbagai pendekatan tersebut
diantaranya adalah :
A. Pendekatan Sosiologis
Melalui pendekatan ini dicoba untuk
memahami masalah sosial secara sosiologis yang dibedakan atas 4 macam
pendekatan, yaitu:
a. Pendekatan
Agama
b. Pendekatan Hukum
c. Pendekatan Jurnalistik dan
d. Pendekatan Seni.
a.
Pendekatan Agama
Pendekatan ini bersifat individual dalam arti sangat berhubungan dengan
keyakinan masing-masing orang terhadap ajaran agamanya. Semakin orang yakin
akan ajaran agamanya, semakin pendekatan ini effektif kegunaannya. Melalui
pendekatan agama diajarkan bahwa masalah sosial timbul bila terjadi pelanggaran
terhadap norma-norma agamanya.
Pelanggaran terhadap norma agama akan mendapat sanksi yang kadang sifatnya
sangat abstrak dan sangat tergantung kepada keyakinan para penganutnya
(keyakinan tentang adanya sorga bagi yang berbuat baik dan neraka bagi orang
“jahat”) Pendekatan ini lebih terasa keeffektifannya dalam kerangka preventif
dengan cara penanaman nilai nilai agama sejak dini dari tiap keluarga dalam
masyarakat.
Internalisasi nilai nilai agama pada tiap individu
anggota masyarakat diharapkan ia bisa menjadi benteng ataupun juga filter dalam
menyaring pengaruh negatif dari sekelilingnya atau dengan kata lain dapat
mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap nilai-nilai dan norma
agama yang pada gilirannya mencegah terhadap terjadinya masalah-masalah sosial.
b.
Pendekatan Hukum
Antara pendekatan
hukum dan pendekatan agama ada kesamaan segi historis, dalam arti pendekatan
hukum dalam memandang fenomena masalah sosial bisa bersumber pada pendekatan
agama. Hanya pada pendekatan hukum biasanya ia berlaku bagi semua anggota
masyarakat dimana ia bertempat tinggal dan hukum tersebut diberlakukan.
Pendekatan ini
sanksinya lebih jelas karena mengacu pada peraturan atau norma yang sudah
dikodifikasikan dan disahkan , misalnya hukuman bagi pelaku kejahatan membunuh
dihikum penjara sekian tahun, pelaku kejahatan korupsi dihukum sekian tahun
dst. Dengan demikian pendekatan hukum memandang bahwa masalah sosial terjadi
bila terjadi pelanggaran terhadap norma-norma hukum dan untuk setiap pelaku
pelanggaran tersebut akan dikenakan sanksi.
Pendekatan ini
bisa besifat preventif dalam arti masalah sosial dapat dicegah melalui upaya
sosialisasi norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat maupun bersifat
kuratif atau rehabilitatif dalam arti terhadap pelaku pelanggar norma hukum
akan diberikan sanksi tertentu dan diadakan pembinaan agar dia tidak lagi
melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap norma hukum. Mereka yang berperan dalam
pendekatan ini antara lain adalah para penegak hukum maupun aparat pemerintah
yang berwajib .
c.
Pendekatan Jurnalistik
Dengan pendekatan jurnalistik dimaksudkan sebagai usaha penyebarluasan
informasi yang berkaitan dengan masalah sosial melalui tulisan-tulisan di media
cetak. Melalui pendekatan ini masalah sosial diusahakan untuk dikenalkan pada
masyarakat baik dalam arti masalah sosial itu sendiri maupun sebab-akibat serta
cara-cara menghadapinya.
Sejak abad 18 surat-surat kabar dan majalah-majalah telah menjadi bagian
yang mencatat dan memaparkan ungkapan dan protes terhadap eksploitasi,korupsi
dan degradasi pada masyarakat di Amerika Serikat. Pendekatan ini juga berusaha
menyadarkan akan bahaya dari masalah sosial yang sedang dan akan terjadi. Sampai saat ini
majalah, surat kabar masih menjadi sarana yang berharga dalam membangkitkan
kesadran masyarakat akan bahaya narkoba, Prostitusi, HIV/AIDS dan
masalah-masalah sosial lain.
Mereka yang bisa berperan dalam pendekatan ini selain para jurnalist, bisa
juga orang-orang yang punya kompetensi dalam bidangnya dan punya kemampuan
menulis (penjelasan secara medis dari dokter tentang HIV/AIDS, penjelsan dari
ahli ilmu sosial tentang kemiskinan dst). Pendekatan ini dianggap cukup besar
artinya dalam arti ia bisa mempunyai jangkauan yang luas baik dari segi
penyebaran geografis maupun kelompok sasaran orang yang akan dituju.
Dalam hal sasarannya masyarakat, maka dengan pendekatan ini bisa menekan
situasi panik dari masyarakat yang semula tidak faham akan situasi sosial yang
bermasalah yang sedang terjadi (kepanikan masyarakat ketika bahaya AIDS baru
pertama kali diketahui, banyak penderita AIDS yang diperlakukan tidak manusiawi
karena ketidak tahuan orang tentang bagaimana cara penularan penyakit tsb). Walaupun pendekatan
ini bisa mempunyai jangkauan yang luas, sayangnya pendekatan ini hanya efektif
bagi masyarakat yang mempunyai budaya baca.
d.
Pendekatan Seni
Pendekatan seni adalah suatu upaya yang dilakukan para seniman (seni drama,
musik, tari, lukis, sastra dsb) untuk membangun simpati kemanusiaan sehubungan
dengan sistuasi sosial yang bermasalah.
Dalam pendekatan
ini juga harus memperhitungkan kelompok yang jadi sasaran.(misal melalui musik,
apabila yang jadi sasaran pendekatan adalah anak muda, maka musik yang
digunakan juga musik yang sesuai dengan selera anak muda, begitu juga dengan
ksenian lainnya, misalnya wayang cocok untuk digunakan pada masyarakat desa di
Jawa dst).
B. Pendekatan Lain
Selain pendekatan
sosiologis di atas ada beberapa pendekatan lain yang dapat digunakan dalam
penanganan masalah-masalah sosial seperti yang akan diuraikan dibawah ini.
1. Pendekatan Ekologi
Yaitu suatu metode
pendekatan yang yang didasarkan atas konsep dan prinsip ekologi ,dalam arti
menelaah masalah sosial sebagai hasil interrelasi antara masyarakat manusia
dengan lingkungannya pada suatu ekosistem . pada pendekatan ini kita tidak
memisahkan komponen masyarakat manusia dari komponen lingkungannya.
Melalui pendekatan
ekologi, pertumbuhan masyarakat manusia di tempat-tempat tertentu, baik di
perkotaan maupun di pedesaan dengan segala aspeknya dipelajari dan dikaji
pengaruhnya tehadap lingkungan setempat. Diteliti pengaruhnya tadi apakah tetap
seimbang ataukah menimbulkan ketimpangan, sampai sejauh mana ketimpangan tadi
menyebabkan terjadinya masalah sosial bagi masyarakat setempat.
Melalui pendekatan ekologi dikaji kemampuan daya tampung lingkungan alam
tehadap kehidupan masyarakat manusia di tempat tertentu. Sedangkan daya tampung
lingkungan yaitu suatu ukuran tertentu yang menunjukkan jumlah individu yang
dapat ditunjang oleh lingkungan tersebut.
Manusia merupakan bagian dari alam, bukan penguasa alam oleh karena itu
perbuatan manusia yang serampangan tidak terencana yang menimbulkan ketimpangan
lingkungan akhirnya merugikan dan mengancam kehidupan ,manusia itu sendiri.
Aspek-aspek yang harus diungkapkan dari komponen manusia pada pendekatan
ekologi yaitu, aspek demografisnya, sosial ekonomi, sosial budaya, sosial
politik; sosial geografis, sosial historis dan yang lainnya yang berpengaruh
terhadap perkembangan dan perubahan lingkungan alam. Data kuantitatif dan
kualitatif aspek-aspek tersebut dianalisa untuk meyakinkan terjadinya
ketimpangan yang menyebabkan masalah sosial .
Yang mendorong terjadinya masalah sosial pada ekosistem adalah bahwa
manusia berkecenderungan menyederhanakan keadaan unsur-unsur ekosistem
tersebut, sehingga menjadi labil dan mudah goncang . Kegoncangan inilah yang
menyebabkan terjadinya ketimpangan ekologis yang pada gilirannya dapat menimbulkan
masalah sosial yang dapat mengancam kehidupan manusia. Paul R Erlich et.al
mengemukakan bahwa manusia telah menjadi musuh bagi kompleks sistem ekologis
yang menyebabkan tidak stabilnya suatu ekosistem.
2. Pendekatan Pertumbuhan
Eksponensial
Yaitu suatu
pendekatan yang menyebutkan bahwa pertumbuhan kuantitas dan kualitas suatu
benda, suatu unsur atau gejala dari suatu tingkat ke tingkat berikutnya terjadi
dengan kelipatan dua.
Pendekatan ini berlandaskan metodologi dinamika sistem yang merupakan suatu
metodologi untuk menganalisa kelakuan dan relasi komponen-komponen yang
kompleks pada suatu sistem . Kerangka kerja dinamika sistem ini berdasarkan
suatu model untuk menyusun pemikiran interrelasi komponen-komponen pokok
tertentu, serta untuk mengetahui bagaimana komponen-komponen tadi saling
mempengaruhi satu sama lain dalam suatu sistem. Variabel –variabel disusun pada
suatu pola kerangka umpan balik positif dan negatif yang dapat diungkapkan
keterkaitan antara unsur-unsur atau faktor-faktor atau komponen-komponen yang
menggambarkan suatu sistem.
Pendekatan ini dapat digunakan untuk mengadakan analisa sistem yang
kompleks dan berubah serta tumbuh secara dinamik terus menerus yang menyebabkan
masalah sosial.
Pada pendekatan pertumbuhan eksponensial harus ditentukan dulu masalah yang
akan dianalisa. Selanjutnya diteliti unsur – unsur atau faktor-faktor atau
komponen-komponen apa yang jadi dasar penyebab masalah sosial tadi, kemudian
dianalisa kaitan pertumbuhan satu faktor dengan yang lainnya dan dianalisa pengaruh
pertumbuhan faktor yang satu dengan yang lainnya. Dari pertumbuhan
faktor-faktor tadi, dapat dianalisa dan diketahui
keseimbangan/ketidakseimbangan pertumbuhan faktor– faktor tersebut dalam suatu
sistem yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya ,masalah sosial.
Berdasarkan analisa pertumbuhan eksponensial, kita dapat mengetahui
komponen mana yang terlalu cepat atau lambat pertumbuhannya dalam kerangka
proses dinamikanya. Inilah yang menimbulkan ketidakseimbangan yang kemudian
menimbulkan masalah .
3.
Pendekatan Sistem
Yaitu suatu
pendekatan yang yang menetapkan bahwa masalah sosial tadi sebagai suatu sistem.
Pendekatan sistem ini dijiwai oleh faham ekspansionisme dan cara berfikir
sintetik. Ekspansionisme yaitu suatu doktrin yang mempertahankan bahwa semua
benda, peristiwa, dengan segala pengalamannya merupakan bagian dari suatu
kebulatan yang besar.
Ekspansionisme
merupakan cara lain meninjau suatu benda atau peristiwa disamping faham
reduksionisme yaitu suatu doktrin yang mempertahankan bahwa semua benda dan
peristiwa dengan segala perbendaharaan dan pengalamannya terbentuk dari
unsur-unsur yang merupakan bagian – bagian yang tidak nampak. Faham ini
didasari oleh cara berfikir analitik yang mengungkap segala sesuatu dapat
dijelaskan sampai dapat dimengerti.
Berfikir sintetik yang tidak dapat dipisahkan dipisahkan dari faham
ekspansionisme yaitu cara berfikir yang didasarkan pada proses mental yang
menjelaskan sesuatu dengan meninjaunya sebagai bagian dari sistem yang luas
serta menjelaskannys berdasarkan peranan hal tersebut dalam sistem.
Penerapan cara
berfikir sintetik yang diterapkan pada sistem masalah inilah yang disebut
pendekatan sistem.
Sistem yaitu suatu rangkaian gejala yang dihubungkan satu sma lain oleh
suatu proses umum. Dalam kehidupan sosial manusia, tiap aspek kehidupan
merupakan gejala yang berhubungan satu sama lain membentuk satu sistem. Segala
aspek kehidupan sosial manusia dengan prosesnya yang terus berlangsung,
merupakan suatu sistem kehidupan. Kedudukan suatu sitem lebih tinggi daripada
kedudukan bagian-bagian yang membentuknya.
Pada konsep sistem, benda,gejala, atau peristiwa ditetapkan sebagai satu
keseluruhan dan satu kebulatan yang tidak terpisahkan dari bagian-bagiannya.
Pada suatu sistem, bagian –bagian yang terpisah tidak berarti apa-apa bila
dibandingkan dengan kedudukannya sebagai komponen atau subsistem dalam
keseluruhan yang bulat. Suatu sistem lebih tinggi nilainya daripada
bagian-bagiannya.
Kehidupan sosial manusia atau masyarakat merupakan suatu sistem sebagai hasil
interrelasi dan interaksi manusia dengan segala aspek kehidupannya. Pada konsep
sistem ini, aspek kehidupan manusia di masyarakat, kita tetapkan sebagai
komponen atau subsistem yang membentruk sistem tadi. Aspek kehidupan biologis,
budaya, ekonomi, politik,psikholgis dst, merupakan subsistem yang
berinterrelasi satu sama lain yang membentuk sistem kehidupan manusia yang
kompleks.
Peninjauan dan pendekatan aspek kehidupan sosial manusia dalam mengkaji
masalah sosial dengan pendekatan sistem, tidak dilepaskan atau direduksikan
satu sama lain, melainkan ditinjau sebagai satu kebulatan yang tidak
terpisah-pisah.
Pada pengkajian masalah sosial dengan menggunakan pendekatan sistem,
subsistem lingkungan tidak dapat diabaikan. Subsistem lingkungan besar peranan
dan perkaitannya dengan warna masalah sosial tadi. Dalam hal ini, proses
berfikir sistem tidak memisahkan tiap langkah dan tiap aparat sebagai satu
kebulatan pada pendekatan sistem. Pendekatan sistem secara lugas, merupakan
proses keseluruhan mulai dari penentuan subsistem, perencanaan alat pengumpul
data, pengumpulan data, analisa data sampai kepada penarikan kesimpulan.
4. Pendekatan Interdisipliner,
Pendekatan Multidispliner.
Karena subsistem
masalah sosial banyak jumlahnya, kita harus menggunakan disiplin ilmu sosial
yang juga lebih dari satu. Dengan demikian, pada pendekatan ini kita gunakan
disiplin ilmu sosial yang sesuai dengan jumlah subsistem masalah yang kita
analisa dan kita kaji, disebut pendekatan interdisipliner.
Pada pendekatan ini, masalah sosial didekati, dianalisa dan dikaji dari
berbagai disiplin ilmu sosial secara serentak dalam waktu yang sama. Masalah
sosial yang kompleks sesuai dengan subsistem masalahnya diunngkapkan dari
berbagai disiplin akademis seperti : Sosiologi, Ekonomi, Antropologi, Politik,
Geografi, Psikologi, Sejarah dst, bahkan mungkin dari disiplin akademis diluar
ilmu sosial.
Secara tuntas, lugas dan mendalam, antara pendekatan sistem dengan
pendekatan interdisipiner masalah sosial, tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Pendekatan sistem yang menggunakan disiplin akademis yang jamak, disebut
pendekatan interdisipliner. Sebaliknya pendekatan interdisipliner yang
menetapkan suatu masalah yang sedang didekati dan sedang dianalisa sebagai
suatu sistem disebut pendekatan sistem.
Mengingat pendekatan sistem yang sekaligus juga pendekatan interdisipliner
yang menggunakan disiplin akademis yang jamak. Pendekatan ini dapat pula
disebut sebagai pendekatan multidisipliner. Jadi, pendekatannya pada hakekatnya
sama. Ditinjau dari hakekatnya,pendekatan tadi tidak asing bagi manusia, karena
berdasarkan cara berfikir manusia yang multidimensional dalam mengevaluasi
suatu gejala atau masalah.
Dalam mengkaji masalah sosial yang kompleks melalui pendekatan
interdisipliner atau pendekatan sistem, perlu memiliki kemampuan
interdisipliner dan sistem. Kemampuan tsb baik yang ada dalam diri kita, maupun
kerjasama dengan berbagai keahlian dari berbagai bidang keilmuan.
Selain pendekatan
secara umum tersebut, terdapat pendekatan yang biasa digunakan oleh pemerintah
dan praktek pekerjaan sosial. Pendekatan tersebut terbagi dua yaitu pendekatan
praktis dan pragmatis. Pendekatan praktis dan pragmatis selama ini sudah sering
dilakukan oleh pemerintah dan para penggiat pekerjaan sosial.
Tantangan ke depan
adalah mengembangkan sebuah program intervensi yang secara sinergis dapat
memadukan pendekatan praktis dan pragmatis dalam sebuah kerangka intervensi
yang komprehensif dan berkelanjutan. Salah satu contoh pendekatan praktis dan
pragmatis bagi pengguna Napza suntik agar tidak menularkan atau tertular
HIV/AIDS dan penyakit yang disebabkan oleh pertukaran jarum suntik adalah
programHarm Reduction atau pengurangan dampak buruk di kalangan pengguna Napza
suntik (Penasun).
Apabila kita lihat
secara sepintas, pendekatan di atas tampaknya dapat mengurangi penularan
HIV/AIDS atau penyakit terkait di kalangan pengguna Napza suntik. Namun dalam
perspektif pemberdayaan masyarakat, tampaknya program ini cenderung menjadikan
Penasun yang terlibat sekedar menjadi objek. Di level tertentu, hal ini
kemudian menyebabkan ketergantungan terhadap keberadaan lembaga donor atau
program bantuan internasional. Sangat disayangkan bahwa beberapa organisasi
yang ada juga terkadang hanya sekedar memanfaatkan program Harm Reduction
sebagai sarana untuk mengumpulkan data-data dan informasi yang terkait dengan
kalangan pengguna Napza untuk kepentingan mereka sendiri.
Sampai sejauh ini
kualitas hidup yang menyangkut keadaan fisik, psikis, sosial, dan spiritual
Penasun masih dalam taraf yang cukup rendah. Hal ini dapat dilihat dari kondisi
beberapa staf pelaksana program, klien jangkauan atau dampingan lembaga swadaya
masyarakat penggiat program Harm Reduction.
Secara umum
kondisi mereka memproyeksikan sebuah gambaran bahwa pengguna napza suntik tidak
dapat mengembangkan dirinya secara maksimal. Kebanyakan diantara mereka masih
disibukan dengan masalah yang sangat mendasar, yaitu kecanduan terhadap Napza.
Dalam kasus ini, kita dapat melihat bagaimana pendekatan praktis dan pragmatis
tidak mampu menjawab kebutuhan untuk meningkatkan kualitas hidup bagi para
pengguna Napza secara berkelanjutan.
Satu contoh yang
terkait dengan permasalahan Narkoba dan HIV-AIDS adalah Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA). Di Indonesia, saat ini ODHA telah mendapat kemudahan dalam mengakses
layanan kesehatan. Beberapa waktu yang silam layanan kesehatan bagi ODHA adalah
fasilitas yang cukup mahal, karena stigma dan diskriminasi yang cukup tinggi.
Obat-obatan untuk HIV, yang salah satunya adalah obat Antiretroviral (ARV) saat
ini juga dapat dibagikan secara gratis. Meskipun begitu, kita tidak pernah tahu
bagaimana pemerintah mendapatkan anggaran untuk membuat ARV menjadi gratis.
Berdasarkan sebuah
penelusuran, ternyata ARV gratis adalah salah satu program pemerintah Republik
Indonesia yang dikembangkan oleh Departemen Kesehatan RI. Dari 60% keseluruhan
anggaran untuk program ini (sekitar US$ 8.938.042,-), sumber dananya berasal
dari negara-negara G-8 melalui program bantuan luar negeri yang bernama “Global
Fund for AIDS, TB, and Malaria (GF-ATM/ Proposal Round 8, Republic Indonesia).
Saat ini obat ARV tersedia diseluruh Rumah Sakit rujukan HIV/AIDS yang kurang
lebih terdiri dari sekitar 148 Rumah Sakit yang tersebar di 22 provinsi. Dasar
pemberian obat ARV adalah Keputusan Presiden no. 83/ tahun 2004 yang
diperbaharui dengan Keputusan Presiden no. 6/ tahun 2007 tentang Palaksanaan
Paten obat-obatan Antiretroviral oleh Pemerintah, serta Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia no. 1190/Menkes/SK/X/2004 tentang Pemberian Gratis
obat Tuberkulosis dan Antiretroviral untuk HIV/AIDS. Dalam konteks ini,
ketergantungan anggaran sebesar 60% terhadap sumber dana asing merupakan salah
satu persoalan yang harus dicarikan jalan keluarnya.
Kembali pada
wacana pendekatan praktis dan pragmatis yang dikembangkan oleh Negara dan
penggiat pekerja sosial, dalam hal ini tampaknya kesadaran ODHA untuk
memberdayakan dan meningkatkan kualitas hidup mereka telah terkooptasi oleh
program-program yang dikembangkan secara instan. Kebanyakan dari program
semacam ini tidak mampu menjawab permasalahan secara akurat dan tidak memiliki
aspek keberlanjutan (sustainability). Kebutuhan untuk mencari solusi yang
komprehensif merupakan sebuah pekerjaan rumah yang akan berlanjut entah sampai
kapan. Dalam hal ini barangkali hanya waktu yang akan menjawab. Terapi ARV
hanya langkah awal dari banyak agenda yang harus dilakukan untuk meningkatkan
kualitas hidup ODHA.
Stigma dan
diskriminasi bagi Orang Dengan HIV/AIDS tidak hanya dapat dihilangkan dengan
program pembagian obat ARV secara gratis saja. Dalam hal ini, stigma dan
diskriminasi juga menyangkut masalah psikis dan struktur sosial masyarakat.
Oleh karena itu, dibutuhkan ide atau program yang dapat memproyeksikan
keselarasan pikiran yang logis serta hati nurani yang mencerminkan empati
terhadap pemenuhan kebutuhan mendasar bagi ODHA. Dalam hal ini, persepsi
terhadap Orang Dengan HIV-AIDS harus tampil secara manusiawi dan menghargai
eksistensi ODHA sebagai salah satu bagian dari kelompok masyarakat yang ikut
memberikan dampak bagi pola penanggulangan HIV-AIDS dan Napza.
Pekerja sosial,
selain melakukan pendekatan bersama pemerintah secara pragmatis dan praktis
tadi terdapat juga pendekatan lain yang memang secara khusus lebih sering
dilakukan untuk memecahkan masalah sosial, dalam hal ini HIV-AIDS melalui
pendekatan manajemen kasus.
Manajemen kasus
(Case mangement) adalah salah satu pendekatan yang dilakukan oleh Pekerja
sosial. Lahir lewat rumah-rumah imigran ( settlement houses) di Amerika serikat
awal abad ke -18. Selanjutnya pendekatan ini juga dilakukan untuk
kelompok-kelompok lainnya dalam masyarakat seperti; Masyarakat miskin,
penyandang gangguan kesehatan jiwa, cacat fisik dan manusia usia lanjut. Dan
tahun 1990, lewat kasus Ryan White ( Ryan White Care act), seorang anak yang
terinfeksi HIV mulai lah pendekatan Manajemen kasus dilakukan untuk memastikan
Orang yang terinfeksi HIV ( ODHIV) mendapatkan pelayanan yang terkoordinir dan
berkelanjutan. ( Fleishman,1998).
Manajemen Kasus
dapat dijabarkan sebagai; penggelolaan secara terkoordinasi semua sistim
pemberi jasa perawatan guna memenuhi kebutuhan klien atau kelompok klien
tertentu.(Fleisher dan Hendrickson,2002). Di Tataran pelaksananaan pelayanan
masih ada perbedaan paradigma perawatan dan siapa yang bertanggungjawab
melakukan tugas ini sehingga sulit untuk menjabarkan yang menyeluruh tentang
disiplin ini. Tapi disisi lain ada kesamaan persepsi tentang fungsi nya.
Managemen kasus
untuk orang dengan HIV dan AIDS memiliki tantangan yang tidak sedikit. Mulai
tantangan Psiko-sosial, keuangan, pengunaan narkoba dan atau alkhohol (
substance), penyakit kronis, kemiskinan, dan Diskriminasi ( Fleisher dan
Hendrickson, 2002).
Manajemen Kasus HIV
Untuk pekerja
sosial di Indonesia sebenarnya istilah managemen kasus bukanlah sesuatu yang
asing. Pendekatan ini sudah dilakukan dalam penangganan populasi khusus,
seperti anak-anak dengan penglihatan rendah, penyandang cacat dan gangguan
kesehatan jiwa.
Secara konsep dan
praktek manajemen kasus HIV dikenalkan di Komunitas kesehatan Indonesia
Oktober 2001 oleh seorang Pekerja Sosial profesional yang saat itu bekerja di
Family Health international (FHI). Perkenalan ini dilanjutkan dengan diskusi
dengan pekerja sosial dari STISIP Widuri. Dengan bantuan Tehknis dari FHI,
dibuat lah pilot project manajemen kasus untuk HIV. Pada awalnya terjadi
sedikit tumpang tindih peran antara manager kasus dan konselor VCT ( Volountary
counseling and testing / tes HIV yang dilakukan dengan konseling dan sukarela),
karena melihat adanya beberapa fungsi yang mirip.
Tahun 2002,
Manajer kasus HIV diperkenalkan dan masuk dalam strategi kesehatan Nasional
Indonesia untuk Pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV dan AIDS.
Beberapa proyek penting penanggualangan HIV dan AIDS kemudian mulai diterapkan
di Komunitas penguna Napsa suntik ( Penasun), komunitas Waria, komunitas gay,
biseksual dan lelaki seks dengan lelaki lainnya serta perempuan pekerja seks.
Para manager kasus
menjadi salah satu yang penting dalam Tim Pelayanan terpadu untuk perawatan,
dukungan dan pengobatan ( Care support and Treatment/ CST) HIV. Tim CST di
suatu layanan terdiri dari; Dokter spesialis, dokter umum, perawat, Konselor
VCT, dan Manajer kasus. Untuk memperkuat kinerja nya sejak tahun 2004, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia memfasilitasi beberapa pelatihan CST dalam bentuk
kursus secara paralel.
Pelatihan meliputi
pelatihan untuk pelatih ( Training of Trainer) dan petugas manajemen kasus yang
disebut manager kasus. Pelatihan dilakukan secara periodik dari berbagai
wilayah di Indonesia.
Miskonsepsi seputar manajemen kasus
Informasi masih
seputar manajemen kasus HIV bagi para petugas kesehatan, khususnya
pemerintah, pada awalnya diterima dengan reaksi penolakan dan keraguan. Kesalahpahaman pertama
adalah anggapan bahwa manajemen kasus merupakan alat medis dan hanya dokter
yang berwenang di bidang tersebut. Padahal kenyataannya manajer kasus bukan
menanggani masalah medis. Ia menanggani masalah Psiko sosial dan membantu klien
untuk bisa mengakses kebutuhan akan medis dan membantu pasien untuk paham
dan menjalani petunjuk petugas medis.
Kedua, istilah manajer kasus memberi gambar dan kesan “ karyawan manjerial
dengan pakaian dasi” atau pengobyekan ODHIV sebagai “sebuah kasus”. Adlaha
lebih tepat manajemen kasus HIV dipromosikan sebagai pendekatan sistematis yang
memberdayakan ODHIV supaya kesehatan, kebutuhan dapat dicapai dalam proses yang
sensitif terhadap kebutuhan individu klien. Dalam artian terjaga kerahasian
klien, dilakukan secara profesional dan berkelanjutan dengan ouput akhir
kemandirian . Hingga saat ini telah dilatih lebih dari 1000 orang tenaga
kesehatan dan staff Lembaga swadaya Masyarakat dalam manajemen kasus HIV.
Kesinambungan Manajemen Kasus HIV
Kesinambungan
manajemen Kasus HIV di Indonesia merupakan kekwatiran yang sungguh nyata. Pihak
kemetrian Sosial sudah memfasilitasi untuk mengembangkan program pelatihan,
diberikan kurikulum pelatihan yang baku (standar) dan menelurkan Manajer kasus
HIV yang cakap di Bidangnya. Sekelompok pekerja sosial mendirikan Yayasan
Pelayanan Anak dan Keluarha ( Yayasan Layak) dengan tujuan utama memebrikan
pelayanan manajemen kasus HIV kepada ODHIV di DKI jakarta . Sampai saat ini
mereka telah mendampingi sebanyak 1874 orang yang terinfeksi HIV.
Titik awal ODHIV
masuk ke layanan Manajemen kasus adalah lewat jalur perawatan kesehatan formal.
Rumah sakit, poliklinik, puskesmas dan lain-lain tergantung pada tenaga manejer
kasus yang tersedia dan saat ini masih terbatas hanya didanai oleh lembaga
asing. Malah dengan berakhirnya program dari FHI sejak Pebruari 2010, layanan
manajemen kasus seperti mati suri. Beberapa manajer kasus masih bekerja dengan
prinsip kesukarelawanan dalam membantu ODHIV. Masalah kesinambungan
Manajemen Kasus HIV baru bisa diatasi jika Manager kasus HIV menjadi pegawai
fasilitas layanan kesehatan yang juga menerima gaji.
Meningkatnya
jumlah anggota rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan yang terinfeksi HIV di
Indonesia merupakan masalah yang mengkuatirkan. Manajemen kasus HIV dengan penghuni
penjara yang terinfeksi HIV sebelum meraka bebas menjadi sangat penting, dan
menyiapkan mereka yang akan kembali ke keluarga dan masyarakat pun menjadi tak
kalah penting. Khususnya dalam upaya mengurangi resiko untuk menularkan ke
anggota lainnya di Penjara dan keluarga saat mereka pulang. Manajemen kasus
untuk penghuni penjara merupakan kelompok yang membutuhkan pengembangan lebih
lanjut serta perhatian khusus di Indonesia.
Pembentukan Ikatan
Manajer Kasus Indonesia (IMKI) sebagai Wadah dan jaringan bagi Manajer kasus
HIV di Indonesia juga sudah di Inisiasi setahun yang lalu, sampai saat ini
belum jelas hasilnya. sementara di lapangan semakin banyak manejer kasus yang
sudah mulai menyingkir dari panggung kerelawanan. ketika idealisme para manajer
kasus berhadapan dengan kebutuhan pokok, makan, tempat tinggal, pemenuhan
kebutuhan keluarga dan lainnya. idealisme itu seperti membentur karang terjal.
beberapa patah arang dan lari meninggalkan pelayanan terhadap ODHIV.
Sekarang setelah
sepuluh tahun pengalaman manajeman kasus HIV di Indonesia, masih banyak yang
harus dicapai dalam upaya membantu mereka yang hidup dengan HIV dan AIDS.
3.
Tujuan
Tujuan Umum penanggulangan HIV dan AIDS
Mencegah
dan mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA serta mengurangi
dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan
masyarakat.
Tujuan Khusus Penanggulangan HIV dan AIDS
·
Menyediakan
dan menyebarluaskan informasi dan menciptakan suasana kondusif untuk mendukung
upaya penanggulangan HIV dan AIDS, dengan menitikberatkan pencegahan pada
sub-populasi berperilaku resiko tinggi dan lingkungannya dengan tetap
memperhatikan sub-populasi lainnya.
·
Menyediakan
dan meningkatkan mutu pelayanan perawatan, pengobatan, dan dukungan kepada ODHA
yang terintegrasi dengan upaya pencegahan.
·
Meningkatkan
peran serta remaja, perempuan, keluarga dan masyarakat umum termasuk ODHA dalam
berbagai upaya penanggulangan HIV dan AIDS.
·
Mengembangkan
dan meningkatkan kemitraan antara lembaga pemerintah, LSM, sektor swasta dan
dunia usaha, organisasi profesi, dan mitra internasional di pusat dan di daerah
untuk meningkatkan respons nasional terhadap HIV dan AIDS.
·
Meningkatkan
koordinasi kebijakan nasional dan daerah serta inisiatif dalam penanggulangan
HIV dan AIDS.
Selain
tujuan-tujuan tersebut, terdapat juga berbagai macam tujuan lain, salah satunya
merupakan tujuan pekerja sosial itu sendiri dalam menangani masalah HIV-AIDS,
diantaranya:
·
Meningkatkan
dan memperluas upaya pencegahan yang nyata efektif dan menguji coba cara-cara
baru.
·
Meningkatkan
dan memperkuat sistem pelayanan kesehatan dasar dan rujukan untuk
mengantisipasi peningkatan jumlah ODHA yang memerlukan akses perawatan dan
pengobatan.
·
Meningkatkan
kemampuan dan memberdayakan mereka yang terlibat dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS di pusat dan di daerah melalui pendidikan dan
pelatihan yang berkesinambungan.
·
Memberdayakan
individu, keluarga dan komunitas dalam pencegahan HIV dilingkungannya.
·
Memobilisasi
sumberdaya dan mengharmonisasikan pemamfaatannya di semua tingkat.
·
Agar
setiap orang mampu melindungi dirinya agar tidak tertular HIV dan tidak
menularkan kepada orang lain.
·
Memberikan
kemudahan kepada mereka yang memerlukan untuk akses kepada layanan perawatan
dan pengobatan melandasi program – program pada area ini.
·
Mengurangi
penderitaan akibat HIV dan AIDS dan mencegah penularan lebih lanjut infeksi HIV
serta meningkatkan kwalitas hidup ODHA.
·
Meningkatkan
pembuatan peraturan perundangan dan ketentuan-ketentuan lain di pusat dan
daerah dalam rangka menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terselenggaranya
upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.
·
Menyelaraskan
dan mengkoordinasikan berbagai program dan kegiatan upaya penanggulangan HIV
dan AIDS yang diselenggarakan pemerintah, masyarakat sipil dan mitra
internasional sehingga mencapai tujuan yang diinginkan.
4. Fungsi Pekerja Sosial
a. Menilai Situasi Klien
Merupakan langkah pertama yang dilakukan pekerja
sosial untuk secara menyeluruh memahami dan menilai dengan teliti kemampuan dan
kebutuhan klien. seorang perantara yang efektif harus trampil dalam menilai
faktor – faktor tersebut yaitu kultur, sumber daya, kemampuan lisan, kestabilan
emosional, kecerdasan / intelegensi, pengaruh klien dan kemampuan untuk
melakukan perubahan.
b. Sumber Bantuan
Pekerja sosial harus menilai berbagai sumber daya yang
tersedia untuk memenuhi kebutuhan klien. sebagai pelayanan masyarakat seperti
hal nya agen – agen yang lain, pekerja sosial harus terbiasa dengan pelayanan
yang ditawarkan, mutu staff, hal yang memenuhi syarat kebutuhan umum dan biaya
– biaya kebutuhan umum. Pekerja sosial juga harus tahu cara yang terbaik untuk
membantu klien dalam memperoleh sumber daya yang ada.
c. Penyerahan
Proses untuk mengkaitkan klien dengan suatu sumber
daya memerlukan pekerja sosial untuk membuat suatu bahan pertimbangan mengenai
kemampuan dan motivasi klien memperoleh pelayanan dan sumber daya yang akan
minta klien dilayani. Ketergantungan pada pertimbangan tersebut, pekerja sosial
menjadi kurang aktif dalam proses penyerahan. Suatu penyerahan juga memerlukan
suatu kelanjutan aktivitas dalam pekerjaan memeriksa dan menyakinkan klien
untuk memenuhi kebutuhannya.
d. Sistem Hubungan Pelayanan
Seorang perantara memerlukan pekerja sosial untuk
memudahkan proses interaksi antara berbagai segmen menyangkut sistem
pelayanan.Untuk memperkuat keterkaitan antara para agen pelayanan, program dan
para profesional, pekerja sosial bekerja dengan cara menghubungkan hal tersebut
untuk menetapkan suatu komunikasi, negosiasi tentang pembagian sumber daya dan
turut ambil bagian dalam perencanaan, koordinasi dan pertukaran informasi.
e. Pemberian Informasi
Perantara sering memerlukan
pemberian informasi kepada klien, kelompok masyarakat dan pembuat UU atau
pembuat keputusan masyarak lain. Sebagai agen sistem pelayanan dan pengetahuan,
pekerja sosial menolong orang lain dengan menggunakan berbagai pengetahuan yang
dimiliki sehingga masyarakat akan sadar terhadap kesenjangan antara pelayanan
yang tersedia dan kebutuhan.
Selain fungsi-fungsi diatas, ada juga beberapa fungsi
pekerja sosial dalam peran tertentu, diantaranya:
1. Pekerja Sosial sebagai advokat
Tujuan : membantu klien menegakkan hak – hak mereka
dalam menerima pelayanan dan aktif mendukung adanya perubahan kebijakan dan
program yang bersifat negatif bagi kelompok klien maupun kelompok individu.
Uraian : Pusat pekerjaan sosial adalah pembelaan.
Peran ini menjadi misi pokok pekerjaan sosial dan dijelaskan dalam Kode Etik
NASW tahun 1996.
FUNGSI
a. Pembelaan kasus / klien
Secara umum, pembelaan / advokasi merupakan hak klien
dalam memperoleh pelayanan. Pembelaan itu sendiri diarahkan pada agen pelayanan
itu sendiri atau ke orang lain yang terlibat dalam jaringan pelayanan manusia.
Langkah – langkah penting dalam advokasi adalah dengan mengumpulkan informasi
dan menentukan bahwa klien berhak atas pelayanan tersebut. Jika demikian maka
negosiasi merupakan jalan tengah dalam menyelesaikan suatu konflik dan taktik
konfrontasi digunakan untuk menjamin / mengamankan pelayanan tersebut.
b. Kelompok Advokasi
Pekerja sosial harus bertindak sebagai advokat dalam
kelompok klien atau pada suatu populasi masyarakat yang mempunyai suatu
masalah. Kelompok advokasi memerlukan tindakan yang bertujuan mengatasi
hambatan / rintangan pada orang – orang yang ingin mewujudkan haknya. Kelompok
advokasi memerlukan aktivitas untuk melakukan perubahan peraturan agen
pelayanan, kebijakan sosial atau hukum dalam lingkungan legislatif dan secara
politis melakukan penyatuan persepsi dengan organisasi lain yang memperhatikan
isu yang sama.
2. Pekerja Sosial sebagai Pengajar
Tujuan : untuk menyiapkan klien dengan berbagai
ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk mengatasi masalah – masalah
yang dihadapi.
Uraian : banyak praktek pekerja sosial yang melakukan
proses pengajaran pada klien dalam mengantisipasi dan mencegah masalah dengan
memberikan pengetahuan dan pengalaman pada diri pekerja sosial terhadap
kliennya. Peran Pekerja sosial sebagai pengajar mempunyai suatu aplikasi
tingkat makro. Pekerja sosial harus siap mengajarkan masyarakat tentang
ketersediaan dan mutu pelayanan manusia yang diperlukan serta kecukupan program
pelayanan dan kebijakan sosial untuk memenuhi kebutuhan klien.
FUNGSI
a. Mengajarkan Tentang Kehidupan Sosial Dan
Ketrampilan Sehari -Hari
Pemberian ketrampilan dalam menyelesaikan konflik,
managemen uang, penggunaan fasilitas umum, penyesuian diri dengan lingkungan
baru, kesehatan dan kepedulian pada diri sendiri dan komunikasi yang efektif.
b. Perubahan Perilaku
Pekerja sosial bisa menggunakan pendekatan intervensi
seperti peran memperagakan, menilai klarifikasi dan modifikasi perilaku.
Sebagai contoh mengajarkan kepada seorang dewan direktu tentan bagaimana cara
untuk mendesain kembali suatu perubahan yang tidak berhasil.
c. Pencegahan Utama
Pekerja sosial telah memberi perhatian yang besar
dalam melakukan proses pencegahan utama yaitu dengan menempatkan pekerja sosial
berperan sebagai pendidik atau guru. Contoh aktivitasnyaadalah memberikan
nasehat bagi pasangan yang belum menikah, mengajarkan ketrampilan pada orang
tua, memberkan informasi tentang keluarga berencan / KB dan memberikan solusi
bagi orang – orang yang mengalami masalah.
3. Peran Pekerja Sosial Sebagai
Konselor atau Klinikal
Tujuan : membantu klien meningkatkan keberfungsian
sosial mereka dengan pemahaman yang lebih baik terhadap perasaan mereka,
memodifikasi perilaku dan belajar mengatasi situasi kebimbangan.
Uraian : dalam melaksanakan peran ini, pekerja sosial
memerlukan pengetahuan tentang perilaku manusia dan pemahaman tentang bagaimana
lingkungan sosial berpengaruh pada klien.
FUNGSI
a. Penilaian Psikososial dan Hasil Diagnosa
Situasi klien harus secara menyeluruh dipahami dan
termasuk kapasitas motivasi mereka untuk menilai suatu perubahan. Dan ini
memerlukan kerangka konseptual untuk mengorganisir informasi dan cara – cara
untuk meningkatkan pemahaman tentang klien dan lingkungannya.
Hasil diagnosa diperlukan dalam beberapa inter
komunikasi profesional, riset, perencanaan program dan pembiayaan dalam
perolehan pelayanan yang diberikan.
b. Keberlangsungan Kepedulian
Advokat atau klinikal tidak selalu melibatkan
pekerjaannya untuk melakukan perubahan pada klien atau kondisi sosialnya.
Kadang – kadang juga dengan menyediakan faktor pendukung atau kepedulian yang
diperluas.
c. Perawatan Sosial
Fungsi melibatkan aktivitas pekerja sosial dalam
membantu klien memahami hubungan antara orang – orang dengan kelompok
sosialnya, mendukung klien untuk memodifikasi hubungan sosial, melibatkan klien
dalam pemecahan masalah atau berusaha melakukan perubahan antar pribadi dan
konflik. Whittaker dan Tracy menggambarkan perawatan sosial sebagai usaha
membantu hubungan antar pribadi secara langsung ataupun tidak langsung untuk
menopang individu, keluarga dan kelompok kecil dalam meningkatkan keberfungsian
sosial dan mengatasi permasalahan sosial.
d. Evaluasi
Ada dua praktek pelayanan evaluasi yaitu :
- pekerja sosial menguji capaiannya untuk menilai
efektifitas dari intervensi yang dilakukan.
- pekerja sosial mengumpulkan data klien untuk
mengetahui tingkat kedaruratan permasalahan sosial atau meninjau kembali
pelayanan dan kebijakan publik yang disediakan.
4. Pekerja Sosial sebagai manager kasus
Tujuan : untuk mencapai kesinambungan pemberian
pelayanan keluraga dan invidu melalui proses penghubungan antara klien dan
pelayanan yang diinginkan dan pengkoordinaran pemanfaatan pelayanan tersebut.
Uraian : peran pekerja sosial sebagai manager kasus
mempunyai arti penting bagi klien yang menggunakan pelayanan yang disajikan
oleh agen – agen pelayanan. Sebagai manager kasus, pekerja sosial mempunyai
cakupan yang luas dalam aktvitasnya. Pekerjaannya dimulai dengan
mengidentifikasikan jenis bantuan yang diperlukan, melakukan penyelidikan
terhadap faktor yang menjadi penghalang dalam mengatasi masalah, mendukung
klien untuk mencoba mengeksplorasikan semua potensinya, memberikan kesempatan
kepada klien untuk memperoleh pelayanan langsung. Rumusan suatu kasus mungkin
merupakan perencanaan pelayanan yang menunjukkan kebutuhan – kebutuan yang
diperlukan klien.
FUNGSI
a. Orientasi dan Identifikasi Klien
Mengidentifikasi dan memilih individu yang akan
menerima pelayanan, mutu hidup atau pembiayaan pelayanan dan kepedulian yang
berpengaruh pada managemen kasus.
b. Penilaian Klien
Fungsi ini mengacu pada pengumpulan rumusan dan informasi
sebagai suatu penilain yang menyangkut kebutuhan klien, kondisi hidup dan
sumber daya dan mungkin juga pencapaian potensi klien .
c. Perencanaan Pelayanan / Perawatan
Pekerja sosial mengidentifikasi berbagai pelayanan
yang dapat diakses untuk memenuhi kebutuhan klien.
d. Hubungan dan Koordinasi Pelayanan
Pekerja sosial harus mampu menghubungkan klien dengan
sumber daya yang sesuai. Dalam peran sebagai manager kasus, pekerja sosial
harus aktif dalam pemberian pelayanan keluarga dan individu.
e. Pengawasan Pemberian Pelayanan
Peran sebagai manager kasus merupakan kelanjutan dalam
menghubungkan antara klien dengan pelayanan yang diberikan. Kemudian dilakukan
koreksi atas tindakan / pelayanan yang diberikan dan memodifikasi perencanaan
pelayanan.
f. Dukungan Klien
Pelayanan yang diberikan klien dengan bernagai sumber
daya yang tersedia, akan membantu klien dan keluargnya dalam menghadapi
permasalahan. Aktifitas ini meliputi pemecahan konflik pribadi, menasehati,
penyediaan informasi, pemberian dukungan emosi dan menyakinkan klien bahwa
mereka berhak atas pelayanan yang diberikan.
5. Pekerja Sosial sebagai beban kerja
klien
Tujuan : untuk mengatur beban kerja seseorang secara
efesien dalam penyediaan pelayanan dan bertanggung jawab atas pemanfaatan
organisasi.
Uraian : pekerja sosial harus secara serempak
menyediakan pelayanan yang diperlukan klien dan mencoba untuk tetap mengatur
beban kerja dari agen – agen masyarakat. Dengan kata lain, pekerja sosial harus
bisa menyeimbangkan kewajiban antara agen pelayanan dengan klien.
FUNGSI
a. Perencanaan Kerja
Pekerja sosial harus mampu menilai beban kerja mereka
dan menetapkan prioritas kepentingan dan membuat perencanaan pekerjaan yang
efektif dan efesien.
b. Manejemen Waktu
Pekerja sosial harus mampu membagi waktu dan perhatian
kepada masing – masing klien sesuai dengan prioritas seseorang dan waktu kerja
harus dialokasikan dengan cermat. Manajemen waktu bisa menggunakansistem
komputerisasi dan sistem teknologi lain.
c. Jaminan Adanya Pengawasan
Pekerja sosial perlu secara teratur melakukan evaluasi
secara efektif terhadap pelayanan yang diberikan dengan melibatkan rekan kerja
untuk melakukan penilaian tentang pelayanan yang tersedia. Aktifitas ini bisa
meliputi meninjau ulang arsip – arsip agen pelayanan, evaluasi capaian kerja
dan capain prestasi dalam memperoleh tenaga – tenaga sukarela.
d. Pengolahan Informasi
Pekerja sosial harus mengumpulkan data sebagai dokumen
yang diperlukan dan ketetapan pelayanan, melengkapi dan membuat laporan.
Informasi tentang prosedur dan peraturan agen harus dipahami secara keseluruhan
dan pekerja sosial harus trampil dalam menyiapkan dan menginterprestasikan
surat – surat, aktif dalam pertemuan staff dan memahami aktifitas lain yang
memudahakan untuk berkomunikasi.
6. Pekerja Sosial Sebagai seorang
profesional
Tujuan : untuk mulai bekerja kode itik pekerja sosial
dan praktek-prakteknya yang kompetensi sangat berperan dalam pengembangan
profesi pekerjaan sosial.
Uraian : pada dasranya tindakan seorang profesional
adalah penuh etika dan bertanggung jawab serta bijaksana. Pekerja sosial harus
secara konsisten mengembangkan ketrampilan dan pengetahuannya untuk
meningkatkaN mutu pelayanannya. Pekerja sosial juga aktif dalam asosiasi
profesinya baik di tingkat lokal maupun nasional.
FUNGSI
Penilaian Diri
Pengambilan keputusan secara profesional harus
bertanggung jawab sebagai penilaian diri yang berkelanjutan. Dalam analisa
tugas nasional tentang praktek pekerjaan sosial, teare dan sheafor ( 1995 )
mengamati bahwa pekerja sosial melayani hampir berbagai jenis klien, aktif
hampir di setiap organisasi pelayanan manusia dan berberan serta dalam setiap
pekerjaan sosial sebagai bahan penilaian diri dan pengembangan profesional.
Pengembangan Profesional / Pribadi
Kesimpulan dari penilain diri lebih lanjut adalah
pengembangan kemampuan dan capaian kerja yang di peroleh. Teare dan sheafor (
1995 ) menemukan bahwa pekerja sosial kebnayakan secara teratur membaca artikel
profesi dan jurnal ilmiah, surat kabar yang berhubungan dengan pekerjaannya.
Peningkatan Profesi Pekerjaan Sosial
Pekerja sosial perlu berperan dalam pengembangan
profesi dan pengetahuannya. pemeliharaan keanggotaan ada di NASW utnuk
memperkuat mutu praktek profesinya dan mendukung prakarsa legislatif yang
merupakan kewajiban setiap pekerja sosial.
5. Peranan Pekerja Sosial
Pekerjaan
sosial sebagai profesi kemanusiaan yang digerakkan oleh ilmu, teknologi dan
etika pertolongan harus menyadari bahwa globalisasi adalah keniscayaan sejarah
yang tidak dapat dipungkiri eksistensinya.
Melalui
kesadaran ini, maka fokus pekerjaan sosial hendaknya tidak hanya diarahkan
untuk menanggulangi permasalahan sosial global yang diakibatkan globalisasi.
Melainkan pula, dan ini yang lebih penting, harus diarahkan pada usaha
perlawanan terhadap agenda-agenda globalisasi, termasuk kepada neoliberalisme
sebagai ideologi yang menjadi ruh globalisasi. Think Globally and Act Globally.
Sebagaimana
dinyatakan Hokenstad dan Midgley (1997:1), “social work remains a profession
with a largely local orientation.” Tampaknya, para pekerja sosial sangat
terkesan dengan pemikiran yang berkembang selama ini, yakni: “berpikirlah
secara global, namun bertindaklah secara lokal” (think globally and act
locally). Sebagian besar pekerja sosial berkiprah dalam konteks pelayanan
sosial lokal.
Tugas
mereka, apakah membantu individu, keluarga atau komunitas, senantiasa berbasis
lokal. Meskipun sebagian besar pekerjaan sosial sangat dipengaruhi oleh
lingkungan nasionalnya, termasuk pendanaan, kebijakan dan program, pandangan
selintas menunjukkan bahwa seolah-olah praktik pekerjaan sosial tidak
terpengaruh secara langsung oleh kecenderungan dan isu-isu global (Hokenstad
dan Midgley, 1997).
PERAN
PEKERJA SOSIAL MENURUT IFE
Pendapat Jim
Ife (1995:117-127) yang membahas mengenai peran-peran pekerjaan sosial meliputi:
a. Peran Fasilitator
Peranan
fasilitator mengandung tujuan untuk memberikan dorongan semangat atau membangkitkan
semangat kelompok sasaran atau ODHA agar mereka dapat menciptakan perubahan
kondisi lingkungannya, antara lain:
1) Animasi sosial, yang bertujuan untuk mengaktifkan semangat, kekuatan, kemampuan sasaran yang dapat dipergunakan dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi dalam bentuk suatu kegiatan bersama, sedangkan dalam kondisi ini seorang pekerja sosial harus memiliki antusiasme yang tinggi yang dapat menciptakan terlaksananya kegiatan-kegiatan yang telah direncakan bersama ODHA atau kelompok sasaran. Antusiasme ini dapat diikat dengan komitmen bersama-sama kelompok sasaran.
1) Animasi sosial, yang bertujuan untuk mengaktifkan semangat, kekuatan, kemampuan sasaran yang dapat dipergunakan dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi dalam bentuk suatu kegiatan bersama, sedangkan dalam kondisi ini seorang pekerja sosial harus memiliki antusiasme yang tinggi yang dapat menciptakan terlaksananya kegiatan-kegiatan yang telah direncakan bersama ODHA atau kelompok sasaran. Antusiasme ini dapat diikat dengan komitmen bersama-sama kelompok sasaran.
2) Mediasi
dan negosiasi, peran ini dapat dimanfaatkan untuk meredam dan menyelesaikan
ketika terjadi konflik internal maupun eksternal pada kelompok sasaran. Seorang
pekerja sosial dalam hal ini harus bersikap netral tanpa memihak satu kelompok
tertentu.
3) Support, peran ini berarti
memberikan dukungan moril kepada kelompok sasaran untuk terlibat dalam struktur
organisasi dan dalam setiap aktivitas-aktivitas yang sedang berlangsung dan
yang akan berlangsung dimasa datang .
4) Pembangunan Konsensus, peran ini meliputi upaya-upaya yang menitik beratkan pada tujuan bersama, mengidentifikasikan kepentinggan bersama dan upaya-upaya pemberian bantuan bagi pencapaian konsensus yang dapat diterima semua masyarakat.
5) Memfasilitasi Kelompok, peranan ini akan melibatkan peranan fasilitatif dengan kelompok, bisa sebagai ketua kelompok atau bisa juga sebagai anggota kelompok.
b. Peran Edukasi
4) Pembangunan Konsensus, peran ini meliputi upaya-upaya yang menitik beratkan pada tujuan bersama, mengidentifikasikan kepentinggan bersama dan upaya-upaya pemberian bantuan bagi pencapaian konsensus yang dapat diterima semua masyarakat.
5) Memfasilitasi Kelompok, peranan ini akan melibatkan peranan fasilitatif dengan kelompok, bisa sebagai ketua kelompok atau bisa juga sebagai anggota kelompok.
b. Peran Edukasi
Peran ini
melibatkan peran aktif pekerja sosial didalam proses pelaksanaan semua
kegiatan-kegiatan yang sudah direncanakan bersama kelompok sasaran sesuai
dengan kebutuhan-kebutuhan mereka. Dalam konteks ini dapat diwujudkan berupa
pelatihan-pelatihan ketrampilan, misalnya: pelatihan tatacara pengambilan
keputusan, pelatihan agenda rapat atau mengelola rapat, pelatihan administrasi
surat-menyurat dan pelatihan pemanfaatan waktu luang yang mereka miliki.
1) Peningkatan Kesadaran, peran ini
berarti membantu orang untuk mengembangkan pandangan tentang suatu alternatif
atau beberapa alternatif dalam tataran kepentingan personal dan politis.
2) Memberikan Informasi, peran ini
berarti memberiakn informasi tentang program-progam yang ada di masyarakat
tetapi dengan hati-hati karena terdapat variasi kehidupan sosial di masyarakat,
informasi tersebut berupa sistem sumber eksternal, sumber dana , sumber ahli,
berbagai petunjuk pelaksanaan program, presentasi audio visual dan
pelatihan-pelatihan.
3) Mengkonfrontasikan, peran ini
berarti keinginan kelompok masyarakat yang positif sedangkan kelompok lain
berkeinginan negatif, jadi keduanya harus dikonfrontasikan untuk mencapai
konsesus, tetapi harus diingat ini pilihan terakhir tanpa kekerasan.
4) Pelatihan, peran ini berarti
mencari dan menanalisa sumber-sumber dan tenaga ahli yang diperlukan dalam
pelatihan.
c. Peran Representatif.
Dalam peran
ini pekerja sosial bertindak sebagai enabler atau sebagai agen perubahan,
antara lain membantu ODHA menyadari kondisi mereka, mengembangkan relasi ODHA
untuk dapat bekerja sama dengan pihak lain (networking ) dan membantu ODHA
membuat suatu perencanaan.
1) Mendapatkan Sumber, peranan ini
berarti memanfaatkan sistem sumber yang ada dalam masyarakat dan di luar
masyarakat.
2) Advokasi, peranan ini berarti mewakili
kepentingan-kepentingan ODHA berupa dengan pendapat,lobbying dengan para
politis/pemegang kekuasaan, membentuk perwakilan di pemerintah lokal atau pusat
dan membela ODHA di pengadilan.
3) Memanfaatkan Media Massa, peranan
ini untuk memperjelas isu tertentu dan membantu mendapatkan agenda publik.
4) Hubungan Masyarakat, peranan ini
berati memahami gambaran-gambaran proyek-proyek masyarakat dan mempromosikan
gambaran tersebut ke dalam konteks yang lebih besar, melalui publikasi agar
masyarakat tergerak terlibat dalam proyek tersebut dan menarik simpati dukungan
dari pihak lain.
5) Jaringan Kerja Networking,
peranan berarti mengembangkan relasi dengan berbagai pihak, kelompok dan
berupaya mendorong mereka untuk turut serta dalam upaya perubahan.
6) Berbagi Pengetahuan dan
Pengalaman, peranan ini dilakukan dalam kegiatan seperti keterlibatan aktif
dalam pertemuan-pertemuan formal maupun non formal seperti:
konfrensi-konfrensi, penulisan jurnal, surat kabar, seminar dll.
d. Peranan Teknis
1) Pengumpulan
dan Analisis Data, peranan ini berarti sebagai peneliti sosial, dengan
memanfaatkan berbagai metodologi penelitian ilmu pengetahuan sosial untuk
mengumpulkan dan menganalisa data serta mempresentasikannya dengan baik.
2)
Menggunakan Komputer, peranan ini berarti mampu menggunakan komputer dengan
tujuan untuk penyusunan proposal, rancangan penelitian, analisis data, penyunan
laporan keuangan, membuat selebaran, spanduk, leaflet, surat menyurat.
3)
Presentasi Verbal dan Tertulis, peranan ini berarti harus mampu mengekspresikan
pikiran-pikiran, tindakan-tindakan secara langsung dan dalam bentuk tulisan.
4)
Management, peranan ini berarti bertanggung jawab untuk mengelola program
kegiatann yang telah dibuatnya.
Selain peran-peran pekerjaan sosial juga harus
memahami nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat dan nilai-nilai yang berlaku
umum. Sejalan dengan hal ini Pumhrey berpendapat tentang tingkatan nilai-nilai
sebagai berikut:
1. Nilai-nilai akhir atau abstrak, seperti demokrasi, keadilan, persamaa, kebebasan, kedamaian dan kemajuan sosial, perwujudan diri dan penentuan diri.
2. Nilai-nilai tingkat menengah, seperti kualitas keberfungsian manusia/pribadi, keluarga yang baik, pertumbuhan, peningkatan kelompok dan masyarakat yang baik.
1. Nilai-nilai akhir atau abstrak, seperti demokrasi, keadilan, persamaa, kebebasan, kedamaian dan kemajuan sosial, perwujudan diri dan penentuan diri.
2. Nilai-nilai tingkat menengah, seperti kualitas keberfungsian manusia/pribadi, keluarga yang baik, pertumbuhan, peningkatan kelompok dan masyarakat yang baik.
3. Nilai-nilai
tingkat ketiga merupakan nilai-nilai instrumental atau operasional yang mengacu
kepada ciri-ciri perilaku dari lembaga sosial yang baik, pemerintahan yang baik
dan orang profesional yang baik. Misalnya: dapat dipercaya, jujur dan memiliki
disiplin diri.
Dalam menjalankan profesinya seorang pekerjaan sosial
selain dilandasi oleh perananan dan nilai maka pekerja sosial juga wajib
menjunjung tinggi Kode Etik Profesi , maka untuk menghadapi masalah berupa
HIV-AIDS sendiri diterapkan kode etik antara lain :
1. Pekerja sosial mengutamakan
tanggung jawab melayani kesejahteraan individu atau kelompok, yang meliputi
kegiatan perbaikan kondisi-kondisi sosial.
2. Pekerja sosial mendahulukan tanggungjawab profesinya ketimbang kepentingan-kepentingan pribadinya.
2. Pekerja sosial mendahulukan tanggungjawab profesinya ketimbang kepentingan-kepentingan pribadinya.
3. Pekerjaan sosial tidak membedakan
latar belakang keturunan, warna kulit, agama, umur, jenis kelamin, warganegara
serta memberikan pelayanan dalam tugas-tugas serta dalam praktek-praktek kerja.
4. Pekerjaan sosial melaksanakan
tanggung jawab demi mutu dan keluasan pelayanan yang diberikan.
5.Menghargai dan mempermudah
partisipasi ODHA.
6. Mengahrgai martabat dan hargadiri
ODHA.
7. Menerima ODHA apa adanya.
8. Menerima dan memahami bahwa
setiap orang itu adalah unik.
9. Tidak menghakimi sikap ODHA.
10. Memahami apa yang dirasakan
orang lain/empati.
11. Menjaga kerahasian ODHA.
12. Tidak menghadiahi ODHA dan tidak
pula menghakimi
13. Pekerja sosial harus sadar akan
keterbatan-keterbatasan yang dimilikinya
Seorang pekerja
sosial bertugas melaksanakan program pembangunan di bidang kesejahteraan sosial
dalam bentuk kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian,
evaluasi dan pelaporan kegiatan pelayanan sosial.
Maka dari itulah, peranan pekerja
sosial dalam dikelompokkan dalam beberapa tingkatan :
1. Dalam Praktek
Mikro (Individu-Keluarga)
a. Penghubung : Menghubungkan ODHA
dengan sistem sumber
b. Pemungkin : Menyediakan dukungan
dan dorongan kepada sistem ODHA agar mampu menghadapi masalahnya
c. Perantara : Menentukan jalan
keluar bila terjadi konflik
d. Penyalur Informasi : Menyiapkan
dan menyalurkan informasi yang dibutuhkan
e. Evaluator : Memberikan penilaian
terhadap interaksi dan hasil yang dicapai
f. Manajer Kasus/ Koordinator :
Merencakan dan mengkoordinasikan pelayanan, menemukan sumber dan monitoring
terhadap kemajuan
g. Pembela : Membela kepentingan
dan memberdayakan ODHA
6. Prinsip-Prinsip dalam Praktek Pekerjaan Sosial
1. Prinsip-prinsip yang
difokuskan pada pekerja sosial:
a.
Pekerja sosial seharusnya mempraktekkan pekerjaan sosial
b.
Dalam menjalin hubungan, pekerja sosial menggunakan dirinya secara sadar.
c.
Pekerja sosial wajib memelihara objektivitas professional.
d.
Pekerja sosial wajib menghormati perbedaan manusia.
e.
Pekerja sosial wajib mengembangkan diri dan pertumbuhan profesionalisme.
2. Prinsip-Prinsip dalam
Mengarahkan Kegiatan Praktek Pekerja Sosial
a.
Pekerja sosial wajib melayani klien sebagai manusia utuh.
b.
Pekerja sosial wajib memperlakukan klien sebagai manusia bermartabat
c.
Pekerja sosial wajib memperhatikan klien sebagai makhluk individual
d.
Pekerja sosial wajib mengembangkan visi dari klien.
e.
Pekerja sosial wajib membangun kekuatan dalam diri klien.
Selain
berbagai prinsip yang harus dipegang teguh oleh seorang pekerja sosial, pekerja
sosial juga memiliki kewajiban-kewajiban tertentu terhadap klien. Dalam hal ini
terhadap ODHA, diantaranya:
Menghargai
kepentingan Klien
Pekerja
sosial professional harus mengakui, menghargai dan berusaha sebaik mungkin
melindungi kepentingan klien dalam konteks pelayanan.
Analisis
:
Pekerja
sosial professional menghargai kepentingan klien dengan antara lain:
Memulai, menyelenggarakan dan mengakhiri konteks pelayanan semata-mata untuk kepentingan pelayanan terhadap klien.
Memulai, menyelenggarakan dan mengakhiri konteks pelayanan semata-mata untuk kepentingan pelayanan terhadap klien.
Tidak membiarkan, ikut serta, atau melakukan
penyalahgunaan konteks pelayanan yang dampaknya dapat merugikan kepentingan
klien.
Secara
umum kewajiban pekerja sosial profesional terhadap klien dalam penyediaan
pelayanan antara lain:
·
Memberi pelayanan sesuai dengan kompetensi
profesionalnya
·
Memberi informasi yang akurat dan lengkap
tentang keluasan lingkup, jenis dan sifat pelayanan
·
Memberitahukan hak, kewajiban,
kesempatan-kesempatan dan risiko yang melekat pada dan atau timbul dari
hubungan pelayanan yang diberikan
·
Meminta saran, nasehat, dan bimbingan dari
rekan sejawat dan penyelia manakala diperlukan demi kepentingan klien
·
Segera menarik
diri dari konteks pelayanan manakala lingkungan dan suasana yang ada tidak lagi
memungkinkan bagi pemberian pertimbangan yang seksama, penyampaian pelayanan
yang sebaik-baiknya, dan pengurangan atau pencegahan dampak negatif yang
mungkin muncul atau terjadi
·
Memberitahu klien tentang pengakhiran konteks
pelayanan baik yang dilakukan melalui pengalihan, perujukan atau pemutusan.
Larangan
penyalahgunaan konteks pelayanan oleh pekerja sosial profesional antara lain:
·
Menggunakan hubungannya dengan klien sebagai
alasan untuk dan demi mendapatkan keuntungan pribadinya
·
Melakukan,
menyetujui, membantu, bekerjasama atau ikut serta denganØ
konteks pelayanan yang diskriminatif atas dasar ras, golongan, warna kulit,
kelamin, orientasi seksual, usia, agama, kebangsaan, status perkawinan,
keyakinan politik, perbedaan kapasitas mental atau fisik
·
Memberikan atau melibatkan diri
dalam hubungan dan komitmen yang bertentangan dengan kepentingan klien.
·
Melakukan
kegiatan seksual dengan klien
Menghargai
Hak-hak Klien
Pekerja
sosial profesional wajib mengakui, menghargai, berupaya mewujudkan dan
melindungi hak - hak klien.
Analisis
:
Pekerja
sosial profesional menghargai hak-hak Klien dengan antara lain:
·
Mengakui,
menghargai dan memastikan sebaik-baiknya pewujudan atas dan perlindungan
terhadap hak-hak klien, antara lain, atas hidup dan kehidupan, kemerdekaan,
kebebasan berpendapat dan kesetaraan dimata hukum
·
Mengakui,
menghargai, dan mewujudkan hak-hak klien dalam menentukan nasibnya sendiri
·
Menghormati dan menjaga
kerahasiaan klien dalam konteks pelayanan
Tidak membiarkan, ikut serta, atau melakukan kegiatan yang melanggar hak-hak klien
Tidak membiarkan, ikut serta, atau melakukan kegiatan yang melanggar hak-hak klien
Hak asasi adalah pemahaman bahwa setiap
orang terlahirkan bebas dan setara dalam martabat dan haknya. Mereka dikaruniai
dengan akal dan nurani dan selayaknya memperla-kukan satu sama lain dalam
semangat persaudaraan – Pasal 1 Deklarasi Semesta Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hak Asasi Manusia (All human beings are born free and equal in dignity
and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards
one another in a spirit of brotherhood—Article 1 of the United Nations
Universal Declaration of Human Rights).
Hak
klien untuk menentukan nasib sendiri. Dalam menjalankan pekerjaannya, pekerja
sosial profesional harus selalu melindungi kepentingan-kepentingan dan hak-hak
pribadi klien.
Bila pekerja sosial profesional melimpahkan/memberikan
wewenang kepada orang lain untuk bertindak demi kepentingan klien, maka dia
harus menjaga agar pelayanan itu tetap sesuai dengan kepentingan klien.
Pekerja sosial profesional tidak ikut campur dalam tindakan yang melanggar atau mengurangi hak-hak sipil atau hak resmi klien.
Pekerja sosial profesional tidak ikut campur dalam tindakan yang melanggar atau mengurangi hak-hak sipil atau hak resmi klien.
Menjaga
kerahasiaan klien dalam konteks pelayanan.
Memberitahu
klien tentang hak-hak mereka terhadap kerahasiaan dalam konteks pelayanan juga
termasuk bila melibatkan orang ketiga kedalam aktifitas mereka. Memberitahukan
klien tentang batas-batas dan keperluan kerahasiaan informasi dalam konteks
pelayanan. Memperlihatkan (memberitahukan) catatan informasi atas permintaan
klien dan dan sejauh itu menyangkut klien yang bersangkutan, dan tidak
membiarkan rahasia orang lain terbuka kepada klien tersebut. Tidak membuka
rahasia klien kepada orang lain kecuali atas perintah ketentuan hukum. Tidak
membuka rahasia klien kepada orang lain walaupun pertimbangan-pertimbangan
profesional mengharuskannya kalau tidak mendapatkan persetujuan yang jelas dari
klien bersangkutan
7.
Kebijakan
Kebijakan adalah
keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau
bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebuah
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah disusun dengan melalui beberapa tahapan
yaitu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, dan
penilaian/evaluasi kebijakan. Untuk melihat dampak kebijakan yang telah dibuat
atau yang telah dijalankan bagi masyarakat, maka perlu dilakukan suatu analisa
terhadap kebijakan tersebut.
Sejak ditemukannya
kasus AIDS pertama di Indonesia, telah banyak kebijakan-kebijakan yang
dirumuskan dan dilaksanakan, baik yang menyangkut program pencegahan,
pengobatan maupun hal-hal lain yang terkait dengan program penanggulangan HIV
dan AIDS di Indonesia. Namun belum banyak dilakukan kajian-kajian terhadap
kebijakan yang ada. Merupakan sebuah kebutuhan bagi aktivis maupun peneliti
untuk mengetahui apa dan bagaimana melakukan analisa terhadap sebuah kebijakan.
Kebijakan
Penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia dimulai dari KEPPRES No. 36 th 1994 yang
kemudian melahirkan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). Kemudian
dibuatlah Strategi Nasional I (1994-2003). Namun karena infrastruktur dan
sumberdaya manusia yang masih sangat terbatas, sehingga program yang dijalankan
masih sangat sederhana. Pejabat KPAN pada waktu itu diambil dari pejabat
Departemen Kesra yang jabatan asalnya tidak dicabut, sehingga dengan menjadi
pejabat KPAN beban kerjanya menjadi bertambah.
Kemudian dengan
cepatnya perkembangan epidemi dan cara penularan, terjadinya perubahan tata
cara pemerintahan serta ditandatanganinya kesepakatan internasional (UNGASS,
ASEAN), maka dirubahlah Stranas I menjadi Stranas II (2003-2007). Pada Stranas
I program hanya berupa pencegahan dan pengobatan, maka pada Stranas II
diidentifikasi 7 area penanggulangan. Kemudian juga diidentifikasi bahwa
permasalahan HIV-AIDS merupakan masalah multi sektor, sehingga tanggung jawab
harus diambil bersama dengan sektor/departemen lain.
Pada tahun 2006,
dengan peningkatan epidemi yang cepat dan meluas, maka perlu peningkatan upaya
dan juga perlu peningkatan koordinasi, sehingga dilakukan revitalisasi KPAN
melalui perubahan Keppres No. 36 th. 1994 menjadi Keppres No. 75 th. 2006.
Beberapa hal yang berbeda dari 2 Keppres tsb adalah: Perluasan keanggotaan
sektor, keanggotaan CSO termasuk ODHA, perluasan tupoksi, membentuk sekretariat
sendiri, serta peningkatan peran daerah. Kemudian diformulasikanlah Stranas
2007-2010 yang kemudian diikuti oleh RAN 2007-2010 yang merumuskan bagaimana
diimplementasikannya rencana aksi tersebut.
Dalam Stranas
2007-2010 memuat: penajaman strategi, Coasted AP, pemodelan epidemi,
pembaharuan tupoksi anggota, populasi kunci, perluasan cakupan program. Setelah
3 tahun berjalan, dilakukan evaluasi (midterm evaluasi) yang hasilnya adalah:
target universal akses yang seharusnya dicapai pada tahun 2010, mungkin tidak
tercapai. Pada saat itu juga disepakati target MDGs, sehingga diformulasikanlah
Strategi dan Rencana Aksi Nasional (S-RAN) 2010-2014, yang mencakup: target
Universal Akses, 3 indikator utama (cakupan 80%, efektifitas 60%, kesinambungan
70%).
Dasar hukum dari
pelaksanaan kebijakan yang berkaitan dengan HIV-AIDS adalah :
1. Undang-undang
no 23 tahun 1992 pasal 23 tentang kesehatan, dimana pelayanan kesehatan
dilaksanakan disetiap tempat kerja yang memiliki karyawan 10 orang atau lebih
dari 10 orang.
2. Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.68/MEN/2004 tentang pencegahan
dan Penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja pada tanggal 28 April 2004.
3. Komitmen Tri
Partit. Pemerintah Indonesia, Organisasi pengusaha dan pekerja telah
mendeklarasikan Komitmen Tripartit dalam seminar mengenai HIV/AIDS, ”Aksi
Menentang HIV/AIDS di Dunia kerja” pada 25 Februari 2003 di Jakarta.
4. Kaidah ILO.
ILO telah mengadopsi Kaidah tentang HIV/AIDS di Tempat Kerja yang merupakan
hasil konsultasi dengan konstituen ILO pada 21 Juni 2001. Kaidah ini
dimaksudkan untuk membantu mengurangi penyebaran HIV dan dampak terhadap
pekerja dan keluarganya.
Kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan HIV-AIDS yaitu :
1. Memutuskan
rantai penularan : Penanggulangan HIV/AIDS dilaksanakandengan memutuskan rantai penularan penyakit yang terjadi
melalui hubungan seks yang tidak terlindungi.
2. Mengembangkan
kerja sama kemitraan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat serta organisasi profesi
dalam penanggulangan HIV / AIDS di tempat kerja.
3. Pencegahan
HIV/AIDS melalui KIE terutama yang menyangkut hal – hal yang berkaitan dengan
pengetahuan tentang penyakit HIV/AIDS, cara-cara pencegahan yang dapat
dilakukan oleh setiap orang sehingga setiap pekerja mampu melindungi diri
masing – masing dan melindungi diri dari orang lain dari penularan penyakit.
4. Setiap
pekerja mempunyai hak untuk memperoleh informasi yang benar tentang HIV/AIDS
guna melindungi dirinya terhadap penularan penyakit.
5. Setiap
pekerja ODHA dilindungi kerahasiaannya (kecuali bila ia membolehkan untuk
diketahui oleh orang lain) untuk mencegah stigmatisasi, diskriminasi dan
pelanggaran hak azasi manusia. Setiap ODHA wajib melindungi pasangan seks nya.
6. Persamaan
gender (gender Equality) dan pemberdayaan perempuan untuk mengurangi ancaman
atau kerentanan (vulnerebility) pekerja perempuan terhadap penularan HIV/AIDS
serta mencegah dan melindungi mereka dari kekerasan seksual.
7. Setiap
pekerja ODHA berhak memperoleh pelayanan pengobatan, perawatan dan dukungan
tanpa diskriminasi sehingga memungkinkan ia dapat hidup layak sebagai anggota
masyarakat lainnya.
8. Meningkatkan
kemampuan petugas dan institusi kesehatan dan sektor terkait (Capacity
Building) dalam penanggulangan HIV/AIDS termasuk pelatihan dan
pengorganisasian.
9. Prosedur
untuk mendiagnosis infeksi HIV pada pekerja harus dilakukan secara sukarela dan
didahului dengan memberikan informasi yang benar kepada yang bersangkutan
(informed – concent), disertai conseling yang memadai sebelum dan sesudah test
dilakukan.
Sementara itu
strategi yang digunakan untuk menengani masahah HIV_AIDS yaitu :
1. Upaya penanggulangan HIV/AIDS di
dimulai dengan memperkuat kemauan dan kepemimpinan para manager untuk mengatasi
HIV/AIDS dan diharapkan adanya komitmen pimpinan dan dokter perusahaan untuk
bersama-sama mencegah penyebaran HIV di tempat kerja dalam rangka menangkal
ancaman bencana nasional HIV/AIDS mendatang.
2. Menerapkan dan membangun kemitraan
sebagai landasan kerja dan promosi kesehatan kerja dalam penanggulangan
HIV/AIDS di tempat kerja.
3. Mengembangkan iklim yang mendorong
dunia usaha yang partisipatif dalam pelembagaan k3 di tempat kerja terutama
dalam penanggulangan HIV/AIDS
Adapun langkah -
langkah kegiatan yeng dilakukan dalam penanggulangan HIV – AIDS yaitu:
Program
pencegahan HIV/AIDS di tempat kerja akan difokuskan pada pembentukan perilaku
pekerja untuk tidak terpapar pada rantai penularan HIV/AIDS, antara lain
melalui kontak seksual dan kontak jarum suntik. Bentuk kegiatan pencegahan
HIV/AIDS ditempat kerja akan banyak berupa pendidikan pekerja (Workers
Education) untuk meningkatkan kesadaran akan resiko HIV/AIDS dan adopsi
perilaku aman untuk mencegah kontak dengan rantai penularan HIV/AIDS.
PELAYANAN KESEHATAN
1. Pelayanan Promotif :
Meningkatkan KIE tentang HIV AIDS.
- Promosi Perilaku Seksual Aman
(Promoting Safer Sexual Behavior).
- Promosi dan distribusi kondom
(Promoting and Distributing Condom).
- Norma Sehat di Tempat Kerja :
tidak merokok, tidak mengkonsumsi Napza.
- Penggunaan alat suntik yang
aman (Promoting and Safer Drug Injection Behavior).
2. Pelayanan Preventif
- Peningkatan gaya hidup sehat
(Reducing Vulnerability of Spesific Pop).
- Memahami penyakit HIV AIDS,
bahaya dan pencegahannya.
- Memahami penyakit IMS, bahaya
dan cara pencegahannya.
- Diadakannya konseling tentang
HIV AIDS pada pekerja secara sukarela dan tidak dipaksa.
3. Pelayanan Kuratif
- Pengobatan dan perawatan ODHA
- Pencegahan dan pengobatan IMS
(Infeksi Menular Seksual)
- Penyediaan dan Transfusi yang
aman
- Mencegah komplikasi dan
penularan terhadap keluarga dan teman sekerjanya
- Dukungan sosial ekonomi ODHA
4. Pelayanan Rehabilitatif
- Latihan dan pendidikan pekerja
untuk dapat menggunakan kemampuan yang masih ada secara maksimal
- Penempatan pekerja sesuai
kemampuannya
- Penyuluhan kepada pekerja dan
pengusaha untuk menerima penderita ODHA untuk bekerja seperti pekerja lain
- Menghilangkan Stigma dan
Diskriminasi terhadap pekerja ODHA oleh rekan kerja dan pengusaha
BAB III
KAJIAN KASUS
Contoh Kasus I
Mia (19 tahun)
seorang mahasiswi dirawat di rumah sakit karena demam berkepanjangan. Mia
memiliki latar belakang perilaku beresiko (pengguna napza suntik), ia sering
menggunakan jarum yang tidak steril secara bergantian. Dokter menganjurkan MIA
untuk tes HIV, katena berdasarkan pengamatan dokter yang menanganinya
diperkirakan MIA mengalami Terinfeksi HIV.
Ibunnya MIA yang
pada saat itu mendampinginya di rumah sakit sangat panik mendengar anjuran
dokter meskipun kemudian ia menyetujui agar MIA di tes HIV dan pengetesan
dilakukan tanpa proses konseling. Hasil tes MIA ternyata hasilnya reaktif. Dan
ibunya binggung memilih cara untuk memeberitahukan status HIV positif kepada
anaknya MIA yang sama sekali tidak tahu bahwa anaknya adalah pengguna napza
suntikan. Demikian juga cara penyampaian kepada anak – anak lainnya dirumah.
Ibu MIA sangat
binggung harus bagaimana, permasalahan utama yang urgen dari kasus ini adalah
bagaimana caranya ibu MIA menyampaikan status HIV positif kepada suami dan anak
– anak yang lain.
Dalam menghadapi
masalah ini, pekerja sosial segera memberikan pertolongan dengan memainkan beberapa peran, antara lain :
·
Konselor
atau pendidik, dengan menampung segala uneg – uneg si Ibu yang begitu
kebingungan dan memerlukan seseorang yang bisa mendengarkan. Setelah itu
pekerja sosial meyakinkan ibu bahwa dia harus menyampaikan kenyataan tentang
MIA, dan dia memiliki kekuatan dam kemampuan untuk melakukannya. Bila
diperlukan, pekerja sosial memfasilitasi si Ibu untuk berlatih beberapa cara
itu (mencoba beberapa skenerio). Pekerja sosial juga mempertibangkan beberapa
alternatif respon dari keluarga atas pemberitahuan berita tentang MIA serta
alternatif jalan keluarnya.
·
Supervisor,
yaitu dengan cara memantau apa yang dilakukan si Ibu, apakah sudah dengan yang
diharapkan atau belum.
·
Pemungkain
atau enabler, pekerja sosial membantu si Ibu untuk menemukan kekuatan dan
sumber dalam dirinya agar menghasilkan perubahan yang dibutuhkan atau untuk
mencari tujuan yang diinginkan.
·
Selanjutnya,
apabila kemudian masalah menjadi berkembang, pekerja sosial dapat melaksanakan
peranan – peranan yang lain, misalnya sebagai menajer kasus.
Contoh kasus II
Rusmin, lelaki
berumur 23 tahun dengan pendidikan putus sekolah SMP. Ia tinggal bersama orang
tua dua kakak dan dua adik, ayahnya petugas kebersihan lingkungan RT, Rusmin
adalah pengguna NAPZA yang diketahui terkena HIV sejak dua tahun lalu.
Keluarganya sudah dapat menerima keadaan status HIV positif Rusmin.
Enam bulan yang
lalu kondisi kesehatan Rusmin menurun, dokter menyarankan untuk memulai
pengobatan anti-retroviral. Setelah tiga bulan menjalani ART sudah keliatan
adanya perbaikan dimana kondisi kesehatannya semakin membaik. Namun sayangnya
setelah perubahan perbaikan kesehatan itu, dia mulai tidak teratur minum obat,
sering begadang dan merokok. Bahkan satu bulan lalu Rusmin mulai mengkonsumsi
NAPZA lagi dan kini kondisi kesehatannya kembali menurun.
Orang tua Rusmin
semakin kewalahan menghadapi perilaku Rusmin, bahkan dua orang kakaknya yang
sebelumnya mendukung untuk keperluan pengobatan kini sudah tidak mau membantu
lagi. Melihat keadaan Rusmin yang semakin kacau, ibunya meminta bantuan seorang
pekerja sosial, ibu Rusmin berharap ada panti rehabilitasi yang dapat menerima
Rusmin, dengan status HIV positif dan mendapat keringanan biaya, karena ibu
Rusmin mengalami kesulitan untuk membiayai panti rehabilitasi tersebut. Ibunya
berharap Rusmin yang kelihatannya tidak menunjukkan motivasi yang kuat untuk
berubah dapat sesegera mungkin masuk panti rehabilitasi.
Sehubungan
dengan kasus ini, peranan yang dapat dilakukan oleh pekerja sosial adalah:
-
Konselor
Pekerja
sosial membantu ibu, ayah, dan saudara, serta Rusmin sendiri untuk memahami dan
menyadari permasalahan yang dihadapi. Pekerja sosial memberikan pelayanan
konseling untuk memperoleh informasi, mengatasi kebingungan, ketidakstabilan
emosi, keterampilan dalam menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan, terutama
dalam tujuannya untuk menghentikan kebiasaan buruk Rusmin serta mendorongnya
untuk mendapatkan pelayanan rehabilitasi.
-
Fasilitator
Pekerja
sosial membantu memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan Rusmin, dalam
hal ini pekerja sosial berupaya untuk menghubungkan dengan pelayanan atau sumber-sumber
yang menyediakan pelayanan yang dibutuhkan oleh klien, terutama dengan panti
rehabilitasi baik pemerintah maupun swasta yang dapat memberikan pelayanan
dengan biaya yang relatif dapat dijangkau bahkan bilan mungkin gratis, termasuk
bagaimana prosedur memperoleh pelayanan tersebut.
-
Pengembang
(Liaison)
Memberikan
informasi-informasi yang diperlukan oleh pihak keluarga mengenai kondisi klien
dan kondisi lembaga agar dapat memberikan pertimbangan yang tepat dalam
menentukan tindakannya demi kepentingan Rusmin dan keluarganya.selain itu
pekerja sosial memberikan informasi yang tepat mengenai kondisi keluarga
terhadap pihak lembaga atau panti, baik status kesehatannya mauoun kondisi
ekonomi orang tuanya, sebagai bahan pertimbnagan lembaga dalam menentukan
tindakan yang tepat bagi klien dan keluarganya.
-
Pemungkin
(enabler)
Pekerja
sosial sebagai pemungkin pembantu Rusmin, ibunya dan anggota keluarganya yang
kain untuk menemukan kekuatan dan sumber dalam diri klien agar menghasilkan
perubahan yang dibutuhkan atau untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam hal
ini pekerjaan sosial memiliki tanggung jawab untuk memfasilitasi perubahan
melalui penguatan dan dukungan. Khususnya agar Rusmin dapat melepaskan
kebiasaan kembali ke Napza, menyadari situasi yang dihadapi keluarganya dan
memiliki motivasi tinggi untuk mengikuti rehabilitas. Pekerja sosial juga
memberikan dukungan kepada saudara-saudara Rusmin untuk tidak apatis dan putus
asa terhadap masalah Rusmin dan tetap dapat memberi dukungan kepada Rusmin.
-
Advokator,
apabila Rusmin ditolak untuk memperoleh perawatan di lembaga pelayanan.
BAB IV
PENUTUP
A.
Simpulan
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired
Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom)
yang timbul karena rusaknya sistem
kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV; atau infeksi
virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain). Virusnya sendiri
bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang
memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan
menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena
tumor.
Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus,
namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
Dalam praktek
pekerjaan sosial di bidang HIV-AIDS seorang pekerja
sosial dapat melaksanakan tugas dan peranannya, bagaimana menangani seorang
klien yang berstatus HIV positif, memberikan solusi dan mendekatkan pada sistem
sumber yang ada sehingga tidak terbelennggu dalam menghadapi penyakitnya dan
termotivasi kembali dalam menjalani hidupnya..
B.
Saran
·
Perlunya membentengi diri dengan
agama, dan setiap orang harus belajar agar dapat mengendalikan diri, serta memiliki
prinsip hidup yang kuat untuk berkata “TIDAK” terhadap segala jenis yang mengarah
kepada narkoba dan psikotropika lainnya.
·
Perlunya menjaga keharmonisan
keluarga karena pergaulan bebas sering kali menjadi pelarian bagi anak – anak
yang depresi.
·
Bagi para penderita HIV sebaiknya
tetap mau berbaur dengan orang disekitarnya, serta tabah dan terus berdoa untuk
memohon kesembuhan.
·
Bagi keluarga penderita HIV/AIDS teruslah
memotivasi penderita untuk terbiasa hidup dengan HIV/AIDS sehingga bisa
melakukan pola hidup sehat,
dan mau beraktivitas dalam meneruskan hidup yang lebih baik.
dan mau beraktivitas dalam meneruskan hidup yang lebih baik.
·
Segala bentuk kebijakan dan
program yang telah disusun oleh pemerintah hendaknya dapat dilaksakan
sebagaimana mestinya sehingga dapat menekan angka pertumbahan HIV-AIDS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar