Selasa, 10 September 2013

Analisis MAsalah Sosia (HIV)

BAB I
PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV; atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain). Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
AIDS merupakan bentuk terparah atas akibat infeksiHIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel T CD4 (sejenis sel T), makrofag, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4 secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4 dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4 hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter (µL)darah,maka kekebalandi tingkat selakan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. InfeksiakutHIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasidengan memeriksa jumlah sel T CD4 di dalam darah serta adanya infeksi tertentu. Tanpa terapi antiretrovirus,rata - ratalamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan.
 Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk  bertahan melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh) dari orang yang terinfeksi.
Orang tua umumnya memiliki kekebalan yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga lebih beresikomengalami perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang kurang terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis, Warisan genetik orang yang terinfeksi juga memainkan peran penting. Sejumlah orang kebal secara alami terhadap beberapa varian HIV. HIV memiliki beberapa variasi genetik dan berbagai bentuk yang berbeda, yang akan menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda pula. Terapi anti retrovirus yang sangat aktif akan dapat memperpanjang rata-rata waktu berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu kemampuan penderita bertahan hidup.
 Penyebab HIV / AIDS sendiri disebabkan diantaranya yaitu selama seks anda dapat menjadi terinfeksi jika anda melakukan hubungan seks vaginal, anal atau oral dengan pasangan yang terinfeksi yang darah, air mani atau cairan vagina memasuki tubuh Anda. Virus ini dapat memasuki tubuh melalui mulut atau air mata luka kecil yang kadang-kadang berkembang di dubur atau vagina selama aktivitas seksual. Yang kedua transfusi darah, dalam beberapa kasus, virus dapat ditularkan melalui transfusi darah. Ketiga yaitu berbagi jarum, virus HIV dapat ditularkan melalui jarum suntik terkontaminasi dengan darah yang terinfeksi. Berbagi kepemilikan obat intravena menempatkan Anda pada risiko tinggi HIV dan penyakit menular lainnya seperti hepatitis. Dan yang keempat dari ibu ke anak. ibu yang terinfeksi dapat menginfeksi bayi selama kehamilan atau persalinan, atau melalui menyusui. Tetapi jika perempuan menerima pengobatan untuk infeksi virus HIV selama kehamilan, risiko untuk bayi mereka secara signifikan berkurang.
HIV tidak hanya menyerang sistem kekebalan tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa virus ini juga merusask otak dan sistem saraf pusat. Otopsi yang dilakukan pada otak pengidap AIDS yang telah meniggal mengungkapkan bahwa virus ini juga menyebabkan hilangnya banyak sekali jaringan otak. Pada waktu yang bersamaan, peneliti lain telah berusaha untuk mengisolasi HIV dengan cairanl dari orang yang tidak menunjukkan gejala-gejala terjangkit AIDS. Penemuan ini benar-benar membuat risau. Sementara para peneliti masih berpikir bahwa HIV hanya menyerang sistem kekebalan, semua orang yang terinfeksi virus ini tetapi tidak menunjukkan gejala terjangkit AIDS atau penyakit yang berhubungan dengan HIV dapat dianggap bisa terbebas dari kerusakan jaringan otak. Saat ini hal yang cukup mengerikan adalah bahwa mereka yang telah terinfeksi virus Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara. Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit.
 AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia. Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak. Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara.
Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Kadang-kadang hukuman sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).
Sebagaimana kita ketahui bahwa masih sangat masyarakat belum bisa menerima keberadaan ODHA. Stigma terhadap ODHA masih cukup banyak ditambah lagi dengan sikap yang menghakimi, menjauhkan, mengucilkan, mendiskriminasi, bahkan sampai perlakuan yang tidak hanya melanggar hak asasi manusia tetapi juga kriminal. Kondisi seperti ini membuat ODHA hampir tidak bisa mendapatkan pelayanan langsung. Hasil pemantauan pelanggaran HAM terhadap ODHA yang dilakukan oleh yayasan spiritual menunjukkan bahwa dari ntahun ke tahun ODHA masih sulit mendapatkan akses pelayanan langsung, bukan saja dari layanan umum akan tetapi juga dari keluarga dan lingkungan terdekatnya. Perlakuan yang manusiawi ini sebagian besar disebabkan karena ketidaktahuan informasi yang benar tentang HIV / AIDS dan penularannya, apalagi cara – cara merawat dan memberi dukungan terhadap ODHA.

2.    Kondisi Perkembangan

Pada periode triwulan kedua tahun 2010 terdapat penambahan kasus AIDS sebanyak 1.206 kasus. Sebanyak 36 kabupaten/kota dari 16 provinsi melaporkan hal tersebut yaitu NAD, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Bali, NTB, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku.
Dengan demikian, sampai tanggal 30 Juni 2010, secara kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan sejak tahun 1978 berjumlah 21.770 dari 32 provinsi dan 300 kabupaten/kota. Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Kasus terbanyak dilaporkan dari Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Papua, Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Barat. Rate kumulatif kasus AIDS nasional sampai 30 Juni 2010 adalah 9,44 kasus per 100.000 penduduk. Rate kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan dari Provinsi Papua (14,34 kali angka nasional), Bali (5,2 kali angka nasional), DKI Jakarta (4,4 kali angka nasional), Kep. Riau (2,4 kali angka nasional), Kalimantan Barat (1,8 kali angka nasional), Maluku (1,5 kali angka nasional), Bangka Belitung (1,2 kali angka nasional), Papua Barat, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat, Riau (1,0 kali angka nasional).

Sedangkan proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan terjadi pada kelompok umur 20 - 29 tahun (48,1%), selanjutnya diikuti dengan kelompok umur 30 - 39 tahun (30,9%), dan kelompok umur 40 - 49 (9,1%). Sementara itu cara penularan terbanyak AIDS adalah melalui hubungan heteroseksual (49,3%), selanjutnya Injection Drug Use / IDU (40,4%), Lelaki Seks Lelaki (3,3%), dan perinatal (2,7%). Proporsi kasus AIDS yang dilaporkan meninggal dunia sebesar 19,0%. Infeksi oportunistik yang terbanyak dilaporkan adalah karena TBC (10.648 kasus), diare kronis (6.392 kasus), Kandidiasis oro-faringenal (6.412 kasus), Dermatitis generalisata (1.623 kasus), dan Limfadenopati generalisata persisten (770 kasus).

Sementara untuk kasus HIV positif, sampai dengan 30 Juni 2010 secara kumulatif berjumlah 44.292 kasus dengan positive rate rata-rata 10,3%. Jumlah kasus baru pada triwulan kedua 2010 sebanyak 3.916 kasus. Daerah yang  paling banyak terjadi kasus HIV positif adalah DKI Jakarta (9.804 kasus), disusul Jawa Timur (5.973 kasus), Jawa Barat (3.798  kasus), Sumatera Utara (3.391 kasus), Papua (2.947 kasus), dan Bali (2.505 kasus).

            Sampai saat ini HIV/AIDS belum ada vaksin maupun obatnya. Obat yang ada adalah  (ARV=Anti Retroviral Virus) yang berfungsi hanya untuk menekan perkembangan virus. Perawatan HIV di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 2005 dengan jumlah yang masih dalam pengobatan ARV pada tahun 2005 sebanyak 2.381 (61% dari yang pernah menerima ARV).
Kemudian sampai 30 Juni 2010 terdapat 16.982 ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) yang masih menerima ARV (60,3% dari yang pernah menerima ARV). Jumlah ODHA yang masih dalam pengobatan ARV tertinggi berasal dari DKI Jakarta (7.242), Jawa Barat (2.001), Jawa Timur (1.517), Bali (984), Papua (685), Jawa Tengah (575), Sumatera Utara (570), Kalimantan Barat (463), Kepulauan Riau (426), dan Sulawesi Selatan (343). Kematian ODHA menurun dari 46% pada tahun 2006 menjadi 18% pada tahun 2009.

Sampai dengan 30 Juni 2010 secara kumulatif jumlah kasus AIDS di Indonesia yang dilaporkan sebanyak 21770 kasus. Berikut merupakan grafiknya :


Berdasarkan provinsi dengan kasus terbanyak di Indonesia dapat ditampilkan sebagai berikut :


Berdasarkan kelompok umur, distribusi penderita HIV-AIDS di Indonesia dapat ditampilkan pada tabel berikut : 












BAB II
TINJAUAN KONSEPTUAL

1.      Definisi
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV; atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain). Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
AIDS merupakan bentuk terparah atas akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel T CD4 (sejenis sel T), makrofag, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4 secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4 dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4 hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter (µL)darah,maka kekebalandi tingkat selakan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. InfeksiakutHIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasidengan memeriksa jumlah sel T CD4 di dalam darah serta adanya infeksi tertentu. Tanpa terapi antiretrovirus,rata - ratalamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan.
 Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk  bertahan melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh) dari orang yang terinfeksi.
HIV secara terus menerus memperlemah sistem kekebalan tubuh dengan cara menyerang dan menghancurkan kelompok-kelompok sel-sel darah putih tertentu yaitu sel T-helper. Normalnya sel T-helper ini (juga disebut sel T4) memainkan suatu peranan penting pada pencegahan infeksi. Ketika terjadi infeksi, sel-sel ini akan berkembang dengan cepat, memberi tanda pada bagian sistem kekebalan tubuh yang lain bahwa telah terjadi infeksi. Hasilnya, tubuh memproduksi antibodi yang menyerang dan menghancurkan bakteri-bakteri dan virus-virus yang berbahaya.

Selain mengerahkan sistem kekebalan tubuh untuk memerangi infeksi, sel T-helper juga memberi tanda bagi sekelompok sel-sel darah putih lainnya yang disebut sel T-suppressor atau T8, ketika tiba saatnya bagi sistem kekebalan tubuh untuk menghentikan serangannya

Biasanya kita memiliki lebih banyak sel-sel T-helper dalam darah daripada sel-sel T-suppressor, dan ketika sistem kekebalan sedang bekerja dengan baik, perbandingannya kira-kira dua banding satu. Jika orang menderita penyakit AIDS, perbandingan ini kebalikannya, yaitu sel-sel T-suppressor melebihi jumlah sel-sel T-helper. Akibatnya, penderita AIDS tidak hanya mempunyai lebih sedikit sel-sel penolong yaitu sel T-helper untuk mencegah infeksi, tetapi juga terdapat sel-sel penyerang yang menyerbu sel-sel penolong yang sedang bekerja

Selain mengetahui bahwa virus HIV membunuh sel-sel T-helper, kita juga perlu tahu bahwa tidak seperti virus-virus yang lain, virus HIV ini mengubah struktur sel yang diserangnya. Virus ini menyerang dengan cara menggabungkan kode genetiknya dengan bahan genetik sel yang menularinya. Hasilnya, sel yang ditulari berubah menjadi pabrik pengasil virus HIV yang dilepaskan ke dalam aliran darah dan dapat menulari sel-sel T-helper yang lain. Proses ini akan terjadi berulang - ulang.

Virus yang bekerja seperti ini disebut retrovirus. Yang membuat virus ini lebih sulit ditangani daripada virus lain adalah karena virus ini menjadi bagian dari struktur genetik sel yang ditulari, dan tidak ada cara untuk melepaskan diri dari virus ini. Ini berarti bahwa orang yang terinfeksi virus ini mungkin terinfeksi seumur hidupnya. Selain itu dapat berarti bahwa orang yang mengidap HIV dapat menulari sepanjang hidup

Cara virus ini merusak fungsi sistem kekebalan tubuh belum dapat diungkapkan sepenuhnya. Teori yang terbaru namun belum dapat dibuktikan kebenarannya menyatakan bahwa rusaknya sistem kekebalan yang terjadi pada pengidap AIDS mungkin dikarenakan tubuh menganggap sel-sel T-helpernya yang terinfeksi sebagai “musuh”. Jika demikian kasusnya, lalu apa yang akan dilakukan oleh mekanisme pertahanan tubuh yaitu mulai memproduksi antibodi untuk mencoba menyerang sel-sel T yang telah terinfeksi. Akan tetapi antibodi juga akan diproduksi untuk menyerang sel T-helper yang tidak terinfeksi, mungkin juga merusak atau membuat sel-sel ini tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Jika demikian, HIV akan menyerang sistem kekebalan tubuh tidak hanya dengan membunuh sel-T tetapi dengan mengelabuhi tubuh dengan membiarkan tubuh sendiri yang menyerang mekanisme pertahanannya

Berbagai penyebab HIV AIDS dapat ditularkan mealalui darah yang terinfeksi, air mani atau cairan vagina yang memasuki tubuh. Seseorang tidak dapat terinfeksi melalui kontak biasa seperti memeluk, mencium, menari atau berjabat tangan dengan seseorang yang menderita HIV atau AIDS. HIV tidak dapat ditularkan melalui air, udara atau melalui gigitan serangga. Secara umum penyebab HIV AIDS tertular melalui :
§  Selama seks. Anda dapat menjadi terinfeksi jika Anda melakukan hubungan seks vaginal, anal atau oral dengan pasangan yang terinfeksi yang darah, air mani atau cairan vagina memasuki tubuh Anda. Virus ini dapat memasuki tubuh melalui mulut atau air mata luka kecil yang kadang-kadang berkembang di dubur atau vagina selama aktivitas seksual.
§  Transfusi darah. Dalam beberapa kasus, virus dapat ditularkan melalui transfusi darah.
§  Berbagi jarum. Virus HIV dapat ditularkan melalui jarum suntik terkontaminasi dengan darah yang terinfeksi. Berbagi kepemilikan obat intravena menempatkan Anda pada risiko tinggi HIV dan penyakit menular lainnya seperti hepatitis.
§  Dari ibu ke anak. ibu yang terinfeksi dapat menginfeksi bayi selama kehamilan atau persalinan, atau melalui menyusui. Tetapi jika perempuan menerima pengobatan untuk infeksi virus HIV selama kehamilan, risiko untuk bayi mereka secara signifikan berkurang.
Adapun Gejala-Gejala AIDS diantaranya yaitu :
  • Merasa kelelahan yang berkepanjangan
  • Deman dan berkeringat pada malam hari tanpa sebab yang jelas.
  • Batuk yang tidak sembuh-sembuh disertai sesak nafas yang berkepanjangan.
  • Diare/mencret terus-menerus selama 1 bulan
  • Bintik-bintik berwarna keungu-unguan yang tidak biasa
  • Berat badan menurun secara drastis lebih dari 10% tanpa alasan yang jelas dalam 1 bulan.
  • Pembesaran kelenjar secara menyeluruh di leher dan lipatan paha.
Sedangkan dampak yang ditimbulkan dari HIV AIDS yaitu :
1. Dampak Demografi
Salah satu efek jangka panjang endemi HIV dan AIDS yang telah meluas seperti yang telah terjadi di Papua adalah dampaknya pada indikator demografi. Karena tingginya proporsi kelompok umur yang lebih muda terkena penyakit yang membahayakan ini, dapat diperkirakan nantinya akan menurunkan angka harapan hidup. Karena semakin banyak orang yang diperkirakan hidup dalam jangka waktu yang lebih pendek, kontribusi yang diharapkan dari mereka pada ekonomi nasional dan perkembangan sosial menjadi semakin kecil dan kurang dapat diandalkan. Hal ini menjadi masalah yang penting karena hilangnya individu yang terlatih dalam jumlah besar tidak akan mudah dapat digantikan. Pada tingkat makro, biaya yang berhubungan dengan kehilangan seperti itu, seumpama meningkatnya pekerja yang tidak hadir, meningkatnya biaya pelatihan, pendapatan yang berkurang, dan sumber daya yang seharusnya dipakai untuk aktivitas produktif terpaksa dialihkan pada perawatan kesehatan, waktu yang terbuang untuk merawat anggota keluarga yang sakit, dan lainnya,juga akan meningkat.
2. Dampak Terhadap Sistem Pelayanan Kesehatan
Tingginya tingkat penyebaran HIV dan AIDS pada kelompok manapun berarti bahwa semakin banyak orang menjadi sakit, dan membutuhkan jasa pelayanan kesehatan. Perkembangan penyakit yang lamban dari infeksi HIV berarti bahwa pasien sedikit demi sedikit menjadi lebih sakit dalam jangka  aktu yang panjang, membutuhkan semakin banyak perawatan kesehatan. Biaya langsung dari perawatan kesehatan tersebut semakin lama akan menjadi semakin besar. Diperhitungkan juga adalah waktu yang dihabiskan oleh anggota keluarga untuk merawat pasien, dan tidak dapat melakukan aktivitas yang produktif. Waktu dan sumber daya yang diberikan untuk merawat pasien HIV dan AIDS sedikit demi sedikit dapat mempengaruhi program lainnya dan menghabiskan sumber daya untuk aktivitas kesehatan lainnya.
Penelitian yang dilakukan oleh John Kaldor dkk pada tahun 2005 memprediksi bahwa pada tahun 2010, bila upaya penanggulangan tidak ditingkatkan maka 6% tempat tidur akan digunakan oleh penderita AIDS dan di Papua mencapai 14% dan pada tahun 2025 angka – angka tersebut akan menjadi 11% dan 29%. Meningkatnya jumlah penderita AIDS berarti meningkatnya kebutuhan ARV. Rusaknya sistem kekebalan tubuh telah memperparah masalah kesehatan masyarakat yang sebelumnya telah ada yaitu tuberkulosis. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kejadian TB telah meningkat secara nyata di antara kasus HIV. TB masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia dimana setiap tahunnya ditemukan lebih dari 300.000 kasus baru, maka perawatan untuk kedua jenis penyakit ini harus dilakukan secara bersamaan.
3. Dampak Terhadap Ekonomi Nasional
Mengingat bahwa HIV lebih banyak menjangkiti orang muda dan mereka yang berada pada umur produktif utama (94% pada kelompok usia 19 sampai 49 tahun), epidemi HIV dan AIDS memiliki dampak yang besar pada angkatan kerja, terutama di Papua. Epidemi HIV dan AIDS akan meningkatkan terjadinya kemiskinan dan ketidakseimbangan ekonomi yang diakibatkan oleh dampaknya pada individu dan ekonomi. Dari sudut pandang individu HIV dan AIDS berarti tidak dapat masuk kerja, jumlah hari kerja yang berkurang, kesempatan yang terbatas untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih baik dan umur masa produktif yang lebih pendek.
Dampak individu ini harus diperhitungkan bersamaan dengan dampak ekonomi pada anggota keluarga dan komunitas. Dampak pada dunia bisnis termasuk hilangnya keuntungan dan produktivitas yang diakibatkan oleh berkurangnya semangat kerja, meningkatnya ketidakhadiran karena izin sakit atau merawat anggota keluarga, percepatan masa penggantian pekerja karena kehilangan pekerja yang berpengalaman lebih cepat dari yang seharusnya, menurunnya produktivitas akibat pekerja baru dan bertambahnya investasi untuk melatih mereka. HIV dan AIDS juga berperan dalam berkurangnya moral pekerja (takut akan diskriminasi, kehilangan rekan kerja, rasa khawatir) dan juga pada penghasilan pekerja akibat meningkatnya permintaan untuk biaya perawatan medis dari pusat pelayanan kesehatan para pekerja, pensiun dini, pembayaran dini dari dana pensiun akibat kematian dini, dan meningkatnya biaya asuransi.
Pengembangan program pencegahan dan perawatan HIV di tempat kerja yang kuat dengan keikutsertaan organisasi manajemen dan pekerja sangatlah penting bagi Indonesia. Perkembangan ekonomi akan tertahan apabila epidemi HIV menyebabkan kemiskinan bagi para penderitanya sehingga meningkatkan kesenjangan yang kemudian menimbulkan lebih banyak lagi keadaan yang tidak stabil. Meskipun kemiskinan adalah faktor yang paling jelas dalam menimbulkan keadaan resiko tinggi dan memaksa banyak orang ke dalam perilaku yang beresiko tinggi, kebalikannya dapat pula berlaku – pendapatan yang berlebih, terutama di luar pengetahuan keluarga dan komunitas – dapat pula  menimbulkan resiko yang sama. Pendapatan yang besar (umumnya tersedia bagi pekerja terampil pada pekerjaan yang profesional) membuka kesempatan bagi individu untuk melakukan perilaku resiko tinggi yang sama: berpergian jauh dari rumah, pasangan sex yang banyak, berhubungan dengan PS, obat terlarang, minuman keras, dan lainnya.
4. Dampak Terhadap Tatanan Sosial
Adanya stigma dan diskriminasi akan berdampak pada tatanan sosial masyarakat. Penderita HIV dan AIDS dapat kehilangan kasih sayang dan kehangatan pergaulan sosial. Sebagian akan kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilan yang pada akhirnya menimbulkan kerawanan sosial. Sebagaian mengalami keretakan rumah tangga sampai perceraian. Jumlah anak yatim dan piatu akan bertambah yang akan menimbulkan masalah tersendiri. Oleh sebab itu keterbukaan dan hilangnya stiga dan diskriminasi sangat perlu mendapat perhatian dimasa mendatang.
5. Dampak Sosial Ekonomi
Dampak ekonomi yang akibat dari HIV / AIDS sendiri terjadi bukan hanya semata – mata karena dikarenakan jumlah orang yang terinfeksi HIV yang tinggi, tetapi juga karena orang yang terinfeksi kebanyakan berada pada usia yang produktif yaitu antara 15 – 40 tahun. Dalam rentan usia yang produktif tersebut, terdapat ODHA yang tidak dapat melaksanakan fungsinya untuk mencari nafkah, membesarkan anak, memberikan pendidikan terhadap anak dan lain – lain. Dampak sosial ini tidak hanya terjadi pada saat orang yang terinfeksi HIV berupa kehilangan pekerjaan, tetapi juga mempunyai dampak ekonomi karena memerlukan biaya perawatan dan biaya pengobatan yang cukup besar. Demikian juga untuk masa yang akan datang dampak ini akan terasa pada generasai penerus yakni akan terjadi kemiskinan yang lebih berat bagi keluarga maupun bagi negara. Anak – anak dari orang tua yang terinfeksi HIV akan menjadi yatim piatu, kehilangan pendidikan dan sebagainya.
 HIV tidak hanya menyerang sistem kekebalan tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa virus ini juga merusask otak dan sistem saraf pusat. Otopsi yang dilakukan pada otak pengidap AIDS yang telah meniggal mengungkapkan bahwa virus ini juga menyebabkan hilangnya banyak sekali jaringan otak. Pada waktu yang bersamaan, peneliti lain telah berusaha untuk mengisolasi HIV dengan cairanl dari orang yang tidak menunjukkan gejala-gejala terjangkit AIDS. Penemuan ini benar-benar membuat risau. Sementara para peneliti masih berpikir bahwa HIV hanya menyerang sistem kekebalan, semua orang yang terinfeksi virus ini tetapi tidak menunjukkan gejala terjangkit AIDS atau penyakit yang berhubungan dengan HIV dapat dianggap bisa terbebas dari kerusakan jaringan otak. Saat ini hal yang cukup mengerikan adalah bahwa mereka yang telah terinfeksi virus Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara. Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit.
Dalam upaya penanggulangan masalah HIV / AIDS, khususnya masalah – masalah yang dihadapi oleh ODHA dituntut adanya kesediaan masyarakat memberi pelayanan sosial dan dukungan dalam perawatan serta pendampingan. Hal ini dikarenakan permasalahan yang dihadapi oleh ODHA berkaitan dengan status HIV positif dan bernagai penyakit  penyerta atau infeksi oportunistik yang mungkin memperburuk derajat kesehatan mereka, membutuhkan penanganan secara lintas sektoral yang melibatkan unsur LSM atau orsos dan masyarakat serta Kelompok Dukungan Sebaya.
Upaya kerjasama lintas sektoral ini juga diduking dengan adanya pergeseran paradigma dalam penyelenggaraam pemerintah di Indonesia yang memberi peluang kepada masyarakat untuk aktif ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan penanganan masalah sosial, termasuk penanganan masalah HIV / AIDS. Selain itu kemampuan pemerintah sangat terbatas, sementara jumlah pertambahan kasus HIV positif masaih masih terus meningkat. Sehubungan dengan itu perlu di upayakan strategi baru dengan menempatkan partisipasi masyarakat di depa.
Penanganan ODHA berbasis masyarakat dan keluarga akan lebih diarahkan pada pelayanan sosial yang berkaitan dengan upaya – upaya pencegahan, perawatan, dan dukungan serta pendampingan soasial secara langsung maupun tidak langsung, terutama daerah – daerah yang dinilai rawan atau beresiko tinggi penularan HIV / AIDS seperti daerah wanita penjaja seks, daerah mangkal supir – supir truk, daerah rawan penyalahgunaan NAPZA suntik, daerah miskin, beberapa aerah yang memiliki nilai tertentu, yang cenderung menikahkan anaknya pada usia muda, serta tinngkat penceraian yang cukup tinggi.
2.           Pendekatan

Berbagai macam pendekatan dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia. Salah satu diantaranya adalah pendekatan untuk permasalahan HIV-AIDS di Indonesia. Secara umum, berbagai pendekatan tersebut diantaranya adalah :
A. Pendekatan Sosiologis
Melalui pendekatan ini dicoba untuk memahami masalah sosial secara sosiologis yang dibedakan atas 4 macam pendekatan, yaitu:
a. Pendekatan Agama
b. Pendekatan Hukum
c. Pendekatan Jurnalistik dan
d. Pendekatan Seni.
a. Pendekatan Agama
Pendekatan ini bersifat individual dalam arti sangat berhubungan dengan keyakinan masing-masing orang terhadap ajaran agamanya. Semakin orang yakin akan ajaran agamanya, semakin pendekatan ini effektif kegunaannya. Melalui pendekatan agama diajarkan bahwa masalah sosial timbul bila terjadi pelanggaran terhadap norma-norma agamanya.
Pelanggaran terhadap norma agama akan mendapat sanksi yang kadang sifatnya sangat abstrak dan sangat tergantung kepada keyakinan para penganutnya (keyakinan tentang adanya sorga bagi yang berbuat baik dan neraka bagi orang “jahat”) Pendekatan ini lebih terasa keeffektifannya dalam kerangka preventif dengan cara penanaman nilai nilai agama sejak dini dari tiap keluarga dalam masyarakat.
Internalisasi nilai nilai agama pada tiap individu anggota masyarakat diharapkan ia bisa menjadi benteng ataupun juga filter dalam menyaring pengaruh negatif dari sekelilingnya atau dengan kata lain dapat mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap nilai-nilai dan norma agama yang pada gilirannya mencegah terhadap terjadinya masalah-masalah sosial.
b. Pendekatan Hukum
Antara pendekatan hukum dan pendekatan agama ada kesamaan segi historis, dalam arti pendekatan hukum dalam memandang fenomena masalah sosial bisa bersumber pada pendekatan agama. Hanya pada pendekatan hukum biasanya ia berlaku bagi semua anggota masyarakat dimana ia bertempat tinggal dan hukum tersebut diberlakukan.
Pendekatan ini sanksinya lebih jelas karena mengacu pada peraturan atau norma yang sudah dikodifikasikan dan disahkan , misalnya hukuman bagi pelaku kejahatan membunuh dihikum penjara sekian tahun, pelaku kejahatan korupsi dihukum sekian tahun dst. Dengan demikian pendekatan hukum memandang bahwa masalah sosial terjadi bila terjadi pelanggaran terhadap norma-norma hukum dan untuk setiap pelaku pelanggaran tersebut akan dikenakan sanksi.
Pendekatan ini bisa besifat preventif dalam arti masalah sosial dapat dicegah melalui upaya sosialisasi norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat maupun bersifat kuratif atau rehabilitatif dalam arti terhadap pelaku pelanggar norma hukum akan diberikan sanksi tertentu dan diadakan pembinaan agar dia tidak lagi melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap norma hukum. Mereka yang berperan dalam pendekatan ini antara lain adalah para penegak hukum maupun aparat pemerintah yang berwajib .
c. Pendekatan Jurnalistik
Dengan pendekatan jurnalistik dimaksudkan sebagai usaha penyebarluasan informasi yang berkaitan dengan masalah sosial melalui tulisan-tulisan di media cetak. Melalui pendekatan ini masalah sosial diusahakan untuk dikenalkan pada masyarakat baik dalam arti masalah sosial itu sendiri maupun sebab-akibat serta cara-cara menghadapinya.
Sejak abad 18 surat-surat kabar dan majalah-majalah telah menjadi bagian yang mencatat dan memaparkan ungkapan dan protes terhadap eksploitasi,korupsi dan degradasi pada masyarakat di Amerika Serikat. Pendekatan ini juga berusaha menyadarkan akan bahaya dari masalah sosial yang sedang dan akan terjadi. Sampai saat ini majalah, surat kabar masih menjadi sarana yang berharga dalam membangkitkan kesadran masyarakat akan bahaya narkoba, Prostitusi, HIV/AIDS dan masalah-masalah sosial lain.
Mereka yang bisa berperan dalam pendekatan ini selain para jurnalist, bisa juga orang-orang yang punya kompetensi dalam bidangnya dan punya kemampuan menulis (penjelasan secara medis dari dokter tentang HIV/AIDS, penjelsan dari ahli ilmu sosial tentang kemiskinan dst). Pendekatan ini dianggap cukup besar artinya dalam arti ia bisa mempunyai jangkauan yang luas baik dari segi penyebaran geografis maupun kelompok sasaran orang yang akan dituju.
Dalam hal sasarannya masyarakat, maka dengan pendekatan ini bisa menekan situasi panik dari masyarakat yang semula tidak faham akan situasi sosial yang bermasalah yang sedang terjadi (kepanikan masyarakat ketika bahaya AIDS baru pertama kali diketahui, banyak penderita AIDS yang diperlakukan tidak manusiawi karena ketidak tahuan orang tentang bagaimana cara penularan penyakit tsb). Walaupun pendekatan ini bisa mempunyai jangkauan yang luas, sayangnya pendekatan ini hanya efektif bagi masyarakat yang mempunyai budaya baca.
d. Pendekatan Seni
Pendekatan seni adalah suatu upaya yang dilakukan para seniman (seni drama, musik, tari, lukis, sastra dsb) untuk membangun simpati kemanusiaan sehubungan dengan sistuasi sosial yang bermasalah.
Dalam pendekatan ini juga harus memperhitungkan kelompok yang jadi sasaran.(misal melalui musik, apabila yang jadi sasaran pendekatan adalah anak muda, maka musik yang digunakan juga musik yang sesuai dengan selera anak muda, begitu juga dengan ksenian lainnya, misalnya wayang cocok untuk digunakan pada masyarakat desa di Jawa dst).
B. Pendekatan Lain
Selain pendekatan sosiologis di atas ada beberapa pendekatan lain yang dapat digunakan dalam penanganan masalah-masalah sosial seperti yang akan diuraikan dibawah ini.
1. Pendekatan Ekologi
Yaitu suatu metode pendekatan yang yang didasarkan atas konsep dan prinsip ekologi ,dalam arti menelaah masalah sosial sebagai hasil interrelasi antara masyarakat manusia dengan lingkungannya pada suatu ekosistem . pada pendekatan ini kita tidak memisahkan komponen masyarakat manusia dari komponen lingkungannya.
Melalui pendekatan ekologi, pertumbuhan masyarakat manusia di tempat-tempat tertentu, baik di perkotaan maupun di pedesaan dengan segala aspeknya dipelajari dan dikaji pengaruhnya tehadap lingkungan setempat. Diteliti pengaruhnya tadi apakah tetap seimbang ataukah menimbulkan ketimpangan, sampai sejauh mana ketimpangan tadi menyebabkan terjadinya masalah sosial bagi masyarakat setempat.
Melalui pendekatan ekologi dikaji kemampuan daya tampung lingkungan alam tehadap kehidupan masyarakat manusia di tempat tertentu. Sedangkan daya tampung lingkungan yaitu suatu ukuran tertentu yang menunjukkan jumlah individu yang dapat ditunjang oleh lingkungan tersebut.
Manusia merupakan bagian dari alam, bukan penguasa alam oleh karena itu perbuatan manusia yang serampangan tidak terencana yang menimbulkan ketimpangan lingkungan akhirnya merugikan dan mengancam kehidupan ,manusia itu sendiri.
Aspek-aspek yang harus diungkapkan dari komponen manusia pada pendekatan ekologi yaitu, aspek demografisnya, sosial ekonomi, sosial budaya, sosial politik; sosial geografis, sosial historis dan yang lainnya yang berpengaruh terhadap perkembangan dan perubahan lingkungan alam. Data kuantitatif dan kualitatif aspek-aspek tersebut dianalisa untuk meyakinkan terjadinya ketimpangan yang menyebabkan masalah sosial .
Yang mendorong terjadinya masalah sosial pada ekosistem adalah bahwa manusia berkecenderungan menyederhanakan keadaan unsur-unsur ekosistem tersebut, sehingga menjadi labil dan mudah goncang . Kegoncangan inilah yang menyebabkan terjadinya ketimpangan ekologis yang pada gilirannya dapat menimbulkan masalah sosial yang dapat mengancam kehidupan manusia. Paul R Erlich et.al mengemukakan bahwa manusia telah menjadi musuh bagi kompleks sistem ekologis yang menyebabkan tidak stabilnya suatu ekosistem.
2. Pendekatan Pertumbuhan Eksponensial
Yaitu suatu pendekatan yang menyebutkan bahwa pertumbuhan kuantitas dan kualitas suatu benda, suatu unsur atau gejala dari suatu tingkat ke tingkat berikutnya terjadi dengan kelipatan dua.
Pendekatan ini berlandaskan metodologi dinamika sistem yang merupakan suatu metodologi untuk menganalisa kelakuan dan relasi komponen-komponen yang kompleks pada suatu sistem . Kerangka kerja dinamika sistem ini berdasarkan suatu model untuk menyusun pemikiran interrelasi komponen-komponen pokok tertentu, serta untuk mengetahui bagaimana komponen-komponen tadi saling mempengaruhi satu sama lain dalam suatu sistem. Variabel –variabel disusun pada suatu pola kerangka umpan balik positif dan negatif yang dapat diungkapkan keterkaitan antara unsur-unsur atau faktor-faktor atau komponen-komponen yang menggambarkan suatu sistem.
Pendekatan ini dapat digunakan untuk mengadakan analisa sistem yang kompleks dan berubah serta tumbuh secara dinamik terus menerus yang menyebabkan masalah sosial.
Pada pendekatan pertumbuhan eksponensial harus ditentukan dulu masalah yang akan dianalisa. Selanjutnya diteliti unsur – unsur atau faktor-faktor atau komponen-komponen apa yang jadi dasar penyebab masalah sosial tadi, kemudian dianalisa kaitan pertumbuhan satu faktor dengan yang lainnya dan dianalisa pengaruh pertumbuhan faktor yang satu dengan yang lainnya. Dari pertumbuhan faktor-faktor tadi, dapat dianalisa dan diketahui keseimbangan/ketidakseimbangan pertumbuhan faktor– faktor tersebut dalam suatu sistem yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya ,masalah sosial.
Berdasarkan analisa pertumbuhan eksponensial, kita dapat mengetahui komponen mana yang terlalu cepat atau lambat pertumbuhannya dalam kerangka proses dinamikanya. Inilah yang menimbulkan ketidakseimbangan yang kemudian menimbulkan masalah .
3. Pendekatan Sistem
Yaitu suatu pendekatan yang yang menetapkan bahwa masalah sosial tadi sebagai suatu sistem. Pendekatan sistem ini dijiwai oleh faham ekspansionisme dan cara berfikir sintetik. Ekspansionisme yaitu suatu doktrin yang mempertahankan bahwa semua benda, peristiwa, dengan segala pengalamannya merupakan bagian dari suatu kebulatan yang besar.
Ekspansionisme merupakan cara lain meninjau suatu benda atau peristiwa disamping faham reduksionisme yaitu suatu doktrin yang mempertahankan bahwa semua benda dan peristiwa dengan segala perbendaharaan dan pengalamannya terbentuk dari unsur-unsur yang merupakan bagian – bagian yang tidak nampak. Faham ini didasari oleh cara berfikir analitik yang mengungkap segala sesuatu dapat dijelaskan sampai dapat dimengerti.
Berfikir sintetik yang tidak dapat dipisahkan dipisahkan dari faham ekspansionisme yaitu cara berfikir yang didasarkan pada proses mental yang menjelaskan sesuatu dengan meninjaunya sebagai bagian dari sistem yang luas serta menjelaskannys berdasarkan peranan hal tersebut dalam sistem.
Penerapan cara berfikir sintetik yang diterapkan pada sistem masalah inilah yang disebut pendekatan sistem.
Sistem yaitu suatu rangkaian gejala yang dihubungkan satu sma lain oleh suatu proses umum. Dalam kehidupan sosial manusia, tiap aspek kehidupan merupakan gejala yang berhubungan satu sama lain membentuk satu sistem. Segala aspek kehidupan sosial manusia dengan prosesnya yang terus berlangsung, merupakan suatu sistem kehidupan. Kedudukan suatu sitem lebih tinggi daripada kedudukan bagian-bagian yang membentuknya.
Pada konsep sistem, benda,gejala, atau peristiwa ditetapkan sebagai satu keseluruhan dan satu kebulatan yang tidak terpisahkan dari bagian-bagiannya. Pada suatu sistem, bagian –bagian yang terpisah tidak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan kedudukannya sebagai komponen atau subsistem dalam keseluruhan yang bulat. Suatu sistem lebih tinggi nilainya daripada bagian-bagiannya.
Kehidupan sosial manusia atau masyarakat merupakan suatu sistem sebagai hasil interrelasi dan interaksi manusia dengan segala aspek kehidupannya. Pada konsep sistem ini, aspek kehidupan manusia di masyarakat, kita tetapkan sebagai komponen atau subsistem yang membentruk sistem tadi. Aspek kehidupan biologis, budaya, ekonomi, politik,psikholgis dst, merupakan subsistem yang berinterrelasi satu sama lain yang membentuk sistem kehidupan manusia yang kompleks.
Peninjauan dan pendekatan aspek kehidupan sosial manusia dalam mengkaji masalah sosial dengan pendekatan sistem, tidak dilepaskan atau direduksikan satu sama lain, melainkan ditinjau sebagai satu kebulatan yang tidak terpisah-pisah.
Pada pengkajian masalah sosial dengan menggunakan pendekatan sistem, subsistem lingkungan tidak dapat diabaikan. Subsistem lingkungan besar peranan dan perkaitannya dengan warna masalah sosial tadi. Dalam hal ini, proses berfikir sistem tidak memisahkan tiap langkah dan tiap aparat sebagai satu kebulatan pada pendekatan sistem. Pendekatan sistem secara lugas, merupakan proses keseluruhan mulai dari penentuan subsistem, perencanaan alat pengumpul data, pengumpulan data, analisa data sampai kepada penarikan kesimpulan.
4. Pendekatan Interdisipliner, Pendekatan Multidispliner.
Karena subsistem masalah sosial banyak jumlahnya, kita harus menggunakan disiplin ilmu sosial yang juga lebih dari satu. Dengan demikian, pada pendekatan ini kita gunakan disiplin ilmu sosial yang sesuai dengan jumlah subsistem masalah yang kita analisa dan kita kaji, disebut pendekatan interdisipliner.
Pada pendekatan ini, masalah sosial didekati, dianalisa dan dikaji dari berbagai disiplin ilmu sosial secara serentak dalam waktu yang sama. Masalah sosial yang kompleks sesuai dengan subsistem masalahnya diunngkapkan dari berbagai disiplin akademis seperti : Sosiologi, Ekonomi, Antropologi, Politik, Geografi, Psikologi, Sejarah dst, bahkan mungkin dari disiplin akademis diluar ilmu sosial.
Secara tuntas, lugas dan mendalam, antara pendekatan sistem dengan pendekatan interdisipiner masalah sosial, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pendekatan sistem yang menggunakan disiplin akademis yang jamak, disebut pendekatan interdisipliner. Sebaliknya pendekatan interdisipliner yang menetapkan suatu masalah yang sedang didekati dan sedang dianalisa sebagai suatu sistem disebut pendekatan sistem.
Mengingat pendekatan sistem yang sekaligus juga pendekatan interdisipliner yang menggunakan disiplin akademis yang jamak. Pendekatan ini dapat pula disebut sebagai pendekatan multidisipliner. Jadi, pendekatannya pada hakekatnya sama. Ditinjau dari hakekatnya,pendekatan tadi tidak asing bagi manusia, karena berdasarkan cara berfikir manusia yang multidimensional dalam mengevaluasi suatu gejala atau masalah.
Dalam mengkaji masalah sosial yang kompleks melalui pendekatan interdisipliner atau pendekatan sistem, perlu memiliki kemampuan interdisipliner dan sistem. Kemampuan tsb baik yang ada dalam diri kita, maupun kerjasama dengan berbagai keahlian dari berbagai bidang keilmuan.
Selain pendekatan secara umum tersebut, terdapat pendekatan yang biasa digunakan oleh pemerintah dan praktek pekerjaan sosial. Pendekatan tersebut terbagi dua yaitu pendekatan praktis dan pragmatis. Pendekatan praktis dan pragmatis selama ini sudah sering dilakukan oleh pemerintah dan para penggiat pekerjaan sosial.
Tantangan ke depan adalah mengembangkan sebuah program intervensi yang secara sinergis dapat memadukan pendekatan praktis dan pragmatis dalam sebuah kerangka intervensi yang komprehensif dan berkelanjutan. Salah satu contoh pendekatan praktis dan pragmatis bagi pengguna Napza suntik agar tidak menularkan atau tertular HIV/AIDS dan penyakit yang disebabkan oleh pertukaran jarum suntik adalah programHarm Reduction atau pengurangan dampak buruk di kalangan pengguna Napza suntik (Penasun).
Apabila kita lihat secara sepintas, pendekatan di atas tampaknya dapat mengurangi penularan HIV/AIDS atau penyakit terkait di kalangan pengguna Napza suntik. Namun dalam perspektif pemberdayaan masyarakat, tampaknya program ini cenderung menjadikan Penasun yang terlibat sekedar menjadi objek. Di level tertentu, hal ini kemudian menyebabkan ketergantungan terhadap keberadaan lembaga donor atau program bantuan internasional. Sangat disayangkan bahwa beberapa organisasi yang ada juga terkadang hanya sekedar memanfaatkan program Harm Reduction sebagai sarana untuk mengumpulkan data-data dan informasi yang terkait dengan kalangan pengguna Napza untuk kepentingan mereka sendiri.
Sampai sejauh ini kualitas hidup yang menyangkut keadaan fisik, psikis, sosial, dan spiritual Penasun masih dalam taraf yang cukup rendah. Hal ini dapat dilihat dari kondisi beberapa staf pelaksana program, klien jangkauan atau dampingan lembaga swadaya masyarakat penggiat program Harm Reduction.
Secara umum kondisi mereka memproyeksikan sebuah gambaran bahwa pengguna napza suntik tidak dapat mengembangkan dirinya secara maksimal. Kebanyakan diantara mereka masih disibukan dengan masalah yang sangat mendasar, yaitu kecanduan terhadap Napza. Dalam kasus ini, kita dapat melihat bagaimana pendekatan praktis dan pragmatis tidak mampu menjawab kebutuhan untuk meningkatkan kualitas hidup bagi para pengguna Napza secara berkelanjutan.
Satu contoh yang terkait dengan permasalahan Narkoba dan HIV-AIDS adalah Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Di Indonesia, saat ini ODHA telah mendapat kemudahan dalam mengakses layanan kesehatan. Beberapa waktu yang silam layanan kesehatan bagi ODHA adalah fasilitas yang cukup mahal, karena stigma dan diskriminasi yang cukup tinggi. Obat-obatan untuk HIV, yang salah satunya adalah obat Antiretroviral (ARV) saat ini juga dapat dibagikan secara gratis. Meskipun begitu, kita tidak pernah tahu bagaimana pemerintah mendapatkan anggaran untuk membuat ARV menjadi gratis.
Berdasarkan sebuah penelusuran, ternyata ARV gratis adalah salah satu program pemerintah Republik Indonesia yang dikembangkan oleh Departemen Kesehatan RI. Dari 60% keseluruhan anggaran untuk program ini (sekitar US$ 8.938.042,-), sumber dananya berasal dari negara-negara G-8 melalui program bantuan luar negeri yang bernama “Global Fund for AIDS, TB, and Malaria (GF-ATM/ Proposal Round 8, Republic Indonesia). Saat ini obat ARV tersedia diseluruh Rumah Sakit rujukan HIV/AIDS yang kurang lebih terdiri dari sekitar 148 Rumah Sakit yang tersebar di 22 provinsi. Dasar pemberian obat ARV adalah Keputusan Presiden no. 83/ tahun 2004 yang diperbaharui dengan Keputusan Presiden no. 6/ tahun 2007 tentang Palaksanaan Paten obat-obatan Antiretroviral oleh Pemerintah, serta Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no. 1190/Menkes/SK/X/2004 tentang Pemberian Gratis obat Tuberkulosis dan Antiretroviral untuk HIV/AIDS. Dalam konteks ini, ketergantungan anggaran sebesar 60% terhadap sumber dana asing merupakan salah satu persoalan yang harus dicarikan jalan keluarnya.
Kembali pada wacana pendekatan praktis dan pragmatis yang dikembangkan oleh Negara dan penggiat pekerja sosial, dalam hal ini tampaknya kesadaran ODHA untuk memberdayakan dan meningkatkan kualitas hidup mereka telah terkooptasi oleh program-program yang dikembangkan secara instan. Kebanyakan dari program semacam ini tidak mampu menjawab permasalahan secara akurat dan tidak memiliki aspek keberlanjutan (sustainability). Kebutuhan untuk mencari solusi yang komprehensif merupakan sebuah pekerjaan rumah yang akan berlanjut entah sampai kapan. Dalam hal ini barangkali hanya waktu yang akan menjawab. Terapi ARV hanya langkah awal dari banyak agenda yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup ODHA.
Stigma dan diskriminasi bagi Orang Dengan HIV/AIDS tidak hanya dapat dihilangkan dengan program pembagian obat ARV secara gratis saja. Dalam hal ini, stigma dan diskriminasi juga menyangkut masalah psikis dan struktur sosial masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan ide atau program yang dapat memproyeksikan keselarasan pikiran yang logis serta hati nurani yang mencerminkan empati terhadap pemenuhan kebutuhan mendasar bagi ODHA. Dalam hal ini, persepsi terhadap Orang Dengan HIV-AIDS harus tampil secara manusiawi dan menghargai eksistensi ODHA sebagai salah satu bagian dari kelompok masyarakat yang ikut memberikan dampak bagi pola penanggulangan HIV-AIDS dan Napza.
Pekerja sosial, selain melakukan pendekatan bersama pemerintah secara pragmatis dan praktis tadi terdapat juga pendekatan lain yang memang secara khusus lebih sering dilakukan untuk memecahkan masalah sosial, dalam hal ini HIV-AIDS melalui pendekatan manajemen kasus.
Manajemen kasus (Case mangement) adalah salah satu pendekatan yang dilakukan oleh Pekerja sosial. Lahir lewat rumah-rumah imigran ( settlement houses) di Amerika serikat awal abad ke -18. Selanjutnya pendekatan ini juga dilakukan untuk kelompok-kelompok lainnya dalam masyarakat seperti; Masyarakat miskin, penyandang gangguan kesehatan jiwa, cacat fisik dan manusia usia lanjut. Dan tahun 1990, lewat kasus Ryan White ( Ryan White Care act), seorang anak yang terinfeksi HIV mulai lah pendekatan Manajemen kasus dilakukan untuk memastikan Orang yang terinfeksi HIV ( ODHIV) mendapatkan pelayanan yang terkoordinir dan berkelanjutan. ( Fleishman,1998).
Manajemen Kasus dapat dijabarkan sebagai; penggelolaan secara terkoordinasi semua sistim pemberi jasa perawatan guna memenuhi kebutuhan klien atau kelompok klien tertentu.(Fleisher dan Hendrickson,2002). Di Tataran pelaksananaan pelayanan masih ada perbedaan paradigma perawatan dan siapa yang bertanggungjawab melakukan tugas ini sehingga sulit untuk menjabarkan yang menyeluruh tentang disiplin ini. Tapi disisi lain ada kesamaan persepsi tentang fungsi nya.
Managemen kasus untuk orang dengan HIV dan AIDS memiliki tantangan yang tidak sedikit. Mulai tantangan Psiko-sosial, keuangan, pengunaan narkoba dan atau alkhohol ( substance), penyakit kronis, kemiskinan, dan Diskriminasi ( Fleisher dan Hendrickson, 2002).
Manajemen Kasus  HIV
Untuk pekerja sosial di Indonesia sebenarnya istilah managemen kasus bukanlah sesuatu yang asing. Pendekatan ini sudah dilakukan dalam penangganan populasi khusus, seperti anak-anak dengan penglihatan rendah, penyandang cacat dan gangguan kesehatan jiwa.
Secara konsep dan praktek manajemen kasus HIV  dikenalkan di Komunitas kesehatan Indonesia Oktober 2001 oleh seorang Pekerja Sosial profesional yang saat itu bekerja di Family Health international (FHI). Perkenalan ini dilanjutkan dengan diskusi dengan pekerja sosial dari STISIP Widuri. Dengan bantuan Tehknis dari FHI, dibuat lah pilot project  manajemen kasus untuk HIV. Pada awalnya terjadi sedikit tumpang tindih peran antara manager kasus dan konselor VCT ( Volountary counseling and testing / tes HIV yang dilakukan dengan konseling dan sukarela), karena melihat adanya beberapa fungsi yang mirip.
Tahun 2002, Manajer kasus HIV diperkenalkan dan masuk dalam strategi kesehatan Nasional Indonesia untuk Pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV dan AIDS. Beberapa proyek penting penanggualangan HIV dan AIDS kemudian mulai diterapkan di Komunitas penguna Napsa suntik ( Penasun), komunitas Waria, komunitas gay, biseksual dan lelaki seks dengan lelaki lainnya serta perempuan pekerja seks.
Para manager kasus menjadi salah satu yang penting dalam Tim Pelayanan terpadu untuk perawatan, dukungan dan pengobatan ( Care support and Treatment/ CST) HIV. Tim CST di suatu layanan terdiri dari; Dokter spesialis, dokter umum, perawat, Konselor VCT, dan Manajer kasus. Untuk memperkuat kinerja nya sejak tahun 2004, Departemen Kesehatan Republik Indonesia memfasilitasi beberapa pelatihan CST dalam bentuk kursus secara paralel.
Pelatihan meliputi pelatihan untuk pelatih ( Training of Trainer) dan petugas manajemen kasus yang disebut manager kasus. Pelatihan dilakukan secara periodik dari berbagai wilayah di Indonesia.
Miskonsepsi seputar manajemen kasus
Informasi masih seputar manajemen kasus  HIV bagi para petugas kesehatan, khususnya pemerintah, pada awalnya diterima dengan reaksi  penolakan dan keraguan. Kesalahpahaman pertama adalah anggapan bahwa manajemen kasus merupakan alat medis dan hanya dokter yang berwenang di bidang tersebut. Padahal kenyataannya manajer kasus bukan menanggani masalah medis. Ia menanggani masalah Psiko sosial dan membantu klien untuk bisa mengakses kebutuhan akan medis  dan membantu pasien untuk paham dan menjalani petunjuk petugas medis.
Kedua, istilah manajer kasus memberi gambar dan kesan “ karyawan manjerial dengan pakaian dasi” atau pengobyekan ODHIV sebagai “sebuah kasus”. Adlaha lebih tepat manajemen kasus HIV dipromosikan sebagai pendekatan sistematis yang memberdayakan ODHIV supaya kesehatan, kebutuhan dapat dicapai dalam proses yang sensitif terhadap kebutuhan individu klien. Dalam artian terjaga kerahasian klien, dilakukan secara profesional dan berkelanjutan dengan ouput akhir kemandirian . Hingga saat ini telah dilatih lebih dari 1000 orang tenaga kesehatan dan staff Lembaga swadaya Masyarakat dalam manajemen kasus HIV.
Kesinambungan Manajemen Kasus HIV
Kesinambungan manajemen Kasus HIV di Indonesia merupakan kekwatiran yang sungguh nyata. Pihak kemetrian Sosial sudah memfasilitasi untuk mengembangkan program pelatihan, diberikan kurikulum pelatihan yang baku (standar) dan menelurkan Manajer kasus HIV yang cakap di Bidangnya. Sekelompok pekerja sosial mendirikan Yayasan Pelayanan Anak dan Keluarha ( Yayasan Layak) dengan tujuan utama memebrikan pelayanan manajemen kasus HIV kepada ODHIV di DKI jakarta . Sampai saat ini mereka telah mendampingi sebanyak 1874 orang yang terinfeksi HIV.
Titik awal ODHIV masuk ke layanan Manajemen kasus adalah lewat jalur perawatan kesehatan formal. Rumah sakit, poliklinik, puskesmas dan lain-lain tergantung pada tenaga manejer kasus yang tersedia dan saat ini masih terbatas hanya didanai oleh lembaga asing. Malah dengan berakhirnya program dari FHI sejak Pebruari 2010, layanan manajemen kasus seperti mati suri. Beberapa manajer kasus masih bekerja dengan prinsip kesukarelawanan dalam membantu ODHIV.  Masalah kesinambungan Manajemen Kasus HIV baru bisa diatasi jika Manager kasus HIV menjadi pegawai fasilitas layanan kesehatan yang juga menerima gaji.
Meningkatnya jumlah anggota rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan yang terinfeksi HIV di Indonesia merupakan masalah yang mengkuatirkan. Manajemen kasus HIV dengan penghuni penjara yang terinfeksi HIV sebelum meraka bebas menjadi sangat penting, dan menyiapkan mereka yang akan kembali ke keluarga dan masyarakat pun menjadi tak kalah penting. Khususnya dalam upaya mengurangi resiko untuk menularkan ke anggota lainnya di Penjara dan keluarga saat mereka pulang. Manajemen kasus untuk penghuni penjara merupakan kelompok yang membutuhkan pengembangan lebih lanjut serta perhatian khusus di Indonesia.
Pembentukan Ikatan Manajer Kasus Indonesia (IMKI) sebagai Wadah dan jaringan bagi Manajer kasus HIV di Indonesia juga sudah di Inisiasi setahun yang lalu, sampai saat ini belum jelas hasilnya. sementara di lapangan semakin banyak manejer kasus yang sudah mulai menyingkir dari panggung kerelawanan. ketika idealisme para manajer kasus berhadapan dengan kebutuhan pokok, makan, tempat tinggal, pemenuhan kebutuhan keluarga dan lainnya. idealisme itu seperti membentur karang terjal. beberapa patah arang dan lari meninggalkan pelayanan terhadap ODHIV.
Sekarang setelah sepuluh tahun pengalaman manajeman kasus HIV di Indonesia, masih banyak yang harus dicapai dalam upaya membantu mereka yang hidup dengan HIV dan AIDS.
3.    Tujuan
Tujuan Umum penanggulangan HIV dan AIDS
Mencegah dan mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat.

Tujuan Khusus Penanggulangan HIV dan AIDS
·         Menyediakan dan menyebarluaskan informasi dan menciptakan suasana kondusif untuk mendukung upaya penanggulangan HIV dan AIDS, dengan menitikberatkan pencegahan pada sub-populasi berperilaku resiko tinggi dan lingkungannya dengan tetap memperhatikan sub-populasi lainnya.

·         Menyediakan dan meningkatkan mutu pelayanan perawatan, pengobatan, dan dukungan kepada ODHA yang terintegrasi dengan upaya pencegahan.

·         Meningkatkan peran serta remaja, perempuan, keluarga dan masyarakat umum termasuk ODHA dalam berbagai upaya penanggulangan HIV dan AIDS.

·         Mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara lembaga pemerintah, LSM, sektor swasta dan dunia usaha, organisasi profesi, dan mitra internasional di pusat dan di daerah untuk meningkatkan respons nasional terhadap HIV dan AIDS.

·         Meningkatkan koordinasi kebijakan nasional dan daerah serta inisiatif dalam penanggulangan HIV dan AIDS.

Selain tujuan-tujuan tersebut, terdapat juga berbagai macam tujuan lain, salah satunya merupakan tujuan pekerja sosial itu sendiri dalam menangani masalah HIV-AIDS, diantaranya:

·         Meningkatkan dan memperluas upaya pencegahan yang nyata efektif dan menguji coba cara-cara baru.

·         Meningkatkan dan memperkuat sistem pelayanan kesehatan dasar dan rujukan untuk mengantisipasi peningkatan jumlah ODHA yang memerlukan akses perawatan dan pengobatan.

·         Meningkatkan kemampuan dan memberdayakan mereka yang terlibat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di pusat dan di daerah melalui pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan.

·         Memberdayakan individu, keluarga dan komunitas dalam pencegahan HIV dilingkungannya.

·         Memobilisasi sumberdaya dan mengharmonisasikan pemamfaatannya di semua tingkat.

·         Agar setiap orang mampu melindungi dirinya agar tidak tertular HIV dan tidak menularkan kepada orang lain.
·         Memberikan kemudahan kepada mereka yang memerlukan untuk akses kepada layanan perawatan dan pengobatan melandasi program – program pada area ini.

·         Mengurangi penderitaan akibat HIV dan AIDS dan mencegah penularan lebih lanjut infeksi HIV serta meningkatkan kwalitas hidup ODHA.

·         Meningkatkan pembuatan peraturan perundangan dan ketentuan-ketentuan lain di pusat dan daerah dalam rangka menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terselenggaranya upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.

·         Menyelaraskan dan mengkoordinasikan berbagai program dan kegiatan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang diselenggarakan pemerintah, masyarakat sipil dan mitra internasional sehingga mencapai tujuan yang diinginkan.

4. Fungsi Pekerja Sosial
a. Menilai Situasi Klien
Merupakan langkah pertama yang dilakukan pekerja sosial untuk secara menyeluruh memahami dan menilai dengan teliti kemampuan dan kebutuhan klien. seorang perantara yang efektif harus trampil dalam menilai faktor – faktor tersebut yaitu kultur, sumber daya, kemampuan lisan, kestabilan emosional, kecerdasan / intelegensi, pengaruh klien dan kemampuan untuk melakukan perubahan.
b. Sumber Bantuan
Pekerja sosial harus menilai berbagai sumber daya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan klien. sebagai pelayanan masyarakat seperti hal nya agen – agen yang lain, pekerja sosial harus terbiasa dengan pelayanan yang ditawarkan, mutu staff, hal yang memenuhi syarat kebutuhan umum dan biaya – biaya kebutuhan umum. Pekerja sosial juga harus tahu cara yang terbaik untuk membantu klien dalam memperoleh sumber daya yang ada.
c. Penyerahan
Proses untuk mengkaitkan klien dengan suatu sumber daya memerlukan pekerja sosial untuk membuat suatu bahan pertimbangan mengenai kemampuan dan motivasi klien memperoleh pelayanan dan sumber daya yang akan minta klien dilayani. Ketergantungan pada pertimbangan tersebut, pekerja sosial menjadi kurang aktif dalam proses penyerahan. Suatu penyerahan juga memerlukan suatu kelanjutan aktivitas dalam pekerjaan memeriksa dan menyakinkan klien untuk memenuhi kebutuhannya.
d. Sistem Hubungan Pelayanan
Seorang perantara memerlukan pekerja sosial untuk memudahkan proses interaksi antara berbagai segmen menyangkut sistem pelayanan.Untuk memperkuat keterkaitan antara para agen pelayanan, program dan para profesional, pekerja sosial bekerja dengan cara menghubungkan hal tersebut untuk menetapkan suatu komunikasi, negosiasi tentang pembagian sumber daya dan turut ambil bagian dalam perencanaan, koordinasi dan pertukaran informasi.
e. Pemberian Informasi
Perantara sering memerlukan pemberian informasi kepada klien, kelompok masyarakat dan pembuat UU atau pembuat keputusan masyarak lain. Sebagai agen sistem pelayanan dan pengetahuan, pekerja sosial menolong orang lain dengan menggunakan berbagai pengetahuan yang dimiliki sehingga masyarakat akan sadar terhadap kesenjangan antara pelayanan yang tersedia dan kebutuhan.

Selain fungsi-fungsi diatas, ada juga beberapa fungsi pekerja sosial dalam peran tertentu, diantaranya:
1.      Pekerja Sosial sebagai advokat
Tujuan : membantu klien menegakkan hak – hak mereka dalam menerima pelayanan dan aktif mendukung adanya perubahan kebijakan dan program yang bersifat negatif bagi kelompok klien maupun kelompok individu.
Uraian : Pusat pekerjaan sosial adalah pembelaan. Peran ini menjadi misi pokok pekerjaan sosial dan dijelaskan dalam Kode Etik NASW tahun 1996.
FUNGSI
a. Pembelaan kasus / klien
Secara umum, pembelaan / advokasi merupakan hak klien dalam memperoleh pelayanan. Pembelaan itu sendiri diarahkan pada agen pelayanan itu sendiri atau ke orang lain yang terlibat dalam jaringan pelayanan manusia. Langkah – langkah penting dalam advokasi adalah dengan mengumpulkan informasi dan menentukan bahwa klien berhak atas pelayanan tersebut. Jika demikian maka negosiasi merupakan jalan tengah dalam menyelesaikan suatu konflik dan taktik konfrontasi digunakan untuk menjamin / mengamankan pelayanan tersebut.
b. Kelompok Advokasi
Pekerja sosial harus bertindak sebagai advokat dalam kelompok klien atau pada suatu populasi masyarakat yang mempunyai suatu masalah. Kelompok advokasi memerlukan tindakan yang bertujuan mengatasi hambatan / rintangan pada orang – orang yang ingin mewujudkan haknya. Kelompok advokasi memerlukan aktivitas untuk melakukan perubahan peraturan agen pelayanan, kebijakan sosial atau hukum dalam lingkungan legislatif dan secara politis melakukan penyatuan persepsi dengan organisasi lain yang memperhatikan isu yang sama.
2.      Pekerja Sosial sebagai Pengajar
Tujuan : untuk menyiapkan klien dengan berbagai ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk mengatasi masalah – masalah yang dihadapi.
Uraian : banyak praktek pekerja sosial yang melakukan proses pengajaran pada klien dalam mengantisipasi dan mencegah masalah dengan memberikan pengetahuan dan pengalaman pada diri pekerja sosial terhadap kliennya. Peran Pekerja sosial sebagai pengajar mempunyai suatu aplikasi tingkat makro. Pekerja sosial harus siap mengajarkan masyarakat tentang ketersediaan dan mutu pelayanan manusia yang diperlukan serta kecukupan program pelayanan dan kebijakan sosial untuk memenuhi kebutuhan klien.
FUNGSI
a. Mengajarkan Tentang Kehidupan Sosial Dan Ketrampilan Sehari -Hari
Pemberian ketrampilan dalam menyelesaikan konflik, managemen uang, penggunaan fasilitas umum, penyesuian diri dengan lingkungan baru, kesehatan dan kepedulian pada diri sendiri dan komunikasi yang efektif.
b. Perubahan Perilaku
Pekerja sosial bisa menggunakan pendekatan intervensi seperti peran memperagakan, menilai klarifikasi dan modifikasi perilaku. Sebagai contoh mengajarkan kepada seorang dewan direktu tentan bagaimana cara untuk mendesain kembali suatu perubahan yang tidak berhasil.
c. Pencegahan Utama
Pekerja sosial telah memberi perhatian yang besar dalam melakukan proses pencegahan utama yaitu dengan menempatkan pekerja sosial berperan sebagai pendidik atau guru. Contoh aktivitasnyaadalah memberikan nasehat bagi pasangan yang belum menikah, mengajarkan ketrampilan pada orang tua, memberkan informasi tentang keluarga berencan / KB dan memberikan solusi bagi orang – orang yang mengalami masalah.
3.      Peran Pekerja Sosial Sebagai Konselor atau Klinikal
Tujuan : membantu klien meningkatkan keberfungsian sosial mereka dengan pemahaman yang lebih baik terhadap perasaan mereka, memodifikasi perilaku dan belajar mengatasi situasi kebimbangan.
Uraian : dalam melaksanakan peran ini, pekerja sosial memerlukan pengetahuan tentang perilaku manusia dan pemahaman tentang bagaimana lingkungan sosial berpengaruh pada klien.
FUNGSI
a. Penilaian Psikososial dan Hasil Diagnosa
Situasi klien harus secara menyeluruh dipahami dan termasuk kapasitas motivasi mereka untuk menilai suatu perubahan. Dan ini memerlukan kerangka konseptual untuk mengorganisir informasi dan cara – cara untuk meningkatkan pemahaman tentang klien dan lingkungannya.
Hasil diagnosa diperlukan dalam beberapa inter komunikasi profesional, riset, perencanaan program dan pembiayaan dalam perolehan pelayanan yang diberikan.
b. Keberlangsungan Kepedulian
Advokat atau klinikal tidak selalu melibatkan pekerjaannya untuk melakukan perubahan pada klien atau kondisi sosialnya. Kadang – kadang juga dengan menyediakan faktor pendukung atau kepedulian yang diperluas.
c. Perawatan Sosial
Fungsi melibatkan aktivitas pekerja sosial dalam membantu klien memahami hubungan antara orang – orang dengan kelompok sosialnya, mendukung klien untuk memodifikasi hubungan sosial, melibatkan klien dalam pemecahan masalah atau berusaha melakukan perubahan antar pribadi dan konflik. Whittaker dan Tracy menggambarkan perawatan sosial sebagai usaha membantu hubungan antar pribadi secara langsung ataupun tidak langsung untuk menopang individu, keluarga dan kelompok kecil dalam meningkatkan keberfungsian sosial dan mengatasi permasalahan sosial.
d. Evaluasi
Ada dua praktek pelayanan evaluasi yaitu :
- pekerja sosial menguji capaiannya untuk menilai efektifitas dari intervensi yang dilakukan.
- pekerja sosial mengumpulkan data klien untuk mengetahui tingkat kedaruratan permasalahan sosial atau meninjau kembali pelayanan dan kebijakan publik yang disediakan.
4.      Pekerja Sosial sebagai manager kasus
Tujuan : untuk mencapai kesinambungan pemberian pelayanan keluraga dan invidu melalui proses penghubungan antara klien dan pelayanan yang diinginkan dan pengkoordinaran pemanfaatan pelayanan tersebut.
Uraian : peran pekerja sosial sebagai manager kasus mempunyai arti penting bagi klien yang menggunakan pelayanan yang disajikan oleh agen – agen pelayanan. Sebagai manager kasus, pekerja sosial mempunyai cakupan yang luas dalam aktvitasnya. Pekerjaannya dimulai dengan mengidentifikasikan jenis bantuan yang diperlukan, melakukan penyelidikan terhadap faktor yang menjadi penghalang dalam mengatasi masalah, mendukung klien untuk mencoba mengeksplorasikan semua potensinya, memberikan kesempatan kepada klien untuk memperoleh pelayanan langsung. Rumusan suatu kasus mungkin merupakan perencanaan pelayanan yang menunjukkan kebutuhan – kebutuan yang diperlukan klien.
FUNGSI
a. Orientasi dan Identifikasi Klien
Mengidentifikasi dan memilih individu yang akan menerima pelayanan, mutu hidup atau pembiayaan pelayanan dan kepedulian yang berpengaruh pada managemen kasus.
b. Penilaian Klien
Fungsi ini mengacu pada pengumpulan rumusan dan informasi sebagai suatu penilain yang menyangkut kebutuhan klien, kondisi hidup dan sumber daya dan mungkin juga pencapaian potensi klien .
c. Perencanaan Pelayanan / Perawatan
Pekerja sosial mengidentifikasi berbagai pelayanan yang dapat diakses untuk memenuhi kebutuhan klien.
d. Hubungan dan Koordinasi Pelayanan
Pekerja sosial harus mampu menghubungkan klien dengan sumber daya yang sesuai. Dalam peran sebagai manager kasus, pekerja sosial harus aktif dalam pemberian pelayanan keluarga dan individu.
e. Pengawasan Pemberian Pelayanan
Peran sebagai manager kasus merupakan kelanjutan dalam menghubungkan antara klien dengan pelayanan yang diberikan. Kemudian dilakukan koreksi atas tindakan / pelayanan yang diberikan dan memodifikasi perencanaan pelayanan.
f. Dukungan Klien
Pelayanan yang diberikan klien dengan bernagai sumber daya yang tersedia, akan membantu klien dan keluargnya dalam menghadapi permasalahan. Aktifitas ini meliputi pemecahan konflik pribadi, menasehati, penyediaan informasi, pemberian dukungan emosi dan menyakinkan klien bahwa mereka berhak atas pelayanan yang diberikan.
5.      Pekerja Sosial sebagai beban kerja klien
Tujuan : untuk mengatur beban kerja seseorang secara efesien dalam penyediaan pelayanan dan bertanggung jawab atas pemanfaatan organisasi.
Uraian : pekerja sosial harus secara serempak menyediakan pelayanan yang diperlukan klien dan mencoba untuk tetap mengatur beban kerja dari agen – agen masyarakat. Dengan kata lain, pekerja sosial harus bisa menyeimbangkan kewajiban antara agen pelayanan dengan klien.
FUNGSI
a. Perencanaan Kerja
Pekerja sosial harus mampu menilai beban kerja mereka dan menetapkan prioritas kepentingan dan membuat perencanaan pekerjaan yang efektif dan efesien.
b. Manejemen Waktu
Pekerja sosial harus mampu membagi waktu dan perhatian kepada masing – masing klien sesuai dengan prioritas seseorang dan waktu kerja harus dialokasikan dengan cermat. Manajemen waktu bisa menggunakansistem komputerisasi dan sistem teknologi lain.
c. Jaminan Adanya Pengawasan
Pekerja sosial perlu secara teratur melakukan evaluasi secara efektif terhadap pelayanan yang diberikan dengan melibatkan rekan kerja untuk melakukan penilaian tentang pelayanan yang tersedia. Aktifitas ini bisa meliputi meninjau ulang arsip – arsip agen pelayanan, evaluasi capaian kerja dan capain prestasi dalam memperoleh tenaga – tenaga sukarela.
d. Pengolahan Informasi
Pekerja sosial harus mengumpulkan data sebagai dokumen yang diperlukan dan ketetapan pelayanan, melengkapi dan membuat laporan. Informasi tentang prosedur dan peraturan agen harus dipahami secara keseluruhan dan pekerja sosial harus trampil dalam menyiapkan dan menginterprestasikan surat – surat, aktif dalam pertemuan staff dan memahami aktifitas lain yang memudahakan untuk berkomunikasi.
6.      Pekerja Sosial Sebagai seorang profesional
Tujuan : untuk mulai bekerja kode itik pekerja sosial dan praktek-prakteknya yang kompetensi sangat berperan dalam pengembangan profesi pekerjaan sosial.
Uraian : pada dasranya tindakan seorang profesional adalah penuh etika dan bertanggung jawab serta bijaksana. Pekerja sosial harus secara konsisten mengembangkan ketrampilan dan pengetahuannya untuk meningkatkaN mutu pelayanannya. Pekerja sosial juga aktif dalam asosiasi profesinya baik di tingkat lokal maupun nasional.
FUNGSI
Penilaian Diri
Pengambilan keputusan secara profesional harus bertanggung jawab sebagai penilaian diri yang berkelanjutan. Dalam analisa tugas nasional tentang praktek pekerjaan sosial, teare dan sheafor ( 1995 ) mengamati bahwa pekerja sosial melayani hampir berbagai jenis klien, aktif hampir di setiap organisasi pelayanan manusia dan berberan serta dalam setiap pekerjaan sosial sebagai bahan penilaian diri dan pengembangan profesional.
Pengembangan Profesional / Pribadi
Kesimpulan dari penilain diri lebih lanjut adalah pengembangan kemampuan dan capaian kerja yang di peroleh. Teare dan sheafor ( 1995 ) menemukan bahwa pekerja sosial kebnayakan secara teratur membaca artikel profesi dan jurnal ilmiah, surat kabar yang berhubungan dengan pekerjaannya.
Peningkatan Profesi Pekerjaan Sosial
Pekerja sosial perlu berperan dalam pengembangan profesi dan pengetahuannya. pemeliharaan keanggotaan ada di NASW utnuk memperkuat mutu praktek profesinya dan mendukung prakarsa legislatif yang merupakan kewajiban setiap pekerja sosial.

5. Peranan Pekerja Sosial
Pekerjaan sosial sebagai profesi kemanusiaan yang digerakkan oleh ilmu, teknologi dan etika pertolongan harus menyadari bahwa globalisasi adalah keniscayaan sejarah yang tidak dapat dipungkiri eksistensinya.
Melalui kesadaran ini, maka fokus pekerjaan sosial hendaknya tidak hanya diarahkan untuk menanggulangi permasalahan sosial global yang diakibatkan globalisasi. Melainkan pula, dan ini yang lebih penting, harus diarahkan pada usaha perlawanan terhadap agenda-agenda globalisasi, termasuk kepada neoliberalisme sebagai ideologi yang menjadi ruh globalisasi. Think Globally and Act Globally.
Sebagaimana dinyatakan Hokenstad dan Midgley (1997:1), “social work remains a profession with a largely local orientation.” Tampaknya, para pekerja sosial sangat terkesan dengan pemikiran yang berkembang selama ini, yakni: “berpikirlah secara global, namun bertindaklah secara lokal” (think globally and act locally). Sebagian besar pekerja sosial berkiprah dalam konteks pelayanan sosial lokal.
Tugas mereka, apakah membantu individu, keluarga atau komunitas, senantiasa berbasis lokal. Meskipun sebagian besar pekerjaan sosial sangat dipengaruhi oleh lingkungan nasionalnya, termasuk pendanaan, kebijakan dan program, pandangan selintas menunjukkan bahwa seolah-olah praktik pekerjaan sosial tidak terpengaruh secara langsung oleh kecenderungan dan isu-isu global (Hokenstad dan Midgley, 1997).

PERAN PEKERJA SOSIAL MENURUT IFE
Pendapat Jim Ife (1995:117-127) yang membahas mengenai peran-peran pekerjaan sosial meliputi:
a.       Peran Fasilitator
Peranan fasilitator mengandung tujuan untuk memberikan dorongan semangat atau membangkitkan semangat kelompok sasaran atau ODHA agar mereka dapat menciptakan perubahan kondisi lingkungannya, antara lain:

1) Animasi sosial, yang bertujuan untuk mengaktifkan semangat, kekuatan, kemampuan sasaran yang dapat dipergunakan dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi dalam bentuk suatu kegiatan bersama, sedangkan dalam kondisi ini seorang pekerja sosial harus memiliki antusiasme yang tinggi yang dapat menciptakan terlaksananya kegiatan-kegiatan yang telah direncakan bersama ODHA atau kelompok sasaran. Antusiasme ini dapat diikat dengan komitmen bersama-sama kelompok sasaran.

2) Mediasi dan negosiasi, peran ini dapat dimanfaatkan untuk meredam dan menyelesaikan ketika terjadi konflik internal maupun eksternal pada kelompok sasaran. Seorang pekerja sosial dalam hal ini harus bersikap netral tanpa memihak satu kelompok tertentu.

3) Support, peran ini berarti memberikan dukungan moril kepada kelompok sasaran untuk terlibat dalam struktur organisasi dan dalam setiap aktivitas-aktivitas yang sedang berlangsung dan yang akan berlangsung dimasa datang .

4) Pembangunan Konsensus, peran ini meliputi upaya-upaya yang menitik beratkan pada tujuan bersama, mengidentifikasikan kepentinggan bersama dan upaya-upaya pemberian bantuan bagi pencapaian konsensus yang dapat diterima semua masyarakat.

5) Memfasilitasi Kelompok, peranan ini akan melibatkan peranan fasilitatif dengan kelompok, bisa sebagai ketua kelompok atau bisa juga sebagai anggota kelompok.

b. Peran Edukasi
Peran ini melibatkan peran aktif pekerja sosial didalam proses pelaksanaan semua kegiatan-kegiatan yang sudah direncanakan bersama kelompok sasaran sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka. Dalam konteks ini dapat diwujudkan berupa pelatihan-pelatihan ketrampilan, misalnya: pelatihan tatacara pengambilan keputusan, pelatihan agenda rapat atau mengelola rapat, pelatihan administrasi surat-menyurat dan pelatihan pemanfaatan waktu luang yang mereka miliki.

1) Peningkatan Kesadaran, peran ini berarti membantu orang untuk mengembangkan pandangan tentang suatu alternatif atau beberapa alternatif dalam tataran kepentingan personal dan politis.

2) Memberikan Informasi, peran ini berarti memberiakn informasi tentang program-progam yang ada di masyarakat tetapi dengan hati-hati karena terdapat variasi kehidupan sosial di masyarakat, informasi tersebut berupa sistem sumber eksternal, sumber dana , sumber ahli, berbagai petunjuk pelaksanaan program, presentasi audio visual dan pelatihan-pelatihan.

3) Mengkonfrontasikan, peran ini berarti keinginan kelompok masyarakat yang positif sedangkan kelompok lain berkeinginan negatif, jadi keduanya harus dikonfrontasikan untuk mencapai konsesus, tetapi harus diingat ini pilihan terakhir tanpa kekerasan.

4) Pelatihan, peran ini berarti mencari dan menanalisa sumber-sumber dan tenaga ahli yang diperlukan dalam pelatihan.

c. Peran Representatif.
Dalam peran ini pekerja sosial bertindak sebagai enabler atau sebagai agen perubahan, antara lain membantu ODHA menyadari kondisi mereka, mengembangkan relasi ODHA untuk dapat bekerja sama dengan pihak lain (networking ) dan membantu ODHA membuat suatu perencanaan.

1) Mendapatkan Sumber, peranan ini berarti memanfaatkan sistem sumber yang ada dalam masyarakat dan di luar masyarakat.

2) Advokasi, peranan ini berarti mewakili kepentingan-kepentingan ODHA berupa dengan pendapat,lobbying dengan para politis/pemegang kekuasaan, membentuk perwakilan di pemerintah lokal atau pusat dan membela ODHA di pengadilan.
3) Memanfaatkan Media Massa, peranan ini untuk memperjelas isu tertentu dan membantu mendapatkan agenda publik.

4) Hubungan Masyarakat, peranan ini berati memahami gambaran-gambaran proyek-proyek masyarakat dan mempromosikan gambaran tersebut ke dalam konteks yang lebih besar, melalui publikasi agar masyarakat tergerak terlibat dalam proyek tersebut dan menarik simpati dukungan dari pihak lain.

5) Jaringan Kerja Networking, peranan berarti mengembangkan relasi dengan berbagai pihak, kelompok dan berupaya mendorong mereka untuk turut serta dalam upaya perubahan.

6) Berbagi Pengetahuan dan Pengalaman, peranan ini dilakukan dalam kegiatan seperti keterlibatan aktif dalam pertemuan-pertemuan formal maupun non formal seperti: konfrensi-konfrensi, penulisan jurnal, surat kabar, seminar dll.

d. Peranan Teknis
1) Pengumpulan dan Analisis Data, peranan ini berarti sebagai peneliti sosial, dengan memanfaatkan berbagai metodologi penelitian ilmu pengetahuan sosial untuk mengumpulkan dan menganalisa data serta mempresentasikannya dengan baik.

2) Menggunakan Komputer, peranan ini berarti mampu menggunakan komputer dengan tujuan untuk penyusunan proposal, rancangan penelitian, analisis data, penyunan laporan keuangan, membuat selebaran, spanduk, leaflet, surat menyurat.

3) Presentasi Verbal dan Tertulis, peranan ini berarti harus mampu mengekspresikan pikiran-pikiran, tindakan-tindakan secara langsung dan dalam bentuk tulisan.

4) Management, peranan ini berarti bertanggung jawab untuk mengelola program kegiatann yang telah dibuatnya.

Selain peran-peran pekerjaan sosial juga harus memahami nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat dan nilai-nilai yang berlaku umum. Sejalan dengan hal ini Pumhrey berpendapat tentang tingkatan nilai-nilai sebagai berikut:

1. Nilai-nilai akhir atau abstrak, seperti demokrasi, keadilan, persamaa, kebebasan, kedamaian dan kemajuan sosial, perwujudan diri dan penentuan diri.

2. Nilai-nilai tingkat menengah, seperti kualitas keberfungsian manusia/pribadi, keluarga yang baik, pertumbuhan, peningkatan kelompok dan masyarakat yang baik.

3. Nilai-nilai tingkat ketiga merupakan nilai-nilai instrumental atau operasional yang mengacu kepada ciri-ciri perilaku dari lembaga sosial yang baik, pemerintahan yang baik dan orang profesional yang baik. Misalnya: dapat dipercaya, jujur dan memiliki disiplin diri.

Dalam menjalankan profesinya seorang pekerjaan sosial selain dilandasi oleh perananan dan nilai maka pekerja sosial juga wajib menjunjung tinggi Kode Etik Profesi , maka untuk menghadapi masalah berupa HIV-AIDS sendiri diterapkan kode etik antara lain :

1. Pekerja sosial mengutamakan tanggung jawab melayani kesejahteraan individu atau kelompok, yang meliputi kegiatan perbaikan kondisi-kondisi sosial.
2. Pekerja sosial mendahulukan tanggungjawab profesinya ketimbang kepentingan-kepentingan pribadinya.
3. Pekerjaan sosial tidak membedakan latar belakang keturunan, warna kulit, agama, umur, jenis kelamin, warganegara serta memberikan pelayanan dalam tugas-tugas serta dalam praktek-praktek kerja.
4. Pekerjaan sosial melaksanakan tanggung jawab demi mutu dan keluasan pelayanan yang diberikan.
5.Menghargai dan mempermudah partisipasi ODHA.
6. Mengahrgai martabat dan hargadiri ODHA.
7. Menerima ODHA apa adanya.
8. Menerima dan memahami bahwa setiap orang itu adalah unik.
9. Tidak menghakimi sikap ODHA.
10. Memahami apa yang dirasakan orang lain/empati.
11. Menjaga kerahasian ODHA.
12. Tidak menghadiahi ODHA dan tidak pula menghakimi
13. Pekerja sosial harus sadar akan keterbatan-keterbatasan yang dimilikinya
Seorang pekerja sosial bertugas melaksanakan program pembangunan di bidang kesejahteraan sosial dalam bentuk kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian, evaluasi dan pelaporan kegiatan pelayanan sosial.
Maka dari itulah, peranan pekerja sosial dalam dikelompokkan dalam beberapa tingkatan :
1. Dalam Praktek Mikro (Individu-Keluarga)
a. Penghubung : Menghubungkan ODHA dengan sistem sumber
b. Pemungkin : Menyediakan dukungan dan dorongan kepada sistem ODHA agar mampu menghadapi masalahnya
c. Perantara : Menentukan jalan keluar bila terjadi konflik
d. Penyalur Informasi : Menyiapkan dan menyalurkan informasi yang dibutuhkan
e. Evaluator : Memberikan penilaian terhadap interaksi dan hasil yang dicapai
f. Manajer Kasus/ Koordinator : Merencakan dan mengkoordinasikan pelayanan, menemukan sumber dan monitoring terhadap kemajuan
g. Pembela : Membela kepentingan dan memberdayakan ODHA
6.  Prinsip-Prinsip dalam Praktek Pekerjaan Sosial

1.      Prinsip-prinsip yang difokuskan pada pekerja sosial:
a.       Pekerja sosial seharusnya mempraktekkan pekerjaan sosial
b.      Dalam menjalin hubungan, pekerja sosial menggunakan dirinya secara sadar.
c.       Pekerja sosial wajib memelihara objektivitas professional.
d.      Pekerja sosial wajib menghormati perbedaan manusia.
e.       Pekerja sosial wajib mengembangkan diri dan pertumbuhan profesionalisme.
2.      Prinsip-Prinsip dalam Mengarahkan Kegiatan Praktek Pekerja Sosial
a.       Pekerja sosial wajib melayani klien sebagai manusia utuh.
b.      Pekerja sosial wajib memperlakukan klien sebagai manusia bermartabat
c.       Pekerja sosial wajib memperhatikan klien sebagai makhluk individual
d.      Pekerja sosial wajib mengembangkan visi dari klien.
e.       Pekerja sosial wajib membangun kekuatan dalam diri klien.

Selain berbagai prinsip yang harus dipegang teguh oleh seorang pekerja sosial, pekerja sosial juga memiliki kewajiban-kewajiban tertentu terhadap klien. Dalam hal ini terhadap ODHA, diantaranya:
Menghargai kepentingan Klien
Pekerja sosial professional harus mengakui, menghargai dan berusaha sebaik mungkin melindungi kepentingan klien dalam konteks pelayanan.
Analisis :
Pekerja sosial professional menghargai kepentingan klien dengan antara lain:
 Memulai, menyelenggarakan dan mengakhiri konteks pelayanan semata-mata untuk kepentingan pelayanan terhadap klien.
 Tidak membiarkan, ikut serta, atau melakukan penyalahgunaan konteks pelayanan yang dampaknya dapat merugikan kepentingan klien.
Secara umum kewajiban pekerja sosial profesional terhadap klien dalam penyediaan pelayanan antara lain:
·          Memberi pelayanan sesuai dengan kompetensi profesionalnya
·          Memberi informasi yang akurat dan lengkap tentang keluasan lingkup, jenis dan sifat pelayanan
·          Memberitahukan hak, kewajiban, kesempatan-kesempatan dan risiko yang melekat pada dan atau timbul dari hubungan pelayanan yang diberikan
·          Meminta saran, nasehat, dan bimbingan dari rekan sejawat dan penyelia manakala diperlukan demi kepentingan klien
·         Segera menarik diri dari konteks pelayanan manakala lingkungan dan suasana yang ada tidak lagi memungkinkan bagi pemberian pertimbangan yang seksama, penyampaian pelayanan yang sebaik-baiknya, dan pengurangan atau pencegahan dampak negatif yang mungkin muncul atau terjadi
·          Memberitahu klien tentang pengakhiran konteks pelayanan baik yang dilakukan melalui pengalihan, perujukan atau pemutusan.


Larangan penyalahgunaan konteks pelayanan oleh pekerja sosial profesional antara lain:
·          Menggunakan hubungannya dengan klien sebagai alasan untuk dan demi mendapatkan keuntungan pribadinya
·         Melakukan, menyetujui, membantu, bekerjasama atau ikut serta denganØ konteks pelayanan yang diskriminatif atas dasar ras, golongan, warna kulit, kelamin, orientasi seksual, usia, agama, kebangsaan, status perkawinan, keyakinan politik, perbedaan kapasitas mental atau fisik
·         Memberikan atau melibatkan diri dalam hubungan dan komitmen yang bertentangan dengan kepentingan klien.
·         Melakukan kegiatan seksual dengan klien

Menghargai Hak-hak Klien
Pekerja sosial profesional wajib mengakui, menghargai, berupaya mewujudkan dan melindungi hak - hak klien.

Analisis :
Pekerja sosial profesional menghargai hak-hak Klien dengan antara lain:
·         Mengakui, menghargai dan memastikan sebaik-baiknya pewujudan atas dan perlindungan terhadap hak-hak klien, antara lain, atas hidup dan kehidupan, kemerdekaan, kebebasan berpendapat dan kesetaraan dimata hukum
 
·         Mengakui, menghargai, dan mewujudkan hak-hak klien dalam menentukan nasibnya sendiri

·         Menghormati dan menjaga kerahasiaan klien dalam konteks pelayanan
 Tidak membiarkan, ikut serta, atau melakukan kegiatan yang melanggar hak-hak klien
Hak asasi adalah pemahaman bahwa setiap orang terlahirkan bebas dan setara dalam martabat dan haknya. Mereka dikaruniai dengan akal dan nurani dan selayaknya memperla-kukan satu sama lain dalam semangat persaudaraan – Pasal 1 Deklarasi Semesta Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia (All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood—Article 1 of the United Nations Universal Declaration of Human Rights).
Hak klien untuk menentukan nasib sendiri. Dalam menjalankan pekerjaannya, pekerja sosial profesional harus selalu melindungi kepentingan-kepentingan dan hak-hak pribadi klien. Bila pekerja sosial profesional melimpahkan/memberikan wewenang kepada orang lain untuk bertindak demi kepentingan klien, maka dia harus menjaga agar pelayanan itu tetap sesuai dengan kepentingan klien.
Pekerja sosial profesional tidak ikut campur dalam tindakan yang melanggar atau mengurangi hak-hak sipil atau hak resmi klien.
Menjaga kerahasiaan klien dalam konteks pelayanan.
Memberitahu klien tentang hak-hak mereka terhadap kerahasiaan dalam konteks pelayanan juga termasuk bila melibatkan orang ketiga kedalam aktifitas mereka. Memberitahukan klien tentang batas-batas dan keperluan kerahasiaan informasi dalam konteks pelayanan. Memperlihatkan (memberitahukan) catatan informasi atas permintaan klien dan dan sejauh itu menyangkut klien yang bersangkutan, dan tidak membiarkan rahasia orang lain terbuka kepada klien tersebut. Tidak membuka rahasia klien kepada orang lain kecuali atas perintah ketentuan hukum. Tidak membuka rahasia klien kepada orang lain walaupun pertimbangan-pertimbangan profesional mengharuskannya kalau tidak mendapatkan persetujuan yang jelas dari klien bersangkutan

7. Kebijakan
Kebijakan adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebuah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah disusun dengan melalui beberapa tahapan yaitu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, dan penilaian/evaluasi kebijakan. Untuk melihat dampak kebijakan yang telah dibuat atau yang telah dijalankan bagi masyarakat, maka perlu dilakukan suatu analisa terhadap kebijakan tersebut.
Sejak ditemukannya kasus AIDS pertama di Indonesia, telah banyak kebijakan-kebijakan yang dirumuskan dan dilaksanakan, baik yang menyangkut program pencegahan, pengobatan maupun hal-hal lain yang terkait dengan program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Namun belum banyak dilakukan kajian-kajian terhadap kebijakan yang ada. Merupakan sebuah kebutuhan bagi aktivis maupun peneliti untuk mengetahui apa dan bagaimana melakukan analisa terhadap sebuah kebijakan.
Kebijakan Penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia dimulai dari KEPPRES No. 36 th 1994 yang kemudian melahirkan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). Kemudian dibuatlah Strategi Nasional I (1994-2003). Namun karena infrastruktur dan sumberdaya manusia yang masih sangat terbatas, sehingga program yang dijalankan masih sangat sederhana. Pejabat KPAN pada waktu itu diambil dari pejabat Departemen Kesra yang jabatan asalnya tidak dicabut, sehingga dengan menjadi pejabat KPAN beban kerjanya menjadi bertambah. 
Kemudian dengan cepatnya perkembangan epidemi dan cara penularan, terjadinya perubahan tata cara pemerintahan serta ditandatanganinya kesepakatan internasional (UNGASS, ASEAN), maka dirubahlah Stranas I menjadi Stranas II (2003-2007). Pada Stranas I program hanya berupa pencegahan dan pengobatan, maka pada Stranas II diidentifikasi 7 area penanggulangan. Kemudian juga diidentifikasi bahwa permasalahan HIV-AIDS merupakan masalah multi sektor, sehingga tanggung jawab harus diambil bersama dengan sektor/departemen lain.
Pada tahun 2006, dengan peningkatan epidemi yang cepat dan meluas, maka perlu peningkatan upaya dan juga perlu peningkatan koordinasi, sehingga dilakukan revitalisasi KPAN melalui perubahan Keppres No. 36 th. 1994 menjadi Keppres No. 75 th. 2006. Beberapa hal yang berbeda dari 2 Keppres tsb adalah: Perluasan keanggotaan sektor, keanggotaan CSO termasuk ODHA, perluasan tupoksi, membentuk sekretariat sendiri, serta peningkatan peran daerah. Kemudian diformulasikanlah Stranas 2007-2010 yang kemudian diikuti oleh RAN 2007-2010 yang merumuskan bagaimana diimplementasikannya rencana aksi tersebut.
Dalam Stranas 2007-2010 memuat: penajaman strategi, Coasted AP, pemodelan epidemi, pembaharuan tupoksi anggota, populasi kunci, perluasan cakupan program. Setelah 3 tahun berjalan, dilakukan evaluasi (midterm evaluasi) yang hasilnya adalah: target universal akses yang seharusnya dicapai pada tahun 2010, mungkin tidak tercapai. Pada saat itu juga disepakati target MDGs, sehingga diformulasikanlah Strategi dan Rencana Aksi Nasional (S-RAN) 2010-2014, yang mencakup: target Universal Akses, 3 indikator utama (cakupan 80%, efektifitas 60%, kesinambungan 70%).

Dasar hukum dari pelaksanaan kebijakan yang berkaitan dengan HIV-AIDS adalah :
1. Undang-undang no 23 tahun 1992 pasal 23 tentang kesehatan, dimana pelayanan kesehatan dilaksanakan disetiap tempat kerja yang memiliki karyawan 10 orang atau lebih dari 10 orang.
2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.68/MEN/2004 tentang pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja pada tanggal 28 April 2004.
3. Komitmen Tri Partit. Pemerintah Indonesia, Organisasi pengusaha dan pekerja telah mendeklarasikan Komitmen Tripartit dalam seminar mengenai HIV/AIDS, ”Aksi Menentang HIV/AIDS di Dunia kerja” pada 25 Februari 2003 di Jakarta.
4. Kaidah ILO. ILO telah mengadopsi Kaidah tentang HIV/AIDS di Tempat Kerja yang merupakan hasil konsultasi dengan konstituen ILO pada 21 Juni 2001. Kaidah ini dimaksudkan untuk membantu mengurangi penyebaran HIV dan dampak terhadap pekerja dan keluarganya.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan HIV-AIDS yaitu :

1. Memutuskan rantai penularan : Penanggulangan HIV/AIDS dilaksanakandengan memutuskan  rantai penularan penyakit yang terjadi melalui hubungan seks yang tidak terlindungi.

2. Mengembangkan kerja sama kemitraan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat serta organisasi profesi dalam penanggulangan HIV / AIDS di tempat kerja.

3. Pencegahan HIV/AIDS melalui KIE terutama yang menyangkut hal – hal yang berkaitan dengan pengetahuan tentang penyakit HIV/AIDS, cara-cara pencegahan yang dapat dilakukan oleh setiap orang sehingga setiap pekerja mampu melindungi diri masing – masing dan melindungi diri dari orang lain dari penularan penyakit.

4. Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh informasi yang benar tentang HIV/AIDS guna melindungi dirinya terhadap penularan penyakit.

5. Setiap pekerja ODHA dilindungi kerahasiaannya (kecuali bila ia membolehkan untuk diketahui oleh orang lain) untuk mencegah stigmatisasi, diskriminasi dan pelanggaran hak azasi manusia. Setiap ODHA wajib melindungi pasangan seks nya.

6. Persamaan gender (gender Equality) dan pemberdayaan perempuan untuk mengurangi ancaman atau kerentanan (vulnerebility) pekerja perempuan terhadap penularan HIV/AIDS serta mencegah dan melindungi mereka dari kekerasan seksual.

7. Setiap pekerja ODHA berhak memperoleh pelayanan pengobatan, perawatan dan dukungan tanpa diskriminasi sehingga memungkinkan ia dapat hidup layak sebagai anggota masyarakat lainnya.

8. Meningkatkan kemampuan petugas dan institusi kesehatan dan sektor terkait (Capacity Building) dalam penanggulangan HIV/AIDS termasuk pelatihan dan pengorganisasian.
9. Prosedur untuk mendiagnosis infeksi HIV pada pekerja harus dilakukan secara sukarela dan didahului dengan memberikan informasi yang benar kepada yang bersangkutan (informed – concent), disertai conseling yang memadai sebelum dan sesudah test dilakukan.

Sementara itu strategi yang digunakan untuk menengani masahah HIV_AIDS yaitu :

1. Upaya penanggulangan HIV/AIDS di dimulai dengan memperkuat kemauan dan kepemimpinan para manager untuk mengatasi HIV/AIDS dan diharapkan adanya komitmen pimpinan dan dokter perusahaan untuk bersama-sama mencegah penyebaran HIV di tempat kerja dalam rangka menangkal ancaman bencana nasional HIV/AIDS mendatang.
2. Menerapkan dan membangun kemitraan sebagai landasan kerja dan promosi kesehatan kerja dalam penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja.
3. Mengembangkan iklim yang mendorong dunia usaha yang partisipatif dalam pelembagaan k3 di tempat kerja terutama dalam penanggulangan HIV/AIDS

Adapun langkah - langkah kegiatan yeng dilakukan dalam penanggulangan HIV – AIDS yaitu:
Program pencegahan HIV/AIDS di tempat kerja akan difokuskan pada pembentukan perilaku pekerja untuk tidak terpapar pada rantai penularan HIV/AIDS, antara lain melalui kontak seksual dan kontak jarum suntik. Bentuk kegiatan pencegahan HIV/AIDS ditempat kerja akan banyak berupa pendidikan pekerja (Workers Education) untuk meningkatkan kesadaran akan resiko HIV/AIDS dan adopsi perilaku aman untuk mencegah kontak dengan rantai penularan HIV/AIDS.

PELAYANAN KESEHATAN

1. Pelayanan Promotif : Meningkatkan KIE tentang HIV AIDS.
- Promosi Perilaku Seksual Aman (Promoting Safer Sexual Behavior).
- Promosi dan distribusi kondom (Promoting and Distributing Condom).
- Norma Sehat di Tempat Kerja : tidak merokok, tidak mengkonsumsi Napza.
- Penggunaan alat suntik yang aman (Promoting and Safer Drug Injection Behavior).

2. Pelayanan Preventif
- Peningkatan gaya hidup sehat (Reducing Vulnerability of Spesific Pop).
- Memahami penyakit HIV AIDS, bahaya dan pencegahannya.
- Memahami penyakit IMS, bahaya dan cara pencegahannya.
- Diadakannya konseling tentang HIV AIDS pada pekerja secara sukarela dan tidak dipaksa.


3. Pelayanan Kuratif
- Pengobatan dan perawatan ODHA
- Pencegahan dan pengobatan IMS (Infeksi Menular Seksual)
- Penyediaan dan Transfusi yang aman
- Mencegah komplikasi dan penularan terhadap keluarga dan teman sekerjanya
- Dukungan sosial ekonomi ODHA

4. Pelayanan Rehabilitatif
- Latihan dan pendidikan pekerja untuk dapat menggunakan kemampuan yang masih ada secara maksimal
- Penempatan pekerja sesuai kemampuannya
- Penyuluhan kepada pekerja dan pengusaha untuk menerima penderita ODHA untuk bekerja seperti pekerja lain
- Menghilangkan Stigma dan Diskriminasi terhadap pekerja ODHA oleh rekan kerja dan pengusaha




























BAB III
KAJIAN KASUS

Contoh Kasus I
Mia (19 tahun) seorang mahasiswi dirawat di rumah sakit karena demam berkepanjangan. Mia memiliki latar belakang perilaku beresiko (pengguna napza suntik), ia sering menggunakan jarum yang tidak steril secara bergantian. Dokter menganjurkan MIA untuk tes HIV, katena berdasarkan pengamatan dokter yang menanganinya diperkirakan MIA mengalami Terinfeksi HIV.
Ibunnya MIA yang pada saat itu mendampinginya di rumah sakit sangat panik mendengar anjuran dokter meskipun kemudian ia menyetujui agar MIA di tes HIV dan pengetesan dilakukan tanpa proses konseling. Hasil tes MIA ternyata hasilnya reaktif. Dan ibunya binggung memilih cara untuk memeberitahukan status HIV positif kepada anaknya MIA yang sama sekali tidak tahu bahwa anaknya adalah pengguna napza suntikan. Demikian juga cara penyampaian kepada anak – anak lainnya dirumah.
Ibu MIA sangat binggung harus bagaimana, permasalahan utama yang urgen dari kasus ini adalah bagaimana caranya ibu MIA menyampaikan status HIV positif kepada suami dan anak – anak yang lain.
Dalam menghadapi masalah ini, pekerja sosial segera memberikan pertolongan dengan   memainkan beberapa peran, antara lain :
·         Konselor atau pendidik, dengan menampung segala uneg – uneg si Ibu yang begitu kebingungan dan memerlukan seseorang yang bisa mendengarkan. Setelah itu pekerja sosial meyakinkan ibu bahwa dia harus menyampaikan kenyataan tentang MIA, dan dia memiliki kekuatan dam kemampuan untuk melakukannya. Bila diperlukan, pekerja sosial memfasilitasi si Ibu untuk berlatih beberapa cara itu (mencoba beberapa skenerio). Pekerja sosial juga mempertibangkan beberapa alternatif respon dari keluarga atas pemberitahuan berita tentang MIA serta alternatif jalan keluarnya.
·         Supervisor, yaitu dengan cara memantau apa yang dilakukan si Ibu, apakah sudah dengan yang diharapkan atau belum.
·         Pemungkain atau enabler, pekerja sosial membantu si Ibu untuk menemukan kekuatan dan sumber dalam dirinya agar menghasilkan perubahan yang dibutuhkan atau untuk mencari tujuan yang diinginkan.
·         Selanjutnya, apabila kemudian masalah menjadi berkembang, pekerja sosial dapat melaksanakan peranan – peranan yang lain, misalnya sebagai menajer kasus.
Contoh kasus II

Rusmin, lelaki berumur 23 tahun dengan pendidikan putus sekolah SMP. Ia tinggal bersama orang tua dua kakak dan dua adik, ayahnya petugas kebersihan lingkungan RT, Rusmin adalah pengguna NAPZA yang diketahui terkena HIV sejak dua tahun lalu. Keluarganya sudah dapat menerima keadaan status HIV positif Rusmin.
Enam bulan yang lalu kondisi kesehatan Rusmin menurun, dokter menyarankan untuk memulai pengobatan anti-retroviral. Setelah tiga bulan menjalani ART sudah keliatan adanya perbaikan dimana kondisi kesehatannya semakin membaik. Namun sayangnya setelah perubahan perbaikan kesehatan itu, dia mulai tidak teratur minum obat, sering begadang dan merokok. Bahkan satu bulan lalu Rusmin mulai mengkonsumsi NAPZA lagi dan kini kondisi kesehatannya kembali menurun.
Orang tua Rusmin semakin kewalahan menghadapi perilaku Rusmin, bahkan dua orang kakaknya yang sebelumnya mendukung untuk keperluan pengobatan kini sudah tidak mau membantu lagi. Melihat keadaan Rusmin yang semakin kacau, ibunya meminta bantuan seorang pekerja sosial, ibu Rusmin berharap ada panti rehabilitasi yang dapat menerima Rusmin, dengan status HIV positif dan mendapat keringanan biaya, karena ibu Rusmin mengalami kesulitan untuk membiayai panti rehabilitasi tersebut. Ibunya berharap Rusmin yang kelihatannya tidak menunjukkan motivasi yang kuat untuk berubah dapat sesegera mungkin masuk panti rehabilitasi.
Sehubungan dengan kasus ini, peranan yang dapat dilakukan oleh pekerja sosial adalah:
-          Konselor
Pekerja sosial membantu ibu, ayah, dan saudara, serta Rusmin sendiri untuk memahami dan menyadari permasalahan yang dihadapi. Pekerja sosial memberikan pelayanan konseling untuk memperoleh informasi, mengatasi kebingungan, ketidakstabilan emosi, keterampilan dalam menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan, terutama dalam tujuannya untuk menghentikan kebiasaan buruk Rusmin serta mendorongnya untuk mendapatkan pelayanan rehabilitasi.
-          Fasilitator
Pekerja sosial membantu memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan Rusmin, dalam hal ini pekerja sosial berupaya untuk menghubungkan dengan pelayanan atau sumber-sumber yang menyediakan pelayanan yang dibutuhkan oleh klien, terutama dengan panti rehabilitasi baik pemerintah maupun swasta yang dapat memberikan pelayanan dengan biaya yang relatif dapat dijangkau bahkan bilan mungkin gratis, termasuk bagaimana prosedur memperoleh pelayanan tersebut.
-          Pengembang (Liaison)
Memberikan informasi-informasi yang diperlukan oleh pihak keluarga mengenai kondisi klien dan kondisi lembaga agar dapat memberikan pertimbangan yang tepat dalam menentukan tindakannya demi kepentingan Rusmin dan keluarganya.selain itu pekerja sosial memberikan informasi yang tepat mengenai kondisi keluarga terhadap pihak lembaga atau panti, baik status kesehatannya mauoun kondisi ekonomi orang tuanya, sebagai bahan pertimbnagan lembaga dalam menentukan tindakan yang tepat bagi klien dan keluarganya.
-          Pemungkin (enabler)
Pekerja sosial sebagai pemungkin pembantu Rusmin, ibunya dan anggota keluarganya yang kain untuk menemukan kekuatan dan sumber dalam diri klien agar menghasilkan perubahan yang dibutuhkan atau untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam hal ini pekerjaan sosial memiliki tanggung jawab untuk memfasilitasi perubahan melalui penguatan dan dukungan. Khususnya agar Rusmin dapat melepaskan kebiasaan kembali ke Napza, menyadari situasi yang dihadapi keluarganya dan memiliki motivasi tinggi untuk mengikuti rehabilitas. Pekerja sosial juga memberikan dukungan kepada saudara-saudara Rusmin untuk tidak apatis dan putus asa terhadap masalah Rusmin dan tetap dapat memberi dukungan kepada Rusmin.
-          Advokator, apabila Rusmin ditolak untuk memperoleh perawatan di lembaga pelayanan.












BAB IV
PENUTUP

A.      Simpulan
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV; atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain). Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
          Dalam praktek pekerjaan sosial di bidang HIV-AIDS seorang pekerja sosial dapat melaksanakan tugas dan peranannya, bagaimana menangani seorang klien yang berstatus HIV positif, memberikan solusi dan mendekatkan pada sistem sumber yang ada sehingga tidak terbelennggu dalam menghadapi penyakitnya dan termotivasi kembali dalam menjalani hidupnya..

B.       Saran

·      Perlunya membentengi diri dengan agama, dan setiap orang harus belajar agar dapat mengendalikan diri, serta memiliki prinsip hidup yang kuat untuk berkata “TIDAK” terhadap segala jenis yang mengarah kepada narkoba dan psikotropika lainnya.
·      Perlunya menjaga keharmonisan keluarga karena pergaulan bebas sering kali menjadi pelarian bagi anak – anak yang depresi.
·      Bagi para penderita HIV sebaiknya tetap mau berbaur dengan orang disekitarnya, serta tabah dan terus berdoa untuk memohon kesembuhan.
·      Bagi keluarga penderita HIV/AIDS teruslah memotivasi penderita untuk terbiasa hidup dengan HIV/AIDS sehingga bisa melakukan pola hidup sehat,
dan mau beraktivitas dalam meneruskan hidup yang lebih baik.
·      Segala bentuk kebijakan dan program yang telah disusun oleh pemerintah hendaknya dapat dilaksakan sebagaimana mestinya sehingga dapat menekan angka pertumbahan HIV-AIDS.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar