Senin, 09 September 2013

AGRESI (PSIKOLOGI)


1.      Pengertian dan Definisi Agresi
Agresi adalah tingkah laku yang diarahkan kepada tujuan untuk menyakiti makhluk hidup lainnya yang ingin menghindari perilaku semacam ini. Hal ini juga dimaksudkan kepada siksaan yang diarahkan secara sengaja dari berbagai bentuk kekerasan terhadap orang lain (Baron dan Richadson, 1994).
Agresi walaupun merupakan konsep yang sangat familiar tetapi tampaknya tidak mudah untuk mendefinisikannya. Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis (Baron & Byrne, 1994; Brehm & Kassin, 1993; Brigham, 1991). Dalam hal ini, jika menyakiti orang lain karena unsur ketidaksengajaan, maka perilaku tersebut bukan dikategorikan perilaku agresi. Rasa sakit akibat tidakan medis misalnya, walaupun sengaja dilakukan bukan termasuk agresi. Sebaliknya, niat menyakiti orang lain namun tidak berhasil, hal ini dapat dikatakan sebagai perilaku agresi.
Dalam psikologi dan ilmu sosial lainnya, pengertian agresi merujuk pada perilaku yang dimaksudkan untuk membuat objeknya mengalami bahaya atau kesakitan. Agresi dapat dilakukan secara verbal atau fisik. Perilaku yang secara tidak sengaja menyebabkan bahaya atau sakit bukan merupakan agresi. Pengrusakan barang dan perilaku destruktif lainnya juga termasuk dalam definisi agresi. Agresi tidak sama dengan ketegasan (http://id.wikipedia.org/wiki/Agresi).
Meskipun semua orang memahami apa itu agresi, namun masih terdapat perbedaan pendapat mengenai definisinya. Ada tiga perbedaan penting yang ada dalam pengertian ini. Pertama, apakah kita mendefinisikan agresi sebagai perilaku melukai, ataukah mempunyai maksud melukai disebut juga agresi. Definisi yang paling sederhana dan yang paling disukai oleh orang yang menggunakan pendekatan behaviorisme, adalah bahwa agresi merupakan perilaku yang melukai orang lain. Keuntungan definisi ini adalah bahwa perilaku itu yang menentukan apakah suatu tindakan bisa dikatakan agresi atau tidak.
Sayangnya definisi ini mengabaikan maksud orang yang melakukan suatu tindakan. Jika kita mengabaikan maksud, seorang pria yang sedang marah bermaksud untuk membunuh pesaing bisnisnya dengan cara menembak dengan pistol, tetapi ternyata senjatanya kosong, maka tindakan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindakan agresi. Meskipun pada kenyataanya pria itu sedang marah dan mencoba melakukan pembunuhan, dia tidak bisa dikatakan agresif karena senjatanya kosong. Sehingga tindakannya tidak berbahaya. Maksud mempunyai peranan penting dalam penilaian kita tentang agresi. Karena itu, kita mendefinisikan agresi sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain. Konsep ini lebih sulit diterapkan, karena tidak semata-mata tergantung pada perilaku yang nampak. Sering kali sulit untuk mengetahui maksud seseorang. Tetapi kita akan menerima batasan agresi dengan penuh arti jika kita memperhatikan maksud.
Perbedaan yang kedua adalah antara agresi antisosial dan prososial. Biasanya kita menganggap agresi sebagai sesuatu yang buruk. Memang, tindakan agresif yang timbul dengan maksud untuk melukai seseorang adalah hal yang buruk. Tetapi ada perilaku agresi yang baik. Kita menghargai polisi yang telah menembak seorang teroris. Yang menjadi masalah apakah tindakan agresif melanggar atau mendukung norma sosial itu telah disepakati. Tindakan kriminal seperti membunuh, kekerasan dan pemukulan jelas melanggar norma sosial disebut antisosial. Sedangkan tindakan prososial adalah yang sesuai dengan hukum, seperti disiplin yang diterapkan orangtua atau kepatuhan terhadap komandan perang dianggap penting.
Beberapa tindakan agresif berada di antara agresi prososial dan agresi antisosial adalah agresi yang disetujui (sanctioned aggression). Ini adalah agresi yang antisosial tetapi masih disetujui oleh masyarakat. Contoh, seorang wanita yang melawan ketika diperkosa atau seorang pemilik toko yang memukul orang yang menyerangnya.
Perbedaan yang ketiga adalah antara perilaku agresi dan perasaan agresi. Misalnya, seperti rasa marah. Perilaku kita yang nampak belum berarti mencerminkan perasaan internal kita. Bisa saja, seseorang yang merasa sangat marah, tetapi tidak menampakkan usaha untuk melukai orang lain. Masyarakat tidak menyetujui sebagian besar bentuk perilaku agresif dan memang hal ini hanya bisa terjadi bila orang senantiasa mengendalikan perasaan agresifnya. Kita tidak dapat membiarkan seseorang memukul orang lain, merusak pintu, atau bertindak kasar. Masyarakat sangat mengekang perilaku semacam ini, sehingga sebagian besar orang, termasuk yang selalu marasa marah, jarang bertindak agresif.
2.      Teori Agresi
  1. Teori Bawaan
1)      Teori Psikoanalisis ( naluri )
Menurut freud dalam teori psikoanalisis klasiknya mengemukakan bahwa agresi adalah satu dari dua naluri dasar manusia. Naluri agresi atau tanatos merupakan pasangan dari naluri seksual atau eros. Jika naluri seks untuk melanjutkan keturunan, naluri agresi untuk mempertahankan jenis. Kedua naluri tersebut berada dalam alam ketidaksadaran, khususnya pada bagian dari kepribadian yang disebut ID yang pada prinsipnya selalu ingin agar kemauannya dituruti (prinsip kesenangan atau pleasure principle).
Karena dinamika kepribadian seperti itulah, sebagian besar naluri agresif manusia diredam (repressed) dalam alam ketidaksadaran dan tidak muncul sebagai perilaku yang nyata. Akan tetapi, bahwa agresivitas merupakan ciri bawaan manusia terbukti dalam berbagai mitologi.
2)      Teori Biologi
Teori biologi mencoba menjelaskan perilaku agresif, baik dari proses faal maupun teori genetika (ilmu keturunan). Yang mengajukan proses faal antara lain adalah Moyes (1976) yang berpendapat bahwa perilaku agresif ditentukan oleh proses tertentu yang terjadi di otak dan susunan syaraf pusat. Menurut tim American Psychological Association (1993), kenakalan remaja lebih banyak terdapat pada remaja pria, karena jumlah testosteron menurun sejak usia 25 tahun.
Teori biologi ysng meninjau perilaku agresif dari ilmu genetika dikemukakan oleh Lagerspetz (1979). Ia mengawinkan sejumlah tikus putih yang agresif dan tikus putih yang tidak agresif.
  1. Teori Lingkungan
1)      Teori Frustasi-Agresi Klasik
Teori yang dikemukakan oleh Dollard dkk (1939) dan Miller (1941) ini intinya berpendapat bahwa agresi dipicu oleh frustasi. Frustasi itu sendiri artinya adalah hambatan terhadap pencapaian suatu tujuan. Dengan demikian, agresi merupakan pelampiasan dari perasaan frustasi. Misalnya, Anda sangat kehausan dan kebetulan kehabisan koin untuk membeli minuman dari mesin minuman yang ada di dekat situ. Untungnya ada teman yang mau maminjamkan koin dan dengan penuh harapan Anda memasukkan koin itu ke dalam mesin. Akan tetapi, ternyata mesin itu macet. Minuman dingin tidak mau keluar dan koin pun tertinggal di dalam. Anda tetap kehausan dan tetap tidak mempunyai uang, bahkan sekarang berhutang kepada teman Anda. Dalam keadaan frustasi seperti ini dapat dijelaskan mengapa Anda memukuli atau menendangi mesin minuman “celaka” itu.
2)      Teori Frustasi-Agresi Baru
Menurut Burnstein dan Eorchel (1962) membedakan antara frustasi dan iritasi. Jika suatu hambatan terhadap pencapaian tujuan dapat dimengerti alasannya, yang terjadi adalah iritasi (gelisah atau sebal), bukan frustasi (kecewa dan putus asa). Kegagalan mesin minuman dalam contoh di atas adalah frustasi, karena mestinya mesin itu tidak gagal dan tidak dapat dimengerti mengapa mesin itu rusak. Semua itu membuat Anda agresif. Akan tetapi, kalau sebelum memasukkan uang Anda sudah melihat tulisan “ mesin ini rusak “, Anda mengerti mengapa Anda tidak dapat membeli minuman dari mesin itu dan Anda tidak menjadi agresif walaupun anda tetap kehausan. Frustasi ini lebih memicu agresi daripada iritasi.
Berkowitz (1978 dan 1989) mengatakan bahwa frustasi menimbulkan kemarahan dan emosi marah inilah yanng memicu agresi. Marah itu sendiri baru timbul jika sumber frustasi dinilai mempunyai alternatif perilaku lain daripada perilaku yang menimbulkan frustasi itu.
3)      Teori Belajar Sosial
Berbeda dari teori bawaan dan teori frustasi-agresi yang menekankan faktor-faktor dorongan dari dalam, teori belajar sosial lebih memperhatikan faktor tarikan dari luar. Patterson, Littman, dan Bricker (1967) menemukan bahwa pada anak-anak kecil, agresivitas yang membuahkan hasil yang berupa peningkatan frekuensi perilaku agresif itu sendiri. Rubin (1986) mengemukakan bahwa aksi terorisme yang tidak mendapat tanggapan dari media massa tidak akan berlanjut. Jadi, ganjaran yang diperoleh dari perilaku agresif akan berpengaruh pada peningkatan perilaku agresif tersebut.
Demikian pula White dan Humphrey (1994) mendapatkan bahwa wanita-wanita yang agresif telah mengalami sendiri perlakuan agresif terhadap dirinya, baik yang diperolehnya dari orang tuanya, teman prianya, maupun pacarnya. Bandura (1979) juga mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari pun perilaku agresif dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa. Penelitian-penelitian di Indonesia juga membuktikan bahwa kenakalan remaja sangat terkait dengan hubungan yang tidak baik antara orang tua dan anak (Ilahude, 1983 ) atau apa yang dilihatnya di rumah, sekolah, dan di kalangan teman (Retnowati, 1983; Sarifuddin, 1982 ).
  1. Teori Kognisi
Teori kognisi berintikan pada proses yang terjadi pada kesadaran dalam membuat penggolongan (kategorisasi), pemberian sifat-sifat (atribusi), penilaian, dan pembuatan keputusan. Dalam hubungan antara dua orang, kesalahan atau penyimpangan dalam pemberian atribusi juga dapat menyebabkan agresi (Johnson dan Rule, 1986). Misalnya ada seorang pelajar melihat ada pelajar lain sedang melihat ke arah dirinya. Pelajar yang pertama kemudian memberi atribusi yang salah kepada pelajar kedua, yaitu bahwa pelajar kedua memusuhinya, marah kepadanya atau menantangnya berkelahi. Reaksi pelajar pertama menjadi agresif terhadap pelajar kedua.

3.      Klasifikasi Agresi
Moyer (1968) menyajikan klasifikasi awal berupa tujuh bentuk agresi, dari sudut pandang biologis dan evolusi.
  1. Agresi pemangsa: serangan terhadap mangsa oleh pemangsa.
  2. Agresi antar jantan: kompetisi antara jantan dari spesies yang sama mengenai akses terhadap sumber tertentu seperti betina, dominansi, status, dsb.
  3. Agresi akibat takut: agresi yang dihubungkan dengan upaya menghindari ancaman.
  4. Agresi teritorial: mempertahankan suatu daerah teritorial dari para penyusup.
  5. Agresi maternal: agresi dari perempuan/betina untuk melindungi anaknya dari ancaman. Ada juga agresi paternal.
  6. Agresi instrumental: Agresi yang ditujukan untuk mencapai suatu tujuan. Agresi ini dianggap sebagai respon yang dipelajari terhadap suatu situasi.

Klasifikasi sekarang
Kini, ada konsensus dalam komunitas ilmiah untuk setidaknya dua kategori besar dari agresi, dikenal sebagai agresi afektif dan agresi instrumental. Penelitian empiris mengindikasikan bahwa klasifikasi ini adalah perbedaan yang penting, baik secara psikologis atau fisiologis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang yang cenderung melakukan agresi afektif mempunyai IQ yang lebih rendah dibanding yang cenderung melakukan agresi instrumental.
4.      Penyebab Agresi
Menurut Sears, Taylor, dan Peplau (1997), perilaku agresif remaja disebabkab oleh dua faktor utama yaitu adanya serangan serta frustasi. Serangan merupakan salah satu faktor yang  paling sering menjadi penyebab agresif dan muncul dalam bentuk serangan verbal atau serangan fisik. Faktor penyebab agresi selanjutnya adalah frustasi. Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh suatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, penghargaan atau tindakan tertentu.
Menurut Berkowitz (2003) dalam bukunya yang berjudul emosional behavior menyatakan bahwa adanya persaungan atau kompetisi juga dapat menjadi penyebab munculnya perilaku agresif remaja.
Menurut Koeswara (1998), faktor penyebab remaja berperilaku agresif bermacam-macam, sehingga dapat dikelompokkan menjadi faktor sosial, faktor lingkungan, faktor situasional, faktor hormon, alkohol, obat-obatan (faktor yang berasal dari luar individu ) dan sifat kepribadian  (faktor-faktor yang berasal dari dalam individu), yaitu :
a.       Penyebab sosial
1)      Frustasi
Yakni suatu situasi yang menghambat individu dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya, dari frustasi maka kan timbul perasaan-perasaan agresif.

2)      Provokasi
Yaitu oleh pelaku agresi profokasi dilihat sebagai ancaman yang harus dihadapi dengan respon agersif untuk meniadakan bahaya yang diisaratkan oleh ancaman tersebut.
3)      Melihat model-model agresif
Film dan TV dengan kekerasan dapat menimbulkjan agresi pada seorang anak, makin banyak menonton kekerasandalam acara TV makin besar tingkat agresif mereka terhadap orang lain, makin lama mereka menonton, makin kuat hubungannya tersebut. 
b.      Penyebab dari lingkungan
1)      Polusi Udara, bau busuk dan kebisingan dilaporkan dapat menimbulkan perilaku agresi, tetapi tidak selalu demikian tergantung dari berbagai faktor lain.
2)    Kesesakan (crowding), meningkatkan kemungkinan untuk perilaku agresif  terutama bila sering timbul kejengkelan, iritasi, dan frustasi karenanya.
c.       Penyebab situasional
1)        Bangkitan seksual yaitu film porno yang  “ringan“ dapat mengurangi tingkat agresif, film porno yang “keras” dapat menambah agresif.
2)        Rasa nyeri dapat menimbulkan dorongan agresi yaitu untuk melikai atau mencelakakan orang lain. Dorongan itu kemudian dapat tertuju kepada sasaran apa saja yang ada.

d.      Alkohol dan obat-obatan
Ada petunjuk bahwa agresi berhubungan dengan kadar alkhohol dan obat-obatan. Subyek yang menerima alkohol dalam takara-takaran yang tinggi menunjukkan taraf agresifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang tidak menerima alkhohol atau menerima alkhohol dalam taraf yang rendah. Alkohol dapat melemahkan kendali diri peminumnya, sehingga taraf agresifitas juga tinggi.
e.       Sifat kepribadian
Menurut Baron (dalam Koeswara, 1988) setiap individu akan berbeda dalam cara menentukan dirinya untuk mendekati atau menjauhi perilaku agresif. Ada beberapa ynag memiliki sifat karakteristik yang berortientasi untuk menjauhkan diri dari pelanggaran-pelanggaran.
Menurut David O Sears 1985 meyebutakan faktor penentu perilaku agresif yang utama adalah rasa marah dan proses belajar respon agresif. Proses belejar ini bisa terjadi langsung terhadap respon agresif atau melalui imitasi.
Menurut Davidoff perilaku agresif remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor :
a.    Faktor biologis
Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresif yaitu:
1)   Gen
Gen tampakya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresif.


2)   Sistem otak
Sistem otak yang tidak terlibat dalam agersi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit netral yang mengendalikan agresi.
3)   Kimia darah
Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi.
b.    Faktor lingkungan
Yang mempengaruhi perilaku agresif remaja yaitu :
1)   Kemiskinan
Remaja yang besar dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan. Hal yang sangat menyedihkan adalah dengan berlarut-larut terjadinya krisis ekonimi dan moneter menyebabkan pembengklakan kemiskinan yang semakin tidak terkendali. Hal ini berarti potensi meledaknya tingkat agresi semakin besar.
2)   Anoniomitas
Terlalu banyak ranbgsangan indra dan kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidal lagi saling mengenal. Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi anonim  (tidak mempunyai identitas diri). Jika seseorang merasa anonim ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak terikkat dengan norma masyarakat da kurang bersimpati dengan orang lain.

3)    Suhu udara yang panas
Suhu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresifitas.
c.    Kesenjangan generasi
Adanya perbedaan atau jurang pemisah (gap) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi antara orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak.
d.   Amarah
Marah merupakan emosi yang memiliki cirri-ciri aktifitas system saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan akarena adanya kesalahan yang muingkin nyata-nyata salah atau mungkin tidak (Davidoff, Psikologi Suatu Pengantar, 1991). Pada saat amrah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresif.
e.    Peran belajar model kekerasan
Model pahlawan-pahlawan di film-film seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan tindak kekerasan. Hal bisa menjadikan penonton akan semakin mendapat penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangkan dan dapat dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hali ini menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresif.
f.     Frustasi
Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan, atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara merespon terhadap frustasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustasi yang behubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera tepenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi. 
g.    Proses pendisiplinan yang keliru
Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja (Sukadji, 1988, Keluarga dan Keberhasilan Pendidikan). Pendidikan disiplin seperti akn membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta kehilangan inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain.




5.      Penanganan Agresi
Perilaku agresif merupakan masalah utama dalam masyarakat. Kejahatan individual dan kekerasan sosial dalam skala besar sangat merugikan dan membahayakan kesejahteraan individu maupun struktur sosial secara umum.
Adapun tehnik-tehnik yang dapat digunakan untuk mengurangi perilaku agresif sebagai berikut:
a.    Hukuman dan Pembalasan
Jelas bahwa rasa takut terhadap hukuman pembalasan bisa menekan perilaku agresif. Tipe orang rasional, akan memperhitungkan akibat agresi di masa mendatang, dan berusaha untuk tidak melakukan perilaku agresif bila ada kemungkinan mendapat hukuman. Bond dan Dutton (1975), serta Wilson dan Roger (1975), yang menggunakan tehnik belajar-kejutan, menemukan adanya pengurangan agresi bila subjek diberitahu bahwa setelah itu penaran akan ditukar, sehingga dia akan berada dalam posisi yang diberi kejutan.
b.    Mengurangi Frustasi
Tehnik yang lebih baik adalah dengan mengurangi kemungkinan terjadinya serangan dan frustasi. Setiap masyarakat berusaha menjamin adanya tingkat kesamaan hak untuk mendapatkan keperluan hidup. Alasan utamanya adalah untuk menghindari gangguan kekerasan yang berskala besar dalam kehidupan sehari-hari terutama dari kelompok-kelompok frustasi.
c.    Hambatan yang Dipelajari
Tehnik lain untuk mengurangi agresi adalah belajar mengendalikan perilaku agresif diri sendiri, tidak peduli apakah kita diancam atau dihukum. Ada dua pelajaran umum yang harus dipelajari: menekan perilaku agresif secara umum dan menekannya dalam situasi tertentu.
Hambatan agresi yang dipelajari secara umum dapat disebut kecemasan agresi (rasa salah agresi). Orang akan merasa cemas bila mendekati tanggapan berupan agresif.
Kita juga mempelajari kecemasan tentang pengungkapan agresi dalam situasi tertentu yang sangat spesifik. Selama hidup kita mempelajari dan mempelajari kembali “ikatan”, norma-norma, dan lingkungan sosial kita.
d.   Pengalihan (Displacement)
Prinsip dasar pengalihan adalah bahwa semakin banyak kesamaan antara sasaran dan sumber frustasi sebenarnya, semakin kuat dorongan agresif individu terhadap sasaran.
Karakteristik penting dari agresi yang dialihkan adalah bahwa kecemasan mengalami penurunan yang lebit cepat, bila ketidaksamaan semakin meningkat, dibandingkan penurunan dorongan agresif.


e.    Katarsis
Gagasan yang terakhir adalah bahwa perasaan marah dapat dikurangi melalui pengurangan agresi. Freud menyebut proses ini katarsis (pembersihan). Inti gagasan katarsis adalah bahwa bila orang merasa agresif, tindakan agresi yang dilakukannya akan mengurangi intensitas perasaannya.
Teori katarsis menurut Freud mengandaikan bahwa kita selalu mempunyai cadangan energi naluriah di dalam diri kita. Tidak peduli bagaimana situasinya, kita mempunyai jumlah agresivitas tertentu yang perlu kita keluarkan dari diri kita. Yang menjadi masalah dalam pandangan ini adalah prediksinya bahwa perilaku agresif akan selalu mengurangi rasa marah, karena cadangan energi itu selalu ada. Beberapa bukti empiris menentang pandangan ini: perilaku agresif meningkatkan agresivitas pada orang yang tidak marah; mereka menambah energi dan tidak mengeluarkannya (Dood & Wood, 1972; Konecni, 1975).

Versi berikutnya muncul dari hipotesis agresi-frustasi yang berasumsi bahwa dorongan agresif tidak bersifat naluriah, tetapi dibangkitkan oleh faktor situasional seperti frustasi dan dorongan. Implikasinya adalah bahwa perilaku agresif hanya akan menimbulkan katarsis pada orang yang mulai marah. Berhubung dalam teori ini tidak ada cadangan energi agresif yang menetap, katarsis hanya akan mengurangi agresivitas pada orang yang energinya bertambah karena mengalami frustasi atau serangan.

1 komentar:

  1. Bagus artikelnya. Di saya ada artikel senada, yaitu https://www.anakadam.com/2016/08/teori-psikologi-agresi/ Terimakasih.

    BalasHapus