1.
Pengertian dan Definisi Agresi
Agresi adalah tingkah laku yang diarahkan kepada
tujuan untuk menyakiti makhluk hidup lainnya yang ingin menghindari perilaku
semacam ini. Hal ini juga dimaksudkan kepada siksaan yang diarahkan secara sengaja
dari berbagai bentuk kekerasan terhadap orang lain (Baron dan Richadson, 1994).
Agresi walaupun
merupakan konsep yang sangat familiar tetapi tampaknya tidak mudah untuk
mendefinisikannya. Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan menyakiti orang lain,
baik secara fisik maupun psikis (Baron & Byrne, 1994; Brehm & Kassin, 1993; Brigham, 1991). Dalam hal ini, jika
menyakiti orang lain karena unsur ketidaksengajaan, maka perilaku tersebut
bukan dikategorikan perilaku agresi. Rasa sakit akibat tidakan medis misalnya,
walaupun sengaja dilakukan bukan termasuk agresi. Sebaliknya, niat menyakiti
orang lain namun tidak berhasil, hal ini dapat dikatakan sebagai perilaku
agresi.
Dalam psikologi
dan ilmu sosial lainnya, pengertian agresi merujuk pada perilaku yang
dimaksudkan untuk membuat objeknya mengalami bahaya atau kesakitan. Agresi
dapat dilakukan secara verbal atau fisik. Perilaku yang secara tidak sengaja
menyebabkan bahaya atau sakit bukan merupakan agresi. Pengrusakan barang dan
perilaku destruktif lainnya juga termasuk dalam definisi agresi. Agresi tidak
sama dengan ketegasan (http://id.wikipedia.org/wiki/Agresi).
Meskipun
semua orang memahami apa itu agresi, namun masih terdapat perbedaan pendapat mengenai
definisinya. Ada tiga perbedaan penting yang ada dalam
pengertian ini.
Pertama, apakah kita mendefinisikan agresi sebagai perilaku melukai, ataukah
mempunyai maksud melukai disebut juga agresi. Definisi yang paling sederhana
dan yang paling disukai oleh orang yang menggunakan pendekatan behaviorisme,
adalah bahwa agresi merupakan perilaku yang melukai orang lain. Keuntungan
definisi ini adalah bahwa perilaku itu yang menentukan apakah suatu tindakan
bisa dikatakan agresi atau tidak.
Sayangnya
definisi ini mengabaikan maksud orang yang melakukan suatu tindakan. Jika kita
mengabaikan maksud, seorang pria yang sedang marah bermaksud untuk membunuh
pesaing bisnisnya dengan cara menembak dengan pistol, tetapi ternyata
senjatanya kosong, maka tindakan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindakan
agresi. Meskipun pada kenyataanya pria itu sedang marah dan mencoba melakukan
pembunuhan, dia tidak bisa dikatakan agresif karena senjatanya kosong. Sehingga
tindakannya tidak berbahaya. Maksud mempunyai peranan penting dalam penilaian
kita tentang agresi. Karena itu, kita mendefinisikan agresi sebagai tindakan
yang dimaksudkan untuk melukai orang lain. Konsep ini lebih sulit diterapkan,
karena tidak semata-mata tergantung pada perilaku yang nampak. Sering kali sulit untuk mengetahui
maksud seseorang. Tetapi kita akan menerima batasan agresi dengan penuh arti
jika kita memperhatikan maksud.
Perbedaan
yang kedua adalah antara agresi antisosial dan prososial. Biasanya kita
menganggap agresi sebagai sesuatu yang buruk. Memang, tindakan agresif yang
timbul dengan maksud untuk melukai seseorang adalah hal yang buruk. Tetapi ada
perilaku agresi yang baik. Kita menghargai polisi yang telah menembak seorang
teroris. Yang menjadi masalah apakah tindakan agresif melanggar atau mendukung
norma sosial itu telah disepakati. Tindakan kriminal seperti membunuh,
kekerasan dan pemukulan jelas melanggar norma sosial disebut antisosial.
Sedangkan tindakan prososial adalah yang sesuai dengan hukum, seperti disiplin
yang diterapkan orangtua atau kepatuhan terhadap komandan perang dianggap
penting.
Beberapa
tindakan agresif berada di antara agresi prososial dan agresi antisosial adalah
agresi yang disetujui (sanctioned
aggression). Ini adalah agresi yang antisosial tetapi masih disetujui oleh
masyarakat. Contoh, seorang wanita yang melawan ketika diperkosa atau seorang
pemilik toko yang memukul orang yang menyerangnya.
Perbedaan
yang ketiga adalah antara perilaku agresi dan perasaan agresi. Misalnya,
seperti rasa marah. Perilaku kita yang nampak belum berarti mencerminkan
perasaan internal kita. Bisa saja, seseorang yang merasa sangat marah, tetapi
tidak menampakkan usaha untuk melukai orang lain. Masyarakat tidak menyetujui
sebagian besar bentuk perilaku agresif dan memang hal ini hanya bisa terjadi
bila orang senantiasa mengendalikan perasaan agresifnya. Kita tidak dapat
membiarkan seseorang memukul orang lain, merusak pintu, atau bertindak kasar.
Masyarakat sangat mengekang perilaku semacam ini, sehingga sebagian besar
orang, termasuk yang selalu marasa marah, jarang bertindak agresif.
2.
Teori Agresi
- Teori Bawaan
1)
Teori Psikoanalisis
( naluri )
Menurut freud dalam
teori psikoanalisis klasiknya mengemukakan bahwa agresi adalah satu dari dua
naluri dasar manusia. Naluri agresi
atau tanatos merupakan pasangan dari naluri seksual atau eros. Jika naluri seks
untuk melanjutkan keturunan, naluri agresi untuk mempertahankan jenis. Kedua
naluri tersebut berada dalam alam ketidaksadaran, khususnya pada bagian dari
kepribadian yang disebut ID yang pada prinsipnya selalu ingin agar kemauannya
dituruti (prinsip kesenangan atau pleasure
principle).
Karena dinamika
kepribadian seperti itulah, sebagian besar naluri agresif manusia diredam (repressed) dalam alam ketidaksadaran dan
tidak muncul sebagai perilaku yang nyata. Akan tetapi, bahwa agresivitas
merupakan ciri bawaan manusia terbukti dalam berbagai mitologi.
2)
Teori Biologi
Teori biologi
mencoba menjelaskan perilaku agresif, baik dari proses faal maupun teori
genetika (ilmu keturunan). Yang mengajukan proses faal antara lain adalah Moyes (1976) yang berpendapat bahwa
perilaku agresif ditentukan oleh proses tertentu yang terjadi di otak dan
susunan syaraf pusat. Menurut tim American
Psychological Association (1993), kenakalan remaja lebih banyak terdapat
pada remaja pria, karena jumlah testosteron menurun sejak usia 25 tahun.
Teori biologi
ysng meninjau perilaku agresif dari ilmu genetika dikemukakan oleh Lagerspetz (1979). Ia mengawinkan
sejumlah tikus putih yang agresif dan tikus putih yang tidak agresif.
- Teori Lingkungan
1)
Teori
Frustasi-Agresi Klasik
Teori yang
dikemukakan oleh Dollard dkk (1939)
dan Miller (1941) ini intinya
berpendapat bahwa agresi dipicu oleh frustasi. Frustasi itu sendiri artinya
adalah hambatan terhadap pencapaian suatu tujuan. Dengan demikian, agresi
merupakan pelampiasan dari perasaan frustasi. Misalnya, Anda sangat kehausan
dan kebetulan kehabisan koin untuk membeli minuman dari mesin minuman yang ada
di dekat situ. Untungnya ada teman yang mau maminjamkan koin dan dengan penuh
harapan Anda memasukkan koin itu ke dalam mesin. Akan tetapi, ternyata mesin
itu macet. Minuman dingin tidak mau keluar dan koin pun tertinggal di dalam.
Anda tetap kehausan dan tetap tidak mempunyai uang, bahkan sekarang berhutang
kepada teman Anda. Dalam keadaan frustasi seperti ini dapat dijelaskan mengapa
Anda memukuli atau menendangi mesin minuman “celaka” itu.
2)
Teori Frustasi-Agresi
Baru
Menurut Burnstein dan Eorchel (1962) membedakan antara frustasi dan iritasi. Jika suatu
hambatan terhadap pencapaian tujuan dapat dimengerti alasannya, yang terjadi
adalah iritasi (gelisah atau sebal), bukan frustasi (kecewa dan putus asa). Kegagalan
mesin minuman dalam contoh di atas adalah frustasi, karena mestinya mesin itu
tidak gagal dan tidak dapat dimengerti mengapa mesin itu rusak. Semua itu
membuat Anda agresif. Akan tetapi, kalau sebelum memasukkan uang Anda sudah
melihat tulisan “ mesin ini rusak “, Anda mengerti mengapa Anda tidak dapat
membeli minuman dari mesin itu dan Anda tidak menjadi agresif walaupun anda
tetap kehausan. Frustasi ini lebih memicu agresi daripada iritasi.
Berkowitz (1978
dan 1989) mengatakan bahwa frustasi menimbulkan kemarahan dan emosi marah
inilah yanng memicu agresi. Marah itu sendiri baru timbul jika sumber frustasi
dinilai mempunyai alternatif perilaku lain daripada perilaku yang menimbulkan
frustasi itu.
3)
Teori Belajar
Sosial
Berbeda dari
teori bawaan dan teori frustasi-agresi yang menekankan faktor-faktor dorongan
dari dalam, teori belajar sosial lebih memperhatikan faktor tarikan dari luar. Patterson, Littman, dan Bricker
(1967) menemukan bahwa pada anak-anak kecil, agresivitas yang membuahkan hasil
yang berupa peningkatan frekuensi perilaku agresif itu sendiri. Rubin (1986) mengemukakan bahwa aksi
terorisme yang tidak mendapat tanggapan dari media massa tidak akan berlanjut.
Jadi, ganjaran yang diperoleh dari perilaku agresif akan berpengaruh pada peningkatan
perilaku agresif tersebut.
Demikian pula White dan Humphrey (1994) mendapatkan bahwa wanita-wanita yang agresif telah
mengalami sendiri perlakuan agresif terhadap dirinya, baik yang diperolehnya
dari orang tuanya, teman prianya, maupun pacarnya. Bandura (1979) juga mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari
pun perilaku agresif dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, dalam
lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa. Penelitian-penelitian
di Indonesia juga membuktikan bahwa kenakalan remaja sangat terkait dengan
hubungan yang tidak baik antara orang tua dan anak (Ilahude, 1983 ) atau apa yang dilihatnya di rumah, sekolah, dan di
kalangan teman (Retnowati, 1983; Sarifuddin, 1982 ).
- Teori Kognisi
Teori kognisi
berintikan pada proses yang terjadi pada kesadaran dalam membuat penggolongan
(kategorisasi), pemberian sifat-sifat (atribusi), penilaian, dan pembuatan
keputusan. Dalam hubungan antara dua orang, kesalahan atau penyimpangan dalam
pemberian atribusi juga dapat menyebabkan agresi (Johnson dan Rule, 1986).
Misalnya ada seorang pelajar melihat ada pelajar lain sedang melihat ke arah
dirinya. Pelajar yang pertama kemudian memberi atribusi yang salah kepada
pelajar kedua, yaitu bahwa pelajar kedua memusuhinya, marah kepadanya atau
menantangnya berkelahi. Reaksi pelajar pertama menjadi agresif terhadap pelajar
kedua.
3.
Klasifikasi Agresi
Moyer (1968) menyajikan klasifikasi awal berupa tujuh
bentuk agresi, dari sudut pandang biologis dan evolusi.
- Agresi pemangsa: serangan terhadap mangsa oleh
pemangsa.
- Agresi antar jantan: kompetisi antara jantan dari spesies yang sama mengenai akses
terhadap sumber tertentu seperti betina, dominansi, status, dsb.
- Agresi akibat takut: agresi yang dihubungkan
dengan upaya menghindari ancaman.
- Agresi teritorial: mempertahankan suatu daerah
teritorial dari para penyusup.
- Agresi maternal: agresi dari perempuan/betina
untuk melindungi anaknya dari ancaman. Ada juga agresi paternal.
- Agresi instrumental: Agresi yang ditujukan untuk
mencapai suatu tujuan. Agresi ini dianggap sebagai respon yang dipelajari terhadap suatu situasi.
Klasifikasi
sekarang
Kini, ada konsensus dalam komunitas ilmiah untuk setidaknya dua kategori
besar dari agresi, dikenal sebagai agresi afektif dan agresi instrumental.
Penelitian empiris mengindikasikan bahwa klasifikasi ini adalah perbedaan yang
penting, baik secara psikologis atau fisiologis. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa orang yang cenderung melakukan agresi afektif mempunyai IQ
yang lebih rendah dibanding yang cenderung melakukan agresi instrumental.
4.
Penyebab Agresi
Menurut Sears, Taylor, dan Peplau (1997), perilaku agresif remaja
disebabkab oleh
dua faktor utama yaitu adanya serangan serta frustasi. Serangan
merupakan salah satu faktor yang paling sering menjadi penyebab agresif
dan muncul dalam bentuk serangan verbal atau serangan fisik. Faktor penyebab
agresi selanjutnya adalah frustasi. Frustasi terjadi bila seseorang terhalang
oleh suatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, penghargaan
atau tindakan tertentu.
Menurut Berkowitz (2003) dalam
bukunya yang berjudul emosional behavior menyatakan bahwa adanya persaungan
atau kompetisi juga dapat menjadi penyebab munculnya perilaku agresif remaja.
Menurut Koeswara (1998), faktor
penyebab remaja berperilaku agresif bermacam-macam, sehingga dapat
dikelompokkan menjadi faktor sosial, faktor lingkungan, faktor situasional,
faktor hormon, alkohol, obat-obatan (faktor yang berasal dari luar individu )
dan sifat kepribadian (faktor-faktor
yang berasal dari dalam individu), yaitu :
a.
Penyebab sosial
1)
Frustasi
Yakni suatu
situasi yang menghambat individu dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang
diinginkannya, dari frustasi maka kan timbul perasaan-perasaan agresif.
2)
Provokasi
Yaitu oleh
pelaku agresi profokasi dilihat sebagai ancaman yang harus dihadapi dengan
respon agersif untuk meniadakan bahaya yang diisaratkan oleh ancaman tersebut.
3)
Melihat model-model agresif
Film dan TV
dengan kekerasan dapat menimbulkjan agresi pada seorang anak, makin banyak
menonton kekerasandalam acara TV makin besar tingkat agresif mereka terhadap
orang lain, makin lama mereka menonton, makin kuat hubungannya
tersebut.
b.
Penyebab dari lingkungan
1)
Polusi Udara, bau busuk dan kebisingan dilaporkan
dapat menimbulkan perilaku agresi, tetapi tidak selalu demikian
tergantung dari berbagai faktor lain.
2)
Kesesakan (crowding),
meningkatkan kemungkinan untuk perilaku agresif terutama bila sering
timbul kejengkelan, iritasi, dan frustasi karenanya.
c.
Penyebab situasional
1)
Bangkitan seksual yaitu film porno yang “ringan“
dapat mengurangi tingkat agresif, film porno yang “keras” dapat menambah
agresif.
2)
Rasa nyeri dapat menimbulkan dorongan agresi yaitu
untuk melikai atau mencelakakan orang lain. Dorongan itu kemudian dapat tertuju
kepada sasaran apa saja yang ada.
d.
Alkohol dan obat-obatan
Ada petunjuk
bahwa agresi berhubungan dengan kadar alkhohol dan obat-obatan. Subyek yang
menerima alkohol dalam takara-takaran yang tinggi menunjukkan taraf agresifitas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang tidak menerima alkhohol atau
menerima alkhohol dalam taraf yang rendah. Alkohol dapat melemahkan kendali
diri peminumnya, sehingga taraf agresifitas juga tinggi.
e.
Sifat kepribadian
Menurut Baron
(dalam Koeswara, 1988) setiap individu
akan berbeda dalam cara menentukan dirinya untuk mendekati atau menjauhi
perilaku agresif. Ada beberapa ynag memiliki sifat karakteristik yang
berortientasi untuk menjauhkan diri dari pelanggaran-pelanggaran.
Menurut David O Sears 1985 meyebutakan faktor
penentu perilaku agresif yang utama adalah rasa marah dan proses belajar respon
agresif. Proses belejar ini bisa terjadi langsung terhadap respon agresif atau
melalui imitasi.
Menurut Davidoff perilaku agresif remaja
dipengaruhi oleh beberapa faktor :
a.
Faktor biologis
Ada beberapa
faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresif yaitu:
1)
Gen
Gen tampakya berpengaruh pada
pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresif.
2)
Sistem otak
Sistem otak yang tidak terlibat
dalam agersi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit netral yang
mengendalikan agresi.
3)
Kimia darah
Kimia darah
(khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat
mempengaruhi perilaku agresi.
b.
Faktor lingkungan
Yang mempengaruhi perilaku agresif
remaja yaitu :
1)
Kemiskinan
Remaja yang
besar dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami
mengalami penguatan. Hal yang sangat menyedihkan adalah dengan berlarut-larut
terjadinya krisis ekonimi dan moneter menyebabkan pembengklakan kemiskinan yang
semakin tidak terkendali. Hal ini berarti potensi meledaknya tingkat agresi
semakin besar.
2) Anoniomitas
Terlalu
banyak ranbgsangan indra dan kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal,
artinya antara satu orang dengan orang lain tidal lagi saling mengenal. Lebih
jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai identitas diri). Jika seseorang
merasa anonim ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak
terikkat dengan norma masyarakat da kurang bersimpati dengan orang lain.
3) Suhu udara
yang panas
Suhu
lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa
peningkatan agresifitas.
c.
Kesenjangan generasi
Adanya
perbedaan atau jurang pemisah (gap) antara generasi anak dengan orang tuanya
dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan
seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi antara orang tua dan anak
diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak.
d.
Amarah
Marah
merupakan emosi yang memiliki cirri-ciri aktifitas system saraf parasimpatik
yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya
disebabkan akarena adanya kesalahan yang muingkin nyata-nyata salah atau
mungkin tidak (Davidoff, Psikologi Suatu Pengantar, 1991). Pada
saat amrah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar
sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal tersebut disalurkan
maka terjadilah perilaku agresif.
e.
Peran belajar model kekerasan
Model
pahlawan-pahlawan di film-film seringkali mendapat imbalan setelah mereka
melakukan tindak kekerasan. Hal bisa menjadikan penonton akan semakin mendapat
penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangkan dan dapat
dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan kekerasan
tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hali ini menjadi
sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresif.
f.
Frustasi
Frustasi
terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan,
kebutuhan, keinginan, pengharapan, atau tindakan tertentu. Agresi
merupakan salah satu cara merespon terhadap frustasi. Remaja miskin yang nakal
adalah akibat dari frustasi yang behubungan dengan banyaknya waktu menganggur,
keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera tepenuhi tetapi
sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku
agresi.
g.
Proses pendisiplinan yang keliru
Pendidikan
disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan
memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi
remaja (Sukadji, 1988, Keluarga dan Keberhasilan Pendidikan).
Pendidikan disiplin seperti akn membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak
ramah dengan orang lain, membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan
spontanitas serta kehilangan inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan
kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain.
5.
Penanganan Agresi
Perilaku
agresif merupakan masalah utama dalam masyarakat. Kejahatan individual dan
kekerasan sosial dalam skala besar sangat merugikan dan membahayakan
kesejahteraan individu maupun struktur sosial secara umum.
Adapun
tehnik-tehnik yang dapat digunakan untuk mengurangi perilaku agresif sebagai
berikut:
a.
Hukuman dan Pembalasan
Jelas
bahwa rasa takut terhadap hukuman pembalasan bisa menekan perilaku agresif.
Tipe orang rasional, akan memperhitungkan akibat agresi di masa mendatang, dan
berusaha untuk tidak melakukan perilaku agresif bila ada kemungkinan mendapat
hukuman. Bond dan Dutton (1975),
serta Wilson dan Roger (1975), yang menggunakan tehnik belajar-kejutan, menemukan
adanya pengurangan agresi bila subjek diberitahu bahwa setelah itu penaran akan
ditukar, sehingga dia akan berada dalam posisi yang diberi kejutan.
b.
Mengurangi Frustasi
Tehnik
yang lebih baik adalah dengan mengurangi kemungkinan terjadinya serangan dan
frustasi. Setiap masyarakat berusaha menjamin adanya tingkat kesamaan hak untuk
mendapatkan keperluan hidup. Alasan utamanya adalah untuk menghindari gangguan
kekerasan yang berskala besar dalam kehidupan sehari-hari terutama dari
kelompok-kelompok frustasi.
c.
Hambatan yang Dipelajari
Tehnik
lain untuk mengurangi agresi adalah belajar mengendalikan perilaku agresif diri
sendiri, tidak peduli apakah kita diancam atau dihukum. Ada dua pelajaran umum
yang harus dipelajari: menekan perilaku agresif secara umum dan menekannya
dalam situasi tertentu.
Hambatan agresi
yang dipelajari secara umum dapat disebut kecemasan agresi (rasa salah agresi).
Orang akan merasa cemas bila mendekati tanggapan berupan agresif.
Kita
juga mempelajari kecemasan tentang pengungkapan agresi dalam situasi tertentu
yang sangat spesifik. Selama hidup kita mempelajari dan mempelajari kembali
“ikatan”, norma-norma, dan lingkungan sosial kita.
d.
Pengalihan (Displacement)
Prinsip
dasar pengalihan adalah bahwa semakin banyak kesamaan antara sasaran dan sumber
frustasi sebenarnya, semakin kuat dorongan agresif individu terhadap sasaran.
Karakteristik
penting dari agresi yang dialihkan adalah bahwa kecemasan mengalami penurunan
yang lebit cepat, bila ketidaksamaan semakin meningkat, dibandingkan penurunan
dorongan agresif.
e.
Katarsis
Gagasan
yang terakhir adalah bahwa perasaan marah dapat dikurangi melalui pengurangan
agresi. Freud menyebut proses ini katarsis (pembersihan). Inti gagasan katarsis adalah bahwa bila orang
merasa agresif, tindakan agresi yang dilakukannya akan mengurangi intensitas
perasaannya.
Teori
katarsis menurut Freud mengandaikan bahwa kita selalu mempunyai cadangan energi
naluriah di dalam diri kita. Tidak peduli bagaimana situasinya, kita mempunyai
jumlah agresivitas tertentu yang perlu kita keluarkan dari diri kita. Yang
menjadi masalah dalam pandangan ini adalah prediksinya bahwa perilaku agresif
akan selalu mengurangi rasa marah, karena cadangan energi itu selalu ada.
Beberapa bukti empiris menentang pandangan ini: perilaku agresif meningkatkan
agresivitas pada orang yang tidak marah; mereka menambah energi dan tidak
mengeluarkannya (Dood & Wood,
1972; Konecni, 1975).
Versi
berikutnya muncul dari hipotesis agresi-frustasi yang berasumsi bahwa dorongan
agresif tidak bersifat naluriah, tetapi dibangkitkan oleh faktor situasional
seperti frustasi dan dorongan. Implikasinya adalah bahwa perilaku agresif hanya
akan menimbulkan katarsis pada orang yang mulai marah. Berhubung dalam teori
ini tidak ada cadangan energi agresif yang menetap, katarsis hanya akan
mengurangi agresivitas pada orang yang energinya bertambah karena mengalami
frustasi atau serangan.
Bagus artikelnya. Di saya ada artikel senada, yaitu https://www.anakadam.com/2016/08/teori-psikologi-agresi/ Terimakasih.
BalasHapus