1.1 Tujuan Penulisan
KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) dapat dilakukan oleh siapapun
yang berada di dalam lingkup rumah tangga tersebut, seperti suami terhadap
istri, istri terhadap suami, orang tua terhadap anak, majikan terhadap pembantu
rumah tangga, juga tuan rumah terhadap saudara yang turut tinggal di rumahnya.
Namun dalam makalah ini, kami memfokuskan pada kasus kekerasan dalam rumah
tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya.
Kami
berusaha mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan KDRT. Dimulai dari, apa yang
dimaksud dengan KDRT, bagaimana bentuk & ciri-ciri KDRT, termasuk kedalam klasifikasi
masalah sosial manakah KDRT, apa saja sebab & akibat terjadinya KDRT, apakah
program pelayanan sosial yang berupaya dalam pemecahan masalah, apa saja potensi
& sistem sumber yang mendukung pemecahan masalah, hingga pendekatan apa yang
dapat digunakan dalam pemecahan masalah dan mengapa pendekatan tersebut
digunakan.
1.2 Alasan Pemilihan Masalah
Manusia adalah makhluk Tuhan yang mempunyai martabat yang tinggi. Hak asasi
manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu, bersifat
universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat
diambil oleh siapapun. Hak asasi manusia harus dilindungi dan diperjuangkan.
Namun, terkadang terjadi penyalahgunaan, salah satunya terjadi kekerasan.
Kekerasan sesungguhnya berangkat dari satu ideologi tertentu yang mengesahkan
penindasan di satu pihak terhadap pihak lain yang disebabkan oleh anggapan
ketidaksetaraan yang ada di dalam masyarakat.
Demikian pula dengan kekerasan dalam rumah tangga (selanjutnya disebut
KDRT). Terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga dapat bermula dari adanya relasi kekuasaan yang timpang antara lelaki
(suami) dengan perempuan (istri). Dengan menggunakan alur pikir seperti ini,
maka kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga (domestic violence)
merupakan jenis kekerasan yang bersifat gender.
Perempuan secara mayoritas merupakan korban kekerasan dalam rumah
tangga, yang harus mendapat perlindungan
dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan
terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan,
penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat
kemanusiaan.
Namun Indonesia patut merasa bersyukur setelah pemerintah membentuk
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, yang diharapkan dapat dijadikan sebagai perangkat hukum yang memadai,
yang didalamnya anatara lain mengatur mengenai pencegahan, perlindungan
terhadap korban, dan penindakan terhadap pelaku KDRT, dengan tetap menjaga
keutuhan demi keharmonisan keluarga.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Contoh Kasus KDRT Terhadap Istri
Rina,
wanita berumur 33 tahun bekerja di sebuah kantor pengacara cukup terkenal. Ia
telah menikah dengan seorang pria yang berumur 35 tahun. Mereka telah
dikaruniai seorang anak. Disaat tahun-tahun awal perkawinan, mereka hidup
harmonis dan bahagia. Namun keharmonisan dan kebahagaian itu tidak berlangsung
lama, hanya hingga kelahiran anaknya. Suaminya mulai bersikap kasar, seperti saat
Rina pulang kerja larut malam karena lembur, suami mencurigainya. Hingga pada
akhirnya, suami tidak dapat membendung rasa kecurigaan dan kecemburuannya
sehingga sering kali menampar atau memukul Rina. Hingga pada akhirnya, Rina
memutuskan untuk bercerai.
Pada
perjalanan kesendiriannya Rina memutuskan untuk menikah lagi. Ia berharap
pernikahan keduanya dapat membawa kebahagiaan untuknya dan anak dari suami
pertamanya. Ia pun mengharapkan suami keduanya dapat lebih mengayominya dan
membesarkan anak bersama-sama. Suami kedua Rina berumur lebih muda darinya dan
ia bekerja di sebuah kantor kontraktor. Selama 1 tahun pertama pernikahan, suami
kedua Rina berperilaku dan bersikap baik. Namun 2 tahun kemudian, tak jarang
suaminya memukul Rina karena hal sepele. Bahkan suami selalu mencurigai Rina
saat ia berada di tempat kerja dan mengatakan bahwa Rina adalah seorang pelacur.
Penyiksaan yang dilakukan suami sudah tidak sembunyi-sembunyi. Rina pernah
disiksa di depan orang banyak yang berada di lingkungan rumahnya. Sayangnya, tetangga
atau orang yang berada di lingkungan tempat Rina tinggal dan mengetahui adanya
penyiksaan tersebut tidak melakukan hal apa-apa. Mereka hanya diam tak ada satu
pun yang berusaha mencegah penyiksaan itu atau melaporkan penyiksaan tersebut
ke pihak yang berwajib. Karena mereka mengganggap hal tersebut merupakan urusan
rumah tangga yang tidak boleh ada campur tangan orang lain di dalamnya.
2.2 Definisi KDRT
Menurut
Undang-Undang nomor 23 tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 1 ayat 1, KDRT
adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.
Dalam pasal 2 ayat 1, yang
termasuk ke dalam lingkup rumah tangga meliputi :
a. Suami, isteri, dan anak
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan,
dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut
Sesuai dengan contoh kasus
yang telah kami pilih yakni kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri.
KDRT terhadap istri adalah segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami
terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan
ekonomi. Termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga
atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan
penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan
menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri.
2.2 Bentuk
dan Ciri-Ciri KDRT
KDRT memiliki 4 bentuk
kekerasan tentunya dengan ciri-ciri yang berbeda. Berikut keempat bentuk
kekerasan yang ada dalam rumah tangga :
a.
Kekerasan Fisik
i. Kekerasan
fisik berat berupa penganiayaan berat seperti menendang, memukul, menyundut,
melakukan percobaan, pembunuhan atau pembunuhan dan semua perbuatan lain yang
dapat mengakibatkan:
·
Cedera berat
·
Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
·
Pingsan
·
Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang
sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati
·
Kehilangan salah satu panca indera
·
Mendapat cacat
·
Menderita sakit lumpuh
·
Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih
·
Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan
·
Kematian korban
ii.
Kekerasan fisik ringan berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang
mengakibatkan:
·
Cedera ringan
·
Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam
kategori berat
·
Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat
dimasukkan ke dalam jenis kekerasan berat
b. Kekerasan
Psikis
i.
Kekerasan psikis berat berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk
pelarangan, pemaksaan dan isolasi social, tindakan dan atau ucapan yang
merendahkan atau menghina, kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual
dan ekonomis, yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat
berupa salah satu atau beberapa hal berikut:
·
Gangguan tidur atau gangguan makan atau
ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya
berat dan atau menahun
·
Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba
lumpuh atau buta tanpa indikasi medis)
·
Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak
dengan realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya
·
Bunuh diri
ii. Kekerasan
psikis ringan, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi,
kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan,
dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina;
penguntitan; ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis;yang
masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa salah
satu atau beberapa hal di bawah ini:
·
Ketakutan dan perasaan terteror
·
Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak
·
Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi
seksual
·
Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit
kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi medis)
c.Kekerasan Seksual
i. Kekerasan
seksual berat, berupa:
·
Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti
meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta
perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa
dikendalikan
·
Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan
korban atau pada saat korban tidak menghendaki
·
Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak
disukai, merendahkan dan atau menyakitkan
·
Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain
untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu
·
Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku
memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi
·
Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan
atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera
ii. Kekerasan
seksual ringan berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal,
gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti
ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian
seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina
korban. Namun apabila melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat
dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.
d. Kekerasan
Ekonomi
i. Kekerasan
ekonomi berat yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat
sarana ekonomi berupa:
·
Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif
termasuk pelacuran
·
Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya
·
Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa
persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban
ii.
Kekerasan ekonomi ringan berupa melakukan
upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara
ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Sesuai dengan kasus Rina, ia
mendapatkan keempat bentuk kekerasan yang ada yakni kekerasan fisik, psikis,
seksual dan ekonomi. Kekerasan fisik ia dapatkan dari kedua suaminya, baik
kekerasan fisik berat aupun ringan. Terutama oleh suami kedua, Rina mengalami
ketidak sadaran diri atau pingsan dan memiliki luka yang cukup berat. Kekerasan
yang dilakukan oleh suami keduanya dapat digolongkan pada kekerasan fisik
berat. Lalu kekerasan
psikis pun ia dapatkan juga, ia mengalami stres pasca trauma karena
adanya kekerasan seksual seperti julukan kotor yang diberikan suami kepada
Rina. Dan terakhir adalah kekerasan ekonomi. Baik
suami pertama maupun kedua melarang Rina untuk bekerja. Mereka memiliki selalu
prasangka buruk terhadapnya saat ia berada di kantor.
2.4 Klasifikasi
Masalah Sosial Terkait dengan KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga dapat
digolongkan pada kelompok masalah sosial atas dasar dikotomi yakni masalah
sosial patologis dan kontemporer-modern. Masalah sosial patologis merupakan masalah yang
sulit dipecahkan karena berhubungan dengan kehidupan masyarakat sendiri. Maka
dari itu, disebut juga sebagai penyakit sosial. Sedangkan masalah sosial kontemporer-modern
adalah masalah sosial yang menunjuk pada masalah sosial yang baru muncul pada
masa sekarang atau pada masyarakat industri atau modern.
2.5 Penyebab Terjadinya KDRT Suami Terhadap Istri
a. KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan sosial, tetapi persoalan
pribadi terhadap relasi suami istri
b. Pemahaman keliru terhadap ajaran agama, sehingga timbul anggapan
bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan
c. Pandangan mengenai laki- laki ditempatkan sebagai seseorang yang
harus mengepalai sesuatu, menjadi seseorang yang harus selalu didengar &
dipatuhi kata-katanya, dan menempati posisi dominan dalam mengambil keputusan
d. Adanya rasa cemburu yang berlebihan
e. Kurangnya rasa saling mempercayai satu sama lain
f. Kuatnya budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya dalam
bidang ekonomi
2.6
Dampak Terjadinya KDRT
Posisi istri jelas berada pada posisi yang sangat
rugi. Istri mengalami kerugian di berbagai aspek. Pada aspek fisik, sudah sangat jelas
mengalami cedera atau luka-luka berat, bahkan mungkin mengganggu fungsi organ
tubuhnya. Pada aspek
psikis, istri akan mengalami tekanan mental, seperti menurunya rasa
percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami stress
pasca trauma, mengalami depresi bahkan memiliki keinginan untuk bunuh diri.
Selain berdampak pada istri, KDRT pun memiliki dampak negatif bagi
anak. Kehidupan anak akan dibimbing dengan kekerasan, peluang
terjadinya perilaku yang kejam terhadap anak akan lebih tinggi, anak dapat
mengalami depresi, dan anak berpotensi untuk melakukan kekerasan pada
pasangannya karena anak mengimitasi perilaku dan car memperlakukan orang lain
sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya.
2.7
Program Pelayanan Sosial dalam Upaya
Pemecahan Masalah
Salah satu dari keempat unsur masalah sosial menurut
Rubington dan Weinberg adalah adanya orang atau pihak yang terlibat. Pihak
tersebut adalah klien, korban, dan significant
others. Pada kasus ini, klien adalah pelaku kekerasan. Korban adalah orang
yang merasa disakiti dan dirugikan. Significant
others adalah penilai atau penindak suatu masalah. Apabila kita kaitkan
dengan konsep PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial), kasus Rina
termasuk ke dalam 2 jenis PMKS yang telah ditetapkan oleh Kementrian Sosial
yakni, Keluarga Bermasalah Sosial Psikologis dan Korban Tindak Kekerasan.
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah
seseorang, keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan,
kesulitan, atau gangguan tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya sehingga
tidak terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani, rohani, maupun sosial secara
memadai dan wajar. Hambatan, kesulitan, atau gangguan tersebut dapat berupa
kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, ketunaan sosial, keterbelakangan,
keterasingan/ketertinggalan, dan bencana alam maupun bencana sosial.
Keluarga bermasalah sosial psikologis, adalah keluarga yang hubungan
antar anggota keluarganya terutama antara suami-istri kurang serasi, sehingga
tugas-tugas dan fungsi keluarga tidak dapat berjalan dengan wajar. Salah satu
program pelayanan yang menangani masalah ini adalah LK3 (Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga).
Lembaga ini memberikan pelayanan
konsultasi sosial psikologis baik kepada individu, keluarga, kelompok
organisasi maupn masyarakat yang mengalami gangguan terhadap fungsi sosialnya.
LK3 memiliki 6 fungsi penting yakni, pencegahan, perlindungan, pengembangan,
pemberdayaan, informatif dan rujukan. Dalam usahanya menyelesaikan masalah, LK3
memegang prinsip memegang teguh rahasia keluarga, melibatkan partisipasi
keluarga secara aktif, menjunjung tinggi harkat & martabat keluarga, dan membiarkan
kesempatan kepada keluarga untuk menentukan nasibnya sendiri. LK3 memiliki
jaringan kerjasama dengan lembaga pelayanan sosial keluarga, baik yang dikelola
oleh pemerintah maupun masyarakat seperti panti sosial, lembaga pelayanan
sosial, perguruan tinggi, dunia usaha, dan lain-lain.
Korban tindak kekerasan adalah
seseorang yang mengalami tindak kekerasan, diperlakukan salah atau tidak
semestinya dalam lingkungan keluarga atau lingkungan terdekatnya, dan terancam
baik secara fisik maupun non fisik. Untuk membantu para korban tindak
kekerasan, pemerintah telah mendirikan RPS (Rumah Perlindungan Sosial). RPS didirikan
dengan tujuan menjamin dan melindungi korban tindak kekerasan khususnya
perempuan dan anak dari situasi terburuk dan berbahaya yang dihadapinya akibat
tindak kekerasan dan menciptakan situasi yang memungkinkan korban tersebut
menjalankan kehidupannya kembali dengan normal. Prinsip yang digunakan pada
pelayanan RPS adalah non-diskriminasi, memberikan segala hal yang terbaik bagi
klien, dan kerahasiaan. Dalam usaha pemecahan masalah, RPS menggunakan tiga
strategi yang dianggap sangat penting yakni, pencegahan, penyembuhan, dan
pengembangan.
2.8 Potensi
dan Sistem Sumber yang Mendukung Upaya Pemecahan Masalah
Kementrian Sosial Republik Indonesia
telah mermuskan PSKS (Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial) dalam rangka
membantu PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) mencapai
kesejahteraannya. Potensi kesejahteraan sosial adalah individu,
kelompok organisasi, dan lembaga yang belum memiliki dan atau belum memperoleh
pelatihan dan atau pengembangan di berbagai aspek pembangunan kesejahteraan
sosial sehingga keberadaannya belum dapat didayagunakan secara langsung untuk
mendukung pembangunan kesejahteraan sosial. Sumber kesejahteraan sosial adalah
individu, kelompok, organisasi, dan lembaga yang telah memiliki kemampuan dan
atau telah memperoleh pelatihan dan atau pengembangan di berbagai aspek
pembangunan kesejahteraan sosial sehingga keberadaannya dapat didayagunakan
secara langsung untuk mendukung pembangunan kesejahteraan sosial. Jadi, potensi
dan sumber kesejahteraan sosial adalah potensi atau sumber yang ada pada
manusia, alam, dan institusi sosial yang dapat digunakan untuk usaha
kesejahteraan sosial.
Secara umum, PSKS meliputi PSM (Pekerja Sosial
Masyarakat), Orsos (Organisasi Sosial), KT (Karang Taruna), WKSBM (Wahana
Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat), dan seluruh dunia usaha yang turut
serta dalam usaha kesejahteraan sosial.
Potensi
dan sumber kesejahteraan yang sudah bias dimanfaatkan dalam upaya pemecahan
masalah KDRT salah satunya adalah Orsos (Organisasi Sosial). Seperti yang telah
dipaparkan pada subbab Program Pelayanan Sosial dalam Upaya Pemecahan Masalah,
potensi dan sumber yang dapat digunakan yakni LK3 (Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga)
dan RPS
(Rumah Perlindungan Sosial) bagi korban tindak kekerasan.
2.9
Pendekatan yang Digunakan dalam Pemecahan
Masalah
Dalam pemecahan masalah ini, berbagai pendekatan
sosiologis atau pendekatan lainnya dapat digunakan untuk membantu dan
mempercepat penyelesaian masalah. Seperti pendekatan agama, hukum, jurnalistik,
seni, sistem, dan interdisipliner.
Pendekatan agama adalah pendekatan yang menekankan pada
sanksi yang abstrak yakni surge dan neraka. Pendekatan ini bersifat individual
dalam arti sangta berhubungan dengan keyakinan masing-masing orng terhadap
ajaran agamanya. Semakin orang yakin akan ajaran agamanya, semakin efektif
pengunaan pendekatan ini.
Pendekatan hukum memandang bahwa masalah sosial terjadi akibat
adanya pelanggaran terhadap norma-norma hokum dan untuk setiap pelaku
pelanggaran tersebut akan dikenakan sanksi. Pada pendekatan ini, sanksi lebih
jelas karena mengacu pada peraturan atau norma yang sudah disahkan secara hukum.
Pendekatan jurnalistik merupakan pendekatan yang
menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan KDRT seperti sebab-akibat
terjadinya KDRT dan cara-cara menghadapinya.
Pendekatan seni adalah suatu upaya yang dilakukan
seniman untuk membangun simpati kemanusiaan sehubungan dengan situasi sosial
yang bemasalah melalui pementasan drama, lagu, atau puisi.
Pendekatan sistem menetapkan bahwa masalah
sosial terjadi karena adanya sistem yang kurang tepat. Peninjauan dan
pendekatan aspek keidupan sosial dengan pendekatan system, tidak dapat
dilepaskan satu sama lain, melainkan ditinjau sebagai satu kebulatan yang tidak
terpisah-pisah. Seperti aspek kehidupan biologis, budaya, ekonomi, politik,
psikologi, dan sebagainya. Pada kasus ini, sistem budaya masyarakat sangat
teguh memegang prinsip bahwa KDRT merupakan konflik internal suami-istri,
sehingga masyarakat tidak memiliki kuasa untuk turut campur.
Pendekatan interdisipliner adalah pendekatan dengan
menggunakan berbagai disiplin ilmu yang sesuai dengan masalah yang sedang
ditangani. Mengingat bahwa masalah social tidak pernah diakibatkan oleh satu
aspek kehidupan saja.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Manusia adalah makhluk Tuhan yang mempunyai martabat yang tinggi. Hak asasi
manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu, bersifat
universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat
diambil oleh siapapun. Hak asasi manusia harus dilindungi dan diperjuangkan.
Namun, terkadang terjadi penyalahgunaan, salah satunya terjadi kekerasan. Salah
satunya adalah kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang dilakukan oleh
suami kepada istri.
KDRT
terhadap istri adalah segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami
terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan
ekonomi. Termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga
atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan
penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan
menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri.
Kekerasan ini terjadi karena
adanya factor internal dan eksternal. Faktor internal seperti ketidakharmonisan,
kecemburuan, dan kecurigian dalam keluarga. Sedangkan faktor eksternal adalah
tidak adanya ketidakempatian masyarakat setempat yang membiarkan kasus tersebut
terjadi. Masyarakat mengganggap kasus ini merupakan masalah individu bukan
masalah sosial. Kasus ini berdampak pada semua orang yang berada dalam lingkup
keluarga tersebut. Tidak hanya berdampak kepada istri yang langsung mengalami
kekerasan oleh suami. Tapi juga kepada anak-anak mereka.
Berbagai program pelayanan
yang telah dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah dalam upaya menyelasaikan
masalah KDRT ini adalah dengan adanya LK3 (Lembaga Konsultasi Kesejahteraan
Keluarga) dan RPS (Rumah Perlindungan Sosial) bagi korban tindak kekerasan.
Indonesia pun dapat sedikit merasa tenang, karena UU Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga telah dibentuk.
3.2 Refleksi
Perempuan secara mayoritas merupakan korban kekerasan dalam rumah
tangga, yang harus mendapat perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau
ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan
martabat kemanusiaan. Setelah pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang diharapkan dapat dijadikan
sebagai perangkat hukum yang memadai dalam
menangani masalah KDRT khususnya pada korban tindak kekerasan.
Pemahaman keliru terhadap ajaran agama, sehingga timbul anggapan bahwa
laki-laki boleh menguasai perempuan, pandangan mengenai laki- laki
ditempatkan sebagai seseorang yang harus mengepalai sesuatu, menjadi seseorang
yang harus selalu didengar&dipatuhi kata-katanya,
dan menempati posisi dominan dalam mengambil keputusan, karena kesalahan penafsiran tersebut menjadi
salah satu penyebab adanya tindakan KDRT.
Agar tindakan KDRT di Indonesia
dapat diminimalisir perlu adanya sosialisasi yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga perlindungan dan penghapusan tentang masalah KDRT kepada
keluarga yang telah berumah tangga dan khususnya pada laki-laki yang rawan
bertindak kekerasan kepada wanita sebelum adanya masalah-masalah lainnya
tentang tindak KDRT di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Fahrudin,
Adi. 2012. Pengantar Kesejahteraan Sosial.
Bandung : Refika Aditama.
Suharto,
Edi. 2005. Membangun Masyarakat
Memberdayakan Rakyat : Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial &
Pekerjaan Sosial. Bandung : Refika Aditama.
terima kasih banyak :D
BalasHapus